This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 13 Desember 2017

Yang Tergusur dan Melawan PT KAI Bandung

Reporter: Rio Apinino | 13 Desember, 2017



Selama 1,5 tahun warga dari sisi selatan Stasiun Bandung melawan penggusuran. Makin militan selepas putusan banding pada awal Desember memenangkan PT KAI.

Pengetahuan memunculkan keberanian. Dan, karena itu, mari berkenalan dengan tiga tokoh cerita kita.

ITOH

Itoh adalah pemilik warung makan “Pak Yana”, terletak di Jalan Stasiun Barat, Kebon Jeruk, dekat dari pintu keluar Stasiun Bandung sebelah selatan. Ukuran warungnya kecil tapi menyajikan makanan beragam. Nasi dan lauk boleh diambil semau pembeli. Urusan bayar belakangan. 

Warung Pak Yana—diambil dari nama almarhum suami Itoh—yang bersih dan tertata rapi, kontras dari kondisi di sekitarnya. 

Jalan Stasiun Barat ketika saya datang pada awal Desember lalu—dilewati dua mobil dari dua arah—sama sekali hancur. Aspal di sepanjang jalan setengah kilometer rusak berat. Debu beterbangan. Saat turun hujan, jalan jadi kubangan air kotor. 

“Di jalan itu banyak yang kecelakaan. Terutama setelah dipasang pagar kawat di tengah-tengahnya itu,” kata Itoh dengan logat Sunda, memasang muka serius. 

Di sebelah warung Pak Yana berdiri satu toko lebih kecil selebar dua meter. Teralisnya tertutup setengah. Di ruas teralis yang terbuka terpampang etalase kaca, dan memajang beragam produk. Dari rokok, minuman kemasan, hingga tisu. 

Di pojok bawah teralis ada dua tumpukan boks Coca-Cola tanpa isi. Persis di depan toko itu teronggok motor jadul Honda CB70 berkelir merah-putih yang rem depannya sudah blong. Remaja sepantaran SMP dan SMA sedang sibuk memilok baliho putih 1 x 2 meter dengan tulisan: “Donasi Untuk Kulon Progo”. 

Itoh berdiri dari bale bambu warung setelah remaja-remaja ini selesai memilok. Ia menyuruh enam sampai tujuh remaja ini, laki-laki dan perempuan, makan di tempatnya. Ia tidak berhenti memerintah sampai mereka mengiyakan. 

Semua gratis. Itoh tak memungut bayaran. Juga kepada saya. 

“Enggak usah!” kata Itoh, menyuruh saya menyimpan uang Rp50 ribuan. 

Warung makan Itoh adalah salah satu tempat konsolidasi warga Stasiun Barat. 

Tapi, tentu, makan gratis tak berlaku bagi pelancong. Sepanjang obrolan saya dengan Itoh, warung makannya ramai dipadati mereka yang baru sampai Bandung via naik kereta. Sebagian besar datang dalam rombongan tiga sampai empat orang. 

“Tapi sekarang tidak seramai dulu,” katanya. 

HAMDIYAH

Hamdiyah memperkenalkan diri sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera yang militan: merekrut warga dengan metode pintu ke pintu. 

Tapi itu dulu. Hamdiyah sadar bahwa ia hanya sekrup kecil yang kalau hilang pun tak memengaruhi apa pun. Partai tidak membantunya berjuang mempertahankan tempat tinggalnya yang telah didiami puluhan tahun. 

“Saya nyesel gabung ke partai itu. Tidak ada yang bantu juga. Tidak ada yang bisa diandalkan. Sekarang sih, semuanya dari kita untuk kita saja,” kata Hamdiyah dengan logat Sunda. 

“Kami sudah tidak percaya partai, polisi, pemerintah—semua. Soalnya kami sudah minta tolong ke mana-mana tidak ada yang membantu,” ujarnya. 

Ketika ditanya penggusuran ini sebetulnya untuk pembangunan apa, Hamdiyah bilang tidak tahu. 

“Persisnya untuk apa ya tidak tahu, tapi yang pasti untuk kapitalis, lah.” Nadanya meninggi. 

Militansi Hamdiyah mengorganisir warga menyala. Hamdiyah tak pernah absen mengajak tetangga lain turut serta mengikuti kelas pendidikan hukum yang diselenggarakan advokat warga. 

Selain itu, melalui pendidikan yang diselenggarakan advokat, Hamdiyah dan warga lain tahu apa saja hak yang mereka miliki di hadapan hukum, bagaimana mekanisme penyelidikan dan penyidikan yang benar, juga proses penangkapan. Ia juga kini lebih awas kepada orang-orang asing yang berkeliaran di tempatnya. 

Katanya, kalau tidak bilang wartawan dari Jakarta yang ingin meliput, saya dipastikan sudah diusir. Dianggap intel yang memata-matai kegiatan warga. Ia bilang, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang disepakati bersama. 

Suatu kali, ia bersama warga mengelabui polisi ketika hendak berunjuk rasa menuntut penghentian kriminalisasi ke Polda Jawa Barat, 23 November 2017. Polisi yang melarang warga demo sudah berjaga di sekitar Stasiun Barat sejak pagi. Namun, tak ada satu pun konsentrasi massa. Ternyata warga sudah tahu gelagat polisi. Mereka pergi ke Polda dengan berpencar, dan berkumpul lagi ketika tiba di lokasi. 

“Polisi kena tipu. Dikiranya kami kumpul dari sini [Stasiun Barat],” katanya, tertawa terbahak-bahak. 

Satu hari sebelum diputus menang, 30 Mei 2017, Hamdiyah bersama warga menginap di pelataran Pengadilan Negeri Bandung. Ketika itu Hamdiyah baru melahirkan. 

Malam hari, saat itu bulan puasa, Hamdiyah dihampiri polisi, dan berkata, “Ibu kasihan atuh anaknya masih kecil begini masak dibawa-bawa?” 

Hamdiyan menjawab, “Bapak tidak usah urus. Lagian ngomong kasihan segala. Bapak waktu menggusur kami dulu memang mikirin itu?” 

Anak Hamdiyah kini berusia sembilan bulan. Sehat dan menggemaskan. Namanya Merah. 

MAMAN

Maman adalah warga tertua berumur 70 tahun yang saya temui di Stasiun Barat. Ia generasi pertama yang menempati lahan tersebut. 

Abah, demikian ia menyebut dirinya sendiri, tinggal bersama Marni. Maman pernah bekerja sebagai sopir, pernah pula jadi tukang parkir—"satu-satunya pekerjaan yang masih bisa dilakukan di masa tua,” katanya. 

Di balik wajah keriput, dan jenggot putih panjang hingga dada, Maman masih bersemangat bercerita. “Abah lihat ada teman-teman yang senasib,” katanya. 

Maman “sakit hati” kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. “Kok kenapa tempat tinggal Abah yang rubuh sampai kehujanan cuma dilewat?” katanya. 

“Maka, kalau ada yang ajak, Abah semangat lagi. Abah mah ingin demo,” ujarnya. 

Peristiwa yang disebutkan Maman ketika Ridwan Kamil mendatangi lokasi gusuran, 29 Juli 2016. Ketika itu Emil—panggilan Ridwan Kamil selain RK—sempat berjanji akan menolong warga dengan menawarkan beberapa solusi. Emil juga bilang “menyesali” proses pembongkaran. 

“Tapi tidak ada bantuan. Bohong. Yang bantu itu mahasiswa. Mereka kasih mi instan, baju—apa saja. Yang ngasih modal juga mahasiswa, sampai sekarang Abah bisa jualan kecil-kecilan.” 

Warung Maman terletak di sebelah timur warung makan Itoh. Tapi beda dengan warung Itoh yang permanen, warung sederhana Maman hanya dari batang bambu. Untuk menghalangi debu jalan, dibuatlah penghalang dari bekas spanduk berbahan kain. Maman menjual mi instan, kopi saset, dan gorengan. 

Suatu malam setelah digusur, masih dalam periode persidangan, Maman terbangun oleh teriakan istrinya, Marni: Aing mah nini-nini paeh moal dua kali. Maneh tega rek maehan nini-nini? Maneh teh rek modaran aing? Siga teu gablek indung wae maneh!” 

Maksud istrinya: saya sudah nenek-nenek, tidak akan mati dua kali. Kamu tega mau bunuh nenek-nenek? Kamu mau bunuh saya? Seperti tidak punya ibu saja kamu!” 

Marni membentak Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) yang mau membongkar tenda saat itu juga. 

Maman marah. Ia mengambil golok, mengacung-acungkannya ke aparat. 

“Siapalah yang duluan mati. Abah sudah tua ini,” kata Maman. Polsuska lari terbirit-birit. 

Sejak saat itu Polsuska tak pernah lagi berani mengusik Maman dan Marni. 

Latar: Wilayah Panas

Jalan Stasiun Barat, terletak di pintu keluar Stasiun Bandung sisi selatan, sejak dulu dikenal sebagai wilayah prostitusi kelas bawah di Bandung. Kebanyakan dari pekerja seks komersial adalah “pelarian” Saritem. Mereka tersisih dari lokalisasi yang jaraknya hanya 1 kilometer dari Jalan Stasiun Barat ini karena banyak hal, salah satunya usia yang tidak lagi muda. 

Bersamaan dengan itu berkembang pula premanisme, peredaran miras, dan narkoba.

Dengan panjang hanya setengah kilometer, Jalan Stasiun Barat yang dihuni belasan warung makan, toko, dan tempat usaha lain hanya jadi tempat mangkal, mencari pelanggan, dan bernegosiasi soal harga. Sementara "transaksi" dilakukan di belakang kompleks usaha warga ini. Ada kontrakan, juga losmen murah seharga Rp100 ribuan semalam.

Meski menjajakan diri persis di depan warung, tetapi bukan berarti warga yang berusaha di sana setuju atas praktik tersebut. Dasim Budimansyah, Syaifullah, dan Delilah Nurzaidah (2015) mengatakan warga cenderung pasif terhadap prostitusi. Selain itu, mengapa Stasiun Barat langgeng sebagai tempat prostitusi selama puluhan tahun juga karena tidak ada upaya pemberantasan yang serius dari aparat.

Tapi itu semua berubah setelah warung-warung warga digusur. Warga mulai berani menegur PSK. Di beberapa titik warga memasang poster yang intinya menolak prostitusi. Pada salah satu poster tertulis, “Rakyat Kebon Jeruk Menolak Keras 1. Pungli, 2. Perdagangan Perempuan, 3. Rentenir/Lintah Darat”, dengan huruf berwarna putih, berlatar merah menyala dengan siluet massa aksi, serta di bawahnya tergambar 10 kepalan tangan. 

Tindakan ini punya alasan politis. Dengan membuktikan warga di sana “beradab” (mengacu nilai-nilai umum yang diterima masyarakat), alasan untuk memiliki tempat itu secara sah semakin kuat. 

Guna meneguhkan komitmen ini, pada Minggu, 3 Desember kemarin, warga membuat “Pernyataan Moral Juang”. Isinya, janji bukan hanya menolak prostitusi (perdagangan manusia), tapi juga untuk tidak berjudi, tidak berselingkuh, mabuk, dan hal-hal yang berkaitan dengan narkotika dan premanisme.

Ketika saya pulang sekitar pukul 8 malam, beberapa pekerja seksual dengan pakaian serba minim memang masih bekerja di pinggir jalan Stasiun Barat, tapi posisinya jauh dari lokasi gusuran, di pinggir ruas jalan yang paling sepi. Ada yang fokus pada ponsel, ada juga yang memperhatikan jalan. 

Keberanian warga seperti yang ditunjukkan Itoh, Hamdiyah, dan Maman tidak datang seketika dari langit. Ini kesadaran yang muncul lewat pengalaman. Perubahan yang paling terasa usai digusur, selain keberanian untuk menyampaikan pendapat, adalah munculnya rasa solidaritas sesama warga. Sebelum digusur, mereka semua sebatas saling kenal. Jarang bertegur sapa. Tapi sekarang “sudah seperti saudara”—menurut penuturan mereka sendiri. 

Bangunan-bangunan yang didirikan sesudah digusur dibuat bersama tanpa paksaan. Tiap minggu mereka juga kerja bakti membersihkan lingkungan. 

Asri Vidya Dewi, advokat sekaligus organiser warga, berperan sentral untuk menumbuhkan kesadaran semacam ini. Ia datang menjadi kuasa hukum warga setelah bangunan rata oleh tanah, medio Agustus 2016. Achy—demikian nama akrabnya—datang dengan suaminya, Barra, dengan mobil murah merek Datsun ketika saya sudah ngobrol dengan warga selama sekitar satu jam. 

Ia bercerita mengapa mau membela warga. “Aku mau tetap di sini karena warga berkomitmen membentuk masyarakat baru yang lebih beradab,” katanya. 

“Kalau capaiannya ekonomi doang ya buat apa? Tinggal bayar, selesai. Di sini nanti akan terbangun masyarakat yang lebih baik. Kalau sudah jadi, kan, bisa jadi pusat konsolidasi kawan-kawan Bandung [yang menolak penggusuran].” 

Achy membenarkan bahwa setelah penggusuran, warga tidak lagi permisif terhadap praktik-praktik yang telah berlangsung selama puluhan tahun itu. 

Nenek Yayah, salah seorang warga yang lahir pada 1962, menegaskan ini. Menurutnya, keberanian warga bisa muncul karena Achy “galak” dalam arti positif, baik terhadap PSK atau kepada warga yang dulu senang mabuk dan berjudi. 

“Jadi tidak ada yang berani lagi,” kata Yayah. 

“Teh Achy juga galak ke warga. Tapi galaknya baik, bikin warga bener.”

“Kenapa Nek Yayah tidak galak sama saya? Kan Nek Yayah juga galak.” 

“Ya masa saya galak sama yang membela saya.” 

Mendengar jawaban Yayah, semua warga yang turut bercengkerama tertawa geli. 

Jalan Berliku: Kemenangan dan Kriminalisasi

31 Mei 2017. Hakim Ketua Irwan Effendi dari Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung mengetuk palu memenangkan gugatan perdata warga. PT Kereta Api Indonesia (Persero) dinyatakan bersalah atas penggusuran terhadap 62 bangunan—terdiri 32 warung dan 30 rumah—yang dihuni 55 keluarga pada 26 Juli 2016. Singkatnya, penggusuran PT KAI diputus ilegal. 

Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi berupa uang sewa tempat usaha/tempat tinggal untuk satu tahun pertama dan biaya pindah (pengangkutan barang-barang) kepada masing-masing penggugat sebesar Rp15 juta, dengan total seluruhnya 25 orang x Rp15juta = Rp375 juta,” kata Irwan. 

“Allahu Akbar,” suara warga menggema di seantero ruangan. 

Semua warga, termasuk anak dan cucu penggugat, bersujud syukur. 

“Semua nangis,” ujar Hamdiyah mengingat suasana ruang sidang saat itu. "Polisi di ruangan, yang mengamankan persidangan, pun banyak yang mengucapkan selamat." 

Kemenangan ini buah dari proses panjang yang dilalui warga. 

Setelah mengumpulkan bukti-bukti cukup, warga menggugat PT KAI ke PN Bandung atas delik Perbuatan Melawan Hukum pada 28 September 2016, dengan nomor perkara 380/PDT.G/2016/PN.BDG. Selain KAI, gugatan dilayangkan kepada Pemkot Bandung karena merekalah yang kali pertama memberikan izin kepada warga menempati lahan pada 1953. Sidang kali pertama digelar pada 13 Oktober 2016. 

Penggusuran PT KAI dinilai ilegal karena dilakukan tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. Di luar itu, PT KAI tak bisa membuktikan bahwa lahan seluas 1.800 meter persegi yang jadi objek perkara adalah miliknya. 

PT KAI mengklaim tanah yang ditempati warga, yang berlokasi di RT 03/02 Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, sejak awal adalah hak mereka berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 6 tanggal 5 Februari 1988. Sertifikat ini terbit pada 11 Juni 1988 atas nama Departemen Perhubungan RI, yang ditembuskan ke Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJ KA). Ia menyebutkan bahwa lokasi lahan berada di Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cicendo. 

Dari sini kejanggalan sudah muncul. Alamat yang tertera pada Sertifikat Hak Pakai berbeda dari lokasi penggusuran. Jalan Pasirkaliki dan Jalan Stasiun Barat terpisah 2,6 kilometer, dihela oleh Jalan Kebon Kawung, Jalan Pajajaran, dan jalan-jalan lain yang lebih kecil seperti Jalan H. Mesri dan Jalan H. Moh. Iskat. 

“Sertifikat itu [bukan merujuk pada tanah] di sini [Kebon Jeruk]. Jadi PT KAI asal saja bilang, 'Ini kami punya akta’, tapi lokasinya beda. Punya siapa, jenis-jenis haknya apa saja, tidak juga mereka jelaskan,” kata Achy. 

Dan kejanggalan ini berlanjut dengan kejanggalan-kejanggalan lain.

Dalam persidangan, PT KAI melampirkan bukti yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan melalui Sertifikat Hak Pakai Nomor 7 tanggal 21 Desember 2016. Sertifikat ini adalah “split” dari Sertifikat Nomor 6/1988. 

Menurut Achy, penerbitan ini bermasalah dan patut dipertanyakan karena pemegang Sertifikat Hak Pakai Nomor 6/1988 [PJ KA] tidak memenuhi apa yang disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah untuk memperpanjang penggunaan lahan. 

Berdasarkan aturan tersebut, jangka waktu Hak Pakai atas Tanah Negara adalah 25 tahun, dan bisa diperpanjang 20 tahun lagi dengan pengajuan dua tahun sebelum masa pakai selesai dengan syarat: tanah masih digunakan sesuai penggunaan tanah; syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan pemegang hak masih memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak sesuai aturan yang sama. 

Merujuk pada aturan tersebut, hak Pakai PJ KA, yang didirikan pada 15 September 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1971, berakhir pada 2013 lalu. PJ KA tidak bisa memperpanjangnya karena status hukumnya sudah tidak ada. 

Melalui Peraturan Pemerintah 57/1990, PJ KA berubah status menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka). Sembilan tahun setelahnya, 1 Juni 1999, Perumka berubah nama menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero). 

Achy mengatakan, PJ KA dan PT KAI adalah dua entitas berbeda, sehingga PT KAI tidak bisa mengklaim tanah dari sertifikat yang dipegang PJ KA. 

Tujuan utama dari PJ KA dan Perum adalah “memberikan pelayanan kepada masyarakat” dengan dasar hukum Undang-undang 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Sementara PT KAI “mencari laba” yang tunduk pada UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. 

"Perubahan bentuk perusahaan membuat perubahan sistem hukum dan kepemilikan aset. Peralihan status tidak otomatis peralihan aset,” kata Achy. 

Pihak yang membayar pajak bumi dan bangunan juga bukan dari KAI. Wargalah yang membayar PBB, bahkan ketika bangunan mereka sudah rata tanah. Lebih aneh lagi, kata Achy, dalam sertifikat ini tertera pihak yang memiliki hak masih PJ KA, bukan PT KAI. 

“Ini lucu. [Perusahaan] sudah bubar kok masih bisa punya sertifikat? Selain itu, proses terbitnya bermasalah, dan pada saat sedang berperkara di pengadilan juga melanggar hukum,” kata Achy. 

Tapi PT KAI tidak ingin membayar sepeser pun atas penggusuran ilegal yang telah mereka lakukan. Mereka mengajukan banding pada 20 Juni 2017. Menyerahkan berkas banding pada 13 Oktober 2017. 

Alih-alih pasif menunggu putusan, PT KAI malah agresif melakukan tindakan yang dilarang saat saat masih berperkara. Pada 11 Juli 2017, PT KAI mengeluarkan surat peringatan pertama pengosongan lahan. Lalu SP kedua keluar 10 hari setelahnya. Narasinya sama: warga tidak berhak menempati lahan dan harus angkat kaki. 

Selain itu, pada 20 Oktober, PT KAI Daop II melaporkan 25 warga ke Polda Jawa Barat dengan dalil tindak pidana Pasal 167 (1) KUHP. Mereka dituduh memasuki pekarangan orang lain yang tertutup tanpa izin, dengan dasar Sertifikat Hak Pakai Nomor 7/2016 (yang terbit dengan sejumlah kejanggalan tadi). Delik penyerobotan ini adalah pendirian dua warung semipermanen. Warga, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Anti Penggusuran, menyebutnya sebagai kriminalisasi. 

Demi mengusut kasus ini, warga—bersama mahasiswa dan pelajar—bolak balik mendemo Polda. Tuntutannya: mereka ingin polisi memberhentikan proses penyelidikan terhadap warga karena sama sekali tak ada aturan apa pun yang dilanggar. 

Tuntutan memang belum dipenuhi. Namun, atas desakan warga, pemeriksaan kini tak lagi di kantor polisi, tapi di rumah Ketua RW 02. 

Itoh, salah satu warga yang dikriminalisasi, sudah beberapa kali diperiksa. 

“Apa Bu Haji takut?” tanya saya.

“Kenapa mesti takut? Saya benar. KAI yang salah,” jawab Itoh, pemilik salah satu warung makan, juga sentra konsolidasi warga. 

Manajer Humas PT KAI Daop II Joni Martinus mengatakan bahwa tanah sengketa itu adalah "milik PT KAI."

“Kalau warga mengklaim itu tanah mereka, ya terserah merekalah. Namanya orang ngaku-ngaku ya bisa aja,” tambahnya kepada Tirto, akhir pekan lalu. 

Menurut Joni, tuntutan warga yang tak mempersoalkan status tanah melainkan hanya proses penggusuran ke pengadilan, adalah bukti warga sebetulnya “mengakui” tanah itu bukan hak mereka. 

“Yang mereka tuntut, kan, kerusakan barang pada saat penertiban. Barang-barang mereka memang rusak. Secara logika, kan, kenapa warga tidak menuntut hak kepemilikan tanah, tapi hanya menuntut ganti rugi? Dari sana semua orang juga, kan, tahu siapa pemilik tanah sebenarnya. Itu tanah PT KAI,” kata Joni. PT KAI terkenal menggusur ribuan pedagang stasiun di jalur Jabodetabek pada 2012-2013.

Apa benar warga tidak punya sertifikat terhadap objek sengketa? 

Jawabannya: ya. Warga hanya memiliki bukti membayar rutin pajak bumi dan bangunan selama puluhan tahun. Namun, menurut Achy, dalam doktrin hukum agraria, mereka yang telah mendiami terlebih dulu suatu lahan dan memelihara serta melakukan kewajibannya seperti membayar pajak akan mendapat “Hak Keutamaan”. Dalam hal ini wargalah yang mendapat hak tersebut. 

“Kenapa sejak dulu warga tidak mengaktakan hak milik kalau memang sudah sesuai semua dengan aturan yang ada?” tanya saya kepada Achy. 

“Ya namanya juga rakyat. Tidak paham. Yang mereka tahu mereka bayar PBB, berarti sudah sah,” Jawab Achy. 

“Terus kenapa yang digugat ke pengadilan soal ganti rugi? Kenapa tidak soal memperjelas status lahannya?” 

Achy menerangkan bagaimana rumitnya mengurus kepemilikan lahan di Badan Pertanahan Nasional: bagaimana kasak-kusus di kalangan advokat dan aktivis Bandung yang menyebut pengurusan sertifikat tanah adalah “lahan basah”, soal siapa saja elite-elite yang “bermain”, dan lain sebagainya. Mereka yang punya uang akan lebih mudah mengurus sertifikat ketimbang warga biasa. 

Yang Tergusur dan Melawan PT KAI Bandung


Kembali Terbentur: Apa Selanjutnya?

Kemenangan warga hanya bertahan beberapa bulan. Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam Putusan Nomor 465/PDT/2017/PT.BDG yang dibacakan pada 5 Desember 2017 memutuskan memenangkan PT KAI pada tingkat banding. 

Menurut majelis hakim, PT KAI "telah melakukan prosedur yang sesuai" sebelum menggusur warga, seperti telah melakukan sosialisasi, peringatan, hingga menawarkan uang "kerohiman". Atas poin bahwa warga membayar pajak bumi bangunan secara rutin, yang buktinya dipegang warga, hakim menyatakannya "bukan bukti kepemilikan atas tanah", melainkan hanya bukti pembayaran. Warga dinilai hakim telah “mendirikan bangunan tanpa izin”, padahal sebagaimana arsip yang dimiliki warga, bangunan didirikan oleh Dinas Pasar Pemkot Bandung. 

Selain itu, status Sertifikat Nomor 7/2016 yang jadi dasar PT KAI ngotot mengusir warga dinilai "tidak bermasalah" oleh majelis hakim pengadilan tinggi. Dalilnya, sebagaimana tertera dalam putusan, segala hak dan kewajiban serta kekayaan dari perusahaan berbentuk lama (PJ KA, Perumka) beralih ke perusahaan bentuk baru (Persero). 

Bahkan, berbeda dari pengadilan tingkat pertama, dalam putusan banding menyebut bahwa sertifikat 7/2016 sebagai Sertifikat Hak Milik, bukan Hak Pakai (tertera dalam putusan banding halaman 58 paragraf 7). Sertifikat Hak Milik sama sekali tidak disinggung dalam sidang-sidang sebelumnya. 

Ketika dikonfirmasi mengenai ini, wakil presiden humas korporat PT KAI Agus Komarudin mengatakan Sertifikat Hak Milik itu “salah ketik”. Ia menjelaskan, tanah ini semula bersertifikat Hak Pakai Nomor 6 Tahun 1998 atas nama PJ KA c.q. Departemen Perhubungan. Lalu, pada 2016, dilakukan “pemecahan”, salah satunya Sertifikat Hak Pakai Nomor 7/2016. 

“Lalu karena PJ KA berubah menjadi PT KAI (Persero), dilakukan pembaruan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 877 Tahun 2017, yang terbit pada 30 Maret 2017,” kata Agus, 11 Desember lalu. 

Informasi bahwa PT KAI menang gugatan banding ini baru saya ketahui pada 10 Desember, atau lima hari setelah putusan. Pengacara warga baru tahu ketika saya menanyakannya, meski ia telah memprediksi putusan banding memang akan memenangkan PT KAI. 

"Tapi aku belum dapat putusan resmi. Jadi masih tetap nunggu," kata Asri Vidya Dewi, pengacara warga.

Namun, menurut Achy, putusan banding justru semakin memperkuat posisinya. Menurutnya, fakta bahwa dalam putusan banding KAI mengaku akta Nomor 7/2016 adalah hak milik, sementara dalam bukti di persidangan sebelumnya akta tersebut adalah akta hak pakai, adalah indikasi bahwa PT KAI melakukan pemalsuan. 

“Tidak bisa disebut salah ketik karena setiap dokumen hukum menjadi dokumentasi negara. Selain itu, seperti yang saya bilang di awal, proses ‘split’ akta ketika proses sidang tidak boleh. Juga itu di-split dari akta yang sudah habis masa berlakunya [Akta 6/1988),” kata Achy, mengulang argumen yang berhasil memenangkan warga dalam persidangan. 

Hal sama diungkapkan pengacara publik LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy. Proses penerbitan HGB dari Sertifikat Hak Pakai tidak boleh dilakukan ketika tanah sedang jadi objek sengketa. Menurutnya, dalam kasus ini, Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertifikat untuk PT KAI harus turut bertanggung jawab. 

“Dalam kondisi sengketa, BPN, meski punya wewenang untuk mengadakan mediasi, tetap harus menunggu putusan pengadilan. Kredibilitas BPN patut dipertanyakan,” katanya. 

Pihak BPN Bandung tidak menjawab ketika dimintai konfirmasi. 

Maka, saat ini, usaha warga membentuk “masyarakat baru” kembali terganjal oleh persoalan hukum. Tapi warga tak menyerah. Mereka akan tetap memperjuangkan apa yang diyakininya.

“Kalau perlu akan demo lagi, kalau pun harus berdarah-darah, kami siap karena mempertahankan hak kami,” kata Itoh. 
Sumber: Tirto.Id 

Kamis, 07 Desember 2017

ABRI Perangi Timor Leste

Martin Luther


Tanggal 7 Desember 1975, ABRI melancarkan perang kolonial terhadap Timor Leste. Sebuah operasi gabungan terbesar meliputi matra darat, laut dan udara dikerahkan menyerbu Dilli yang dipertahankan oleh Fretilin. Benny Moerdani, dalam “Profil Prajurit Negarawan”, menyebutkan:”…dari segi militer, operasi ini tidak terlalu dibanggakan.” 
Alasannya; koordinasi lemah, tidak semua prajurit yang dilibatkan pernah mengikuti latihan gabungan, pesawat yang terbang rendah ditembaki sendiri oleh temannya dari bawah, pasukan payung masih tetap diterjunkan meski pesawat sudah melenceng jauh di atas laut, sebagian pasukan Kostrad malah sempat ditembaki oleh marinir yang sudah mendarat di pantai, logistik tertahan di kapal menyebabkan pasukan yang menguasai kota terlambat menerima perbekalan. Hari itu, Fretilin meninggalkan Dilli dan memulai perang gerilya melawan pendudukan ABRI. Perlawanan ini berakhir tahun 1999.
Timor Leste bukan bekas wilayah Hindia Belanda, dan tidak pernah diklaim sebagai wilayah RI dalam proses2 perundingan dengan internasional sebelumnya, dicaplok oleh Indonesia atas restu Presiden AS Gerald Ford. 
Alasannya, mencegah munculnya pangkalan militer komunis di “Kuba”-nya Asia Tenggara. (Gunn & Lee, A Critical View of Western Journalism and Scholarship on East Timor, JCA Press, Manila, 1994, hlm. 124-127). Padahal motif dibalik itu adalah ekspansi kapitalisme di kawasan strategis dan kaya sumber2 bahan mentah ini. Kekalahan AS di Vietnam merupakan faktor utama mempercepat dilancarkannya pendudukan ini, untuk mempertahankan kepentingan nasional AS di sisi Indonesia. (Geoff Simmons, “Indonesia: The Long Oppression”, hlm. 189).
Pendudukan ABRI atas Timor Leste merupakan bencana kemanusiaan terburuk sesudah Peristiwa 65. Kedua kejadian ini memiliki kaitan; sama-sama bagian dari “Policy of Containment”-nya Amerika Serikat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh “tentara lokal yang digaji murah”, yaitu ABRI. 
Didalam operasinya, ABRI melakukan tindakan2 brutal dan menimbulkan korban sangat besar di pihak rakyat Timor Leste. Menurut laporan Lopez da Cruz kepada Commissie Justicia et Pax-Nederland, pada permulaan tahun 1976, orang Timor Leste yang terbunuh berjumlah 60.000 orang. Wartawan Perancis Reichle, dalam kurun yang sama menaksir jumlah kematian orang Timor Leste sebesar 75.000. Charleton, wartawan independen pertama yang diijinkan masuk berkeliling Timor Leste menyebutkan angka sekitar 50.000 orang. 
Pada bulan Mei 1977, Menteri Luar Negeri Adam Malik, seorang makelar dari 5.000 kepala rakyat Indonesia yang dipesan oleh CIA, menyatakan:”50.000 atau 80.000 orang Timor-Timur telah mati, tapi apalah artinya ini dibandingkan dengan 600.000 manusia yang ingin menyatukan diri dengan Indonesia.” (Oost Timor Commissie Justicia et Pax-Nederland”, April 1984, hlm. 20). 
Sejak tahun 1975 sampai 1999 jumlah penduduk bangsa Maubere (Timor Leste) yang terbunuh sekitar 200.000 orang, atau hampir sepertiga dari penduduknya. (Mr. Siregar dalam “Tragedi Manusia dan Kemanusiaan”, hlm. 520). Jumlah yang serupa juga disebutkan dalam laporan2 Amnesty Internasional dan ICRC.
Pendudukan terhadap Timor Leste bukan hanya bencana kemanusiaan terhadap rakyatnya. Para prajurit yang ditugaskan kesana atas perintah Suharto, terpaksa menyabung nyawa. Sumber2 di pihak pemerintah menyebutkan, selama pendudukan berlangsung jumlah korban di pihak ABRI kurang-lebih 5.000 orang. Sebagai anak tentara pemegang Satyalencana Seroja, saya meyakini jumlah korban di pihak ABRI melebihi 5.000 orang. 
Diluar itu, ribuan prajurit yang pulang dari Timor Leste, mengalami guncangan kejiwaan dan trauma berkepanjangan. Sewaktu kecil saya sering mendengar kecemasan para tentara begitu mengetahui satuan yang ditugaskan terlebih dahulu ke Timor Leste, “habis” disergap Fretilin. Artinya, kemungkinan untuk dikirimkan kesana semakin besar. Saya juga masih ingat tentang perekrutan besar-besaran calon tamtama untuk menggantikan prajurit2 yang terbunuh di Timor Leste sampai2 tinggi badan ideal untuk prajurit dikurangi dari 160 cm menjadi 157 cm. Rezim Orde Baru (dan yang sekarang) tidak pernah jujur mengenai ini [*]

Selasa, 05 Desember 2017

12 Aktivis Penolak Bandara Kulon Progo Ditangkap Polisi

Reporter: Dipna Videlia Putsanra | 05 Desember, 2017

Pengendara melintas di samping spanduk penolakan pembangunan bandara, di Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta. [Tirto/Mutaya]

Para aktivis ini baru akan diproses di Polres Kulon Progo
12 orang aktivis tersebut diduga memprovokasi warga dan menghalangi proses pengosongan lahan.

Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai membenarkan ada dua belas aktivis yang diamankan dan dibawa ke Polres Kulon Progo karena diduga memprovokasi warga sekitar.

"Bukan menangkap, tapi kami mengamankan karena mereka memprovokasi warga, menghalang-halangi proses," kata AKBP Irfan kepada Tirto di Kulon Progo, Selasa (5/12/2017).

Menurut Irfan, ke-12 orang yang ditangkap itu adalah seluruhnya aktivis, tidak ada warga Kulon Progo.

"Ini semuanya [aktivis yang diamankan] baru saja sampai ke Polres [Kulon Progo]. Baru akan kami proses, semuanya aktivis, tidak ada warga," kata Irfan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, pada pukul 10.15 WIB, aparat kepolisian datang ke rumah warga mereka meminta kepada seluruh jaringan solidaritas yang tidak berizin keluar dari rumah. Hal tersebut dilakukan karena mereka menganggap jaringan solidaritas dan warga adalah provokasi.

Pukul 10.20 WIB, polisi datang lagi bersama dengan aparat desa mereka meminta identitas warga dan jaringan soidaritas. 

Kemudian, pukul 10.31 WIB sempat terjadi dorong-dorongan dengan aparat, hal tersebut berujung pada penangkap 12 jaringan solidaritas dan dibawa ke kantor PT PP yang kemudian dibawa ke Polres.

Ke-12 nama yang ditangkap berdasarkan rilis yang beredar: 
  1. Andrew Lumban Gaol (Anti-Tank)
  2. Chandra dari Liga Forum Studi Yogyakarta 
  3. Fahri dari LPM Rhetor UIN 
  4. Imam dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
  5. Kafabi dari Universitas Islam Negeri Sunan (UIN) Kalijaga 
  6. Mamat dari UIN 
  7. Muslih dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)  
  8. Rifai dari Universitas Mercubuana 
  9. Rimba dari LPM Ekspresi 
  10. Samsul dari LFSY
  11. Wahyu dari UIN 
  12. Yogi dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Sumber: Tirto.Id 

Senin, 27 November 2017

Menimbang Program Sertifikasi Tanah di Indonesia

Emilianus Yakob Sese Tolo


SEJAK tahun 1980an, pemerintah Indonesia telah mempromosikan program sertifikasi tanah (PST) sebagai strategi nasional untuk memfasilitasi pembangunan nasional. Promosi ini telah dilakukan dengan menyusun program nasional seperti Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) pada tahun 1981 dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) di tahun 2006, yang diluncurkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memfasilitasi PTS di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia (Wahid et al., 2015).

Dalam tiga tahun terakhir (2014-2017), pemerintah Indonesia di era presiden Joko Widodo semakin aktif mempromosikan PST di Indonesia. Birokrasi yang mahal dan tidak efektif telah diperbaiki agar dapat mencapai ambisi pemerintah untuk menerbitkan 60 juta sertifikasi tanah pada tahun 2021. Presiden Joko Widodo juga berjanji bahwa pemerintah akan “memberi sertifikat tanah kepada masyarakat setiap hari,” dan “akan memantaunya dengan saksama” (Adi, 2016; Chin, 2016). Keseriusan ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia percaya bahwa PST dapat mendukung pembangunan Indonesia.

Namun, meski pemerintah Indonesia telah serius berjuang melaksanakan PST, beberapa pihak menganggap bahwa program tersebut telah gagal mencapai tujuan untuk meningkatkan pembangunan Indonesia karena meningkatnya ketimpangan tanah dan tingkat keparahan kemiskinan[1] di Indonesia akhir-akhir ini (Warren & Lucas, 2013).


Sertifikasi Tanah dan Persoalannya

Beberapa ilmuwan pembangunan mengklaim bahwa PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebab PST dapat “memengaruhi insentif investasi dan ketersediaan sumber daya keuangan untuk membiayai investasi,” terutama di daerah-daerah di mana terdapat banyak bank konvensional (Feder & Onchan 1987: 311, de Soto, 2000).
Memang, dengan menggunakan sertikat tanah sebagai jaminan (collateral), orang dapat dengan mudah meminjam uang dari bank untuk menjalankan bisnis dan investasi di pelbagai sektor, termasuk di sektor pertanian itu sendiri (de Soto, 2000; Myers & Hetz, 2004).

Namun, walaupun PST dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, hal itu tidak dinikmati oleh semua masyarakat. Sebenarnya, dalam banyak kasus, PST di negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan kemiskinan karena ideologi neoliberal yang mendasari implementasi PST di negara-negara berkembang terlalu “income-centered and growth-oriented” (Borras, 2007: 7), dan, dengan demikian, mengabaikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi semua. Apalagi, rasionalisasi utama PST adalah memperlakukan lahan sebagai komoditas yang mudah dibeli dan dijual demi akumulasi modal (Akram-Lodhi, 2013, Maura 2013, Mulyani 2015). Sebagai contoh, Gordon (1975), melalui penelitian etnografisnya di Flores, Manggarai, Indonesia, menemukan bahwa, pada 1970-an, tanah bersertifikat dengan mudah diperjualbelikan antara petani dan orang kaya baru, yang melihat tanah sebagai investasi utama mereka.

Perampasan lahan yang ‘digerakkan oleh pasar’, seperti yang terjadi di Manggarai ini, adalah sebuah rahasia umum di Indonesia, yang telah menimbulkan kesenjangan kepemilikan tanah di masyarakat. Pada awal tahun 2000an, koefisien gini kepemilikan lahan di Indonesia meningkat dari 0,5 pada tahun 1983 menjadi 0,7 pada tahun 2003 (Habibi & Juliawan 2017). Selain disebabkan oleh faktor lain, PST juga turut berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan kepemilikan tanah, sebab dia mempercepat proses komodifikasi tanah.
Menurut Badan Pertanahan Nasional (2013), antara 2011-2013, terdapat 2,3 juta transaksi tanah bersertifikat di Indonesia (Wahid et al., 2015). Transaksi ini mungkin telah berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan yang miskin di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh koefisien gini 2015 sebesar 0,41, karena orang kaya yang memiliki modal besar dapat dengan mudah membeli tanah dari orang miskin untuk demi investasi ekonomi mereka.

Alasan lain di balik promosi PST adalah fungsi sosialnya untuk mencegah konflik agraria (Deininger et al., 2009). Kristiansen dan Sulistiawati (2016) menunjukkan bahwa salah satu motivasi utama sertifkasi tanah di Indonesia Timur adalah untuk mengatasi konflik agraria di masa depan. Contoh lain, di Meksiko, Valsechhi (2014: 2) melaporkan bahwa orang-orang yang memiliki sertikasi tanah tidak lagi khawatir tentang konflik kepemilikan tanah atas tanah mereka, dan mereka “sekarang dapat meninggalkan tanah mereka” untuk mencari pekerjaan yang lebih baik di Amerika Serikat “tanpa takut kehilangan tanahnya.”

Namun, argumen ini tidak selalu benar karena konflik kepemilikan lahan biasanya terjadi ketika pemerintah meluncurkan PST, terutama di masyarakat yang lahannya merupakan aset kolektif, yang dilarang keras untuk disertifikasi, seperti di Flores,[2] Indonesia. Di Indonesia, terutama masyarakat di kawasan Timur Indonesia, terutama di tingkat desa, menganggap tanah sebagai aset kolektif, dan begitu aset ini disertifikasi, seringkali konflik kepemilikan lahan mulai terjadi (Barron & Kaiser, 2009; Adam, 2001; Tolo, 2013a). Karena itu, semakin pemerintah Indonesia mempromosikan PST, maka konflik agraria akan semakin meningkat di masa depan. Secara nasional, pada tahun 2013, terdapat sekitar 4.000 kasus konflik kepemilikan lahan di Indonesia (Wahid et al., 2015). Walau harus diakui bahwa ada faktor lain yang memengaruhi konflik agraria ini, tak dapat disangkal bahwa PST juga turut memincu konflik itu di beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang saya temukan di Flores.[3] Konflik ini biasanya terjadi di antara individu dalam suatu kelompok masyarakat yang sama. Konflik ini biasanya berkaitan dengan klaim hak atas tanah dan komodifikasi tanah (Tolo 2017). Apalagi, dalam beberapa kasus, BPN di daerah, yang kebanyakan para pegawainya tidak berasal dari penduduk setempat, terkadang menerbitkan sertifikasi tanah hanya untuk mencapai target nasional, dan cenderung mengabaikan prosedur ketat yang harus diikuti serta cenderung mengabaikan adat dan budaya setempat (Tolo 2017).

Alasan lebih lanjut mengapa PST dilaksanakan adalah bahwa kepemilikan sertifikasi tanah dapat meningkatkan derajat pemanfaatan lahan pertanian secara lebih efektif dan efisien (Feder & Onchan, 1987). Namun, peningkatan derajat pemafaatan atas tanah ini terkadang memicu laju deforestasi, sebab orang-orang yang telah mendapatkan sertifikat tanah mereka, yang mungkin terdapat hutan di dalamnya, cenderung mengubah hutan individual mereka menjadi lahan pertanian atau menjualnya ke perkebunan kelapa sawit dan kakao dan perusahaan penebangan kayu seperti di Kalimantan,[4] Maluku[5] dan Sulawesi (Li 2012). Lebih jauh, konversi hutan untuk lahan pertanian ini mungkin telah menyebabkan perampasan tanah di Indonesia –seperti yang terjadi di negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin (Borras & Franco 2011; Borras et al., 2012)– yang menyebabkan hilangnya lebih dari 143 juta hektar hutan Indonesia, terutama selama rezim Orde Baru (Tolo 2013b).


Kesimpulan

Meskipun PST bertujuan untuk mendukung pembangunan dengan agenda mengurangi tingkat kemiskinan, konflik sosial dan deforestasi, dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, tampaknya PST memiliki dampak yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan PST di beberapa negara, seperti Thailand dan Meksiko, tidak otomatis terjadi saat diimplementasikan di Indonesia (Feder & Onchan 1987; Valsechhi, 2014). Salah satu alasan yang mungkin terjadi di balik kegagalan ini adalah bahwa PST di Indonesia tampaknya telah mengabaikan kondisi struktural masyarakat terkait dengan sistem pertanahan. Ini terjadi karena, seperti yang diingatkan oleh Li (2012:21), banyak proyek pembangunan di Indonesia, termasuk PST, cenderung mengabaikan “persoalan ekonomi politik– yaitu persoalan menyangkut penguasaan alat-alat produksi, serta struktur hukum dan kekuasaan yang menopang berlangsungnya ketimpangan sistem.” Karena itu, pemerintah mungkin perlu mengevaluasi kembali dan menilai ulang PST di Indonesia agar lebih sensitif terhadap “pertanyaan ekonomi-politik” sehingga dapat membawa kesejahteraan yang lebih besar kepada sebagian besar masyarakat Indonesia.

***

Penulis adalah Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta

Kepustakaan:
Adam, J. (2010). Post-Conflict Ambon: Forced Migration and the Ethno-Territorial Effects of Customary Tenure, Development and Change 41, 3: 401-19.
Adi, G.N. (2016). Jokowi Warns of Illegal Levies in Land Certification. Retrieved from http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/17/jokowi-warns-of-illegal-levies-in-land-certification.html.
Akram-lodhy, A.H. (2013). Hungry for Change: Farmers, Food Justice and Agrarian Question. Canada: Hignell Book Printing.
Barron, P. & Kai, K. (2009). Understanding Variations in Local Conflict: Evidence and Implications from Indonesia, World Development 37, 3: 698–713.
Borras, S.M. (2007). Pro-Poor Land Reform. USA: University of Ottawa Press.
Borras, S.M & Franco, J.C. (2011). Political Dynamics of Land-Grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role, Transnational Institute in the context of the Just Trade project, Netherland.
Borras Jr, S. M., Franco, J. C., Gómez, S., Kay, C., & Spoor, M. (2012). Land grabbing in Latin America and the Caribbean. The Journal of Peasant Studies39 (3-4), 845-872.
Chin, C. (2016). How Can Indonesia Solve Its Massive Backlog of Land Certificates. Retrieved from https://govinsider.asia/innovation/how-can-indonesia-solve-its-land-certification-problem/.
Deininger, K., Ali, D. A., & Alemu, T. (2008). Impacts of Land Certification Ontenure Security, Investment, and Land Markets: Evidence from Ethiopia.
de Soto, H. (2000). The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else?, London: Black Swan Publisher.
Feder, G., & Onchan, T. (1987). Land ownership security and farm investment in Thailand. American Journal of Agricultural Economics69(2), 311-320.
Gordon, J.L. (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in an Eastern Indonesia Society, PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.
Habibi, M. & Juliawan, B.H. (2017). Creating Surplus Labour: Neoliberal Transformations and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia, Journal of contemporary Asiaforthcoming.
Kristiansen, S., & Sulistiawati, L. (2016). Traditions, Land Rights, and Local Welfare Creation: Studies from Eastern Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52 2: 209-227.
Lucas, A., & Warren, C. (2013). Land for the people: The state and Agrarian conflict in Indonesia. Ohio University Press: Swallow Press.
Maura, M.J.S.B. (2013). Land Title Program in Brazil: Are There Any Changes to Happiness?, The Journal of Socio-Economics 45, 196-203.
Mulyani, L (2015). Gambling with the State: Land Titles and Personhood Rights among the Urban Poor in Indonesia, Asian Journal of Law and Society 2, 1: 285-300.
Myers, G., & Hertz, P.E. (2004). Property Rights and Land Privatization: Issues for Success in Mongolia, Laporan untuk USAID Mongolia.
Tolo, E.Y.S. (2017)Collective Land Certification Policy as an Alternative to Land Conflict Resolution and Rural Development in Flores, Indonesia, Journal Bisnis & Birokrasiforthcoming.
Tolo, E.Y.S. (2013a). Public Participation in the Implementation of Forestry Decentralization in Indonesia, International Journal Bisnis & Birokrasi, 20, 2: 113-120.
Tolo, E.Y.S. (2013b) Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia. Retrieved from: http://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-indonesia/.
Obidzinski, K., Takahashi, I., Dermawan, A., Komarudin, H., & Andrianto, A. (2013). Can large scale land acquisition for agro-development in Indonesia be managed sustainably?. Land Use Policy30(1), 952-965.
Valsecchi, M. (2014). Land property rights and international migration: Evidence from Mexico, Journal of Development Economics110, 276-290.
Wahid, F., Sæbø, Ø., & Furuholt, B. (2015, May). The Use of Information System in Indonesia’s Land Management. Proceedings of the 13th International Conference on Social Implications of Computers in Developing Countries, Negombo, Sri Lanka.
Zain, Winarno (2016). Behind the rise of poverty in Indonesia. (Online). Retrieve from http://www.thejakartapost.com/news/2016/02/01/behind-rise-poverty-indonesia.html

————
[1]Dewasa ini dari 252 juta orang, masih teradapat 28,2 juta orang miskin di Indonesia (Zain, 2016). Lebih mengejutkan lagi, jika kemiskinan diukur berdasarkan dimensi pengembangan manusia, yang mencakup “pemenuhan kebutuhan dasar manusia; akses terhadap pendidikan, kesehatan, atau layanan pemerintah; dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sektor sosial, ekonomi, dan politik tanpa diskriminasi,” Laporan Bank Dunia mengenai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia memprediksi bahwa lebih dari separuh orang Indonesia dianggap sebagai orang miskin (Mulyani 2015: 288).
[2]Wawancara dengan ketua adat di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014.
[3]Wawancara dengan ketua adat di Wolosambi, Mauponggo, Flores, 23 November 2014
[4]Wawancara dengan seorang petani di Desa Kalumpang, Kalimantan Tengah, 12 Maret 2012.
[5]Wawancara dengan sekretaris Desa Luhu, Seram Bagian Barat, 15 November 2015.

Sumber: Indoprogress 

Senin, 13 November 2017

Korban Penggusuran Dikriminalisasi

Oleh: Bara Pravda


Rakyat korban penggusuran Jl. Stasiun Barat, Kebon Jeruk, Bandung, dalam upaya mempertahankan hak atas tanahnya malah dikriminalisasi oleh PT. KAI Daop II melalui Polda Jawa Barat.

Warga RT.03/02, Kelurahan Kebon Jeruk, Bandung nampaknya belum bisa menjalani kehidupannya kembali dengan tenang. Meski telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung saat menggusur secara paksa bangunan milik warga tanpa alas hak pada 26 Juli 2016 lalu, nyatanya PT. Kereta Api Indonesia (KAI) masih saja mengusik dan tak mengakui hak warga dalam menempati lahan yang telah warga diami selama puluhan tahun. Dengan berbagai cara, PT. KAI mengklaim lahan yang kini sedang dibangun kembali oleh warga. Padahal masih dalam amar putusannya, Majelis Hakim yang diketuai oleh Irwan Effendy menyatakan bahwa PT. KAI tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan.

Pada 28 Oktober 2017 lalu, ketua RW. 02 dan RT. 03 mendapat surat panggilan dari Polda Jawa Barat sebagai saksi atas laporan tindak pidana terhadap pasal 167 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Atas laporan ini maka jelas terlihat upaya PT. KAI untuk mengkriminalisasi warga Kebon Jeruk. Selain itu pasal yang digunakan pun terlihat dipaksakan, sebab bagaimana bisa warga yang telah hidup dan mendiami lahan selama puluhan tahun, dijerat dengan pasal ini?

Kepolisian Berat Sebelah

Indikasi ini nampak jelas sebab sebelumnya pada tanggal 12 Juni, warga juga melaporkan PT. KAI kepadal Polres Kota Bandung karena 2 hari sebelumnya pihak PT. KAI bersama Polsuska mengintimidasi warga yang tengah membangun rumahnya kembali. Intimidasi itu juga disertai dengan tindak penghinaan terhadap salah satu warga. Namun hingga kini laporan warga tak kunjung ada kejelasan.

Untuk itu kami menuntut kepada pihak kepolisian agar menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga Kebon Jeruk. Sebab pada putusan pertama sudah dijelaskan bahwa warga lah yang lebih berhak untuk mendiami lahan yang selalu diklaim secara sepihak oleh PT. KAI.

Dalam rangka memperjuangkan hak atas tanahnya, rakyat Kebon Jeruk terus menempuh upaya legal. Hari Selasa, 14 November 2017, rakyat Kebon Jeruk akan mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta dukungan perlindungan hukum. Bagi kawan-kawan semua, dukung upaya rakyat mempertahankan tanahnya, bersama berjuang melawan kriminalisasi!

Lawan kriminalisasi dengan persatuan rakyat. Tanah untuk rakyat, bukan untuk korporat !

Senin, 16 Oktober 2017

Tamsil Fokatea: Surat dari Perbatasan


KEPADA YTH,
BAPAK KOMPOL ABDULMUBIN SIAGIAN
beberapa hari ini komentar bapak sangat VIRAL di FB tetang pernyataan bapak bahwa TNI diperbatasan indonesia kerjanya hanya makan dan tidur..
Jujur saya sangat kecewa dengan pernyataan itu.. Hati saya sangat sakit membaca komentar bapak.. Seandainya bukan krn lorengku.. Sudah ku teteskan air mata ini krn komentar bapak yg terasa perih bagi saya..
Saya adalah salah satu prajurit yg pernah diberi kepercayaan oleh negara untuk menjaga perbatasan RI - Papua New Guinea antara tahun 2014 s.d. 2015...
11 bulan bukan waktu yang singkat utk hidup diperbatasan pak..
Kami rela meninggalkan satuan tercinta kami demi tugas yg mulia ini..
Meninggalakan keluarga kami..
Meninggalkan kehidupan modern ditengah kota ,menuju hutan belantara dan perkebunan kelapa sawit di perbatasan papua..



Saya masih sedikit beruntung krn Pos penjagaan saya masih dekat dengan pemukiman warga dibanding rekan rekan saya yg lain yg ditempatkan di pos tanpa pemukiman hanya babi hutan dan burung kasuari yang lalu lalang di sekitar mereka..
Disana kami tdk bisa sebebas dikota menggunakan listrik dan air bersih..
Listrik sangat terbatas pak.. Air bersih pun demikian..
Kami tidak bisa bebas memilih makanan disana pak.. Apa yg tersedia didapur dan dikebun itulah yg kami masak.. Bahkan kami sering makan Ransum yg rasanya sudah sangat ennek dileher..


Sekali lagi pernyataan bapak bahwa TNI diperbatasan kerjanya hanya makan tidur sungguh membuat luka dihati kami..
Kami disana memang butuh makan pak.. Butuh tidur juga tp itu bukan kerjaan kami pak..
Kami tak bisa makan seenak yg bapak makan.. Dan tidak bisa tidur sepulas tidur bapak..
Disana kami bukan sekedar menjaga perbatasan dari para pelintas batas dari negara tetangga.. Tp kami masuk ke sekolah sekolah utk mengajar menggantikan peran Guru yang kekurangan disana..
Kami masuk kedesa desa terpencil yg jauh dari jangkauan pemerintah untuk memberikan pengobatan gratis menggantikan peran Dokter yang hampir tidak ada didaerah sana.
Kami ikut andil melakukan pembangunan disana pak..
Kami merangkul masyarakat disana dan menanamkan rasa nasionalisme kecintaan terhadap indonesia..
Kami yg mensweeping miras miras ilegas diperbatasan..
Kami yg turun kemasyarakat berbagi dan sharing tentang cara bercocok taman yang baik dan benar agar dapat meningkatkan taraf hidup mereka yg diperbatasan utk lebih baik..
Dan rekan rekan saya kadang keluar masuk hutan selama berhari hari atau bahkan berminggu minggu dengan bekal yg terbatas dan seadanya hanya utk mencari dan mengamankan Patok Batas dan memastikan patok tsb tidak bergeser..


Sekali lagi 11 bulan bukan waktu yg singkat hidup diperbatasan pak..
Kerinduan dengan keluarga hanya terobati dengan telepon seluler yg signalnya kadang ada kadang hilang..
Disana tdk senyaman kota besar pak..
Kaki kami tidak sembuh sembuh dari kutu air yg menyerang..
Bukannya kami tdk mengobatinya.. Tp obatnya tdk mempan krn bakteri dan kutu airnya sangat ganas..
Belum lagi penyakit malaria yg menyerang rekan rekan kami yg berada di pos tertentu yg malarianya sudah tidak diragukan lagi keganasannya.. Bahkan mereka membawa penyakit itu sampai hari ini yg kapan kapan saja bisa kambuh kembali..
Tp semua kesulitan dan ketidaknyaman itu bukan kendala bagi kami..
Krn kami bangga dengan tugas negara yg tdk semua orang diberi kesempatan itu..
KERJA KAMI BUKAN MAKAN TIDUR PAK..
TP KAMI GARDA TERDEPAN DI PERBATASAN INDONESIA..
Dan perlu bapak tau.. Bahwa hubungan kami TNI dengan polisi yg ada disana terjalin dgn baik.
Trimsh Wasallam
By Prajurit TNl