This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 26 Juli 2016

Pembahasan Reforma Agraria Jalan di Tempat

Selasa, 26 Juli 2016 | 17:30 WIB

Warga Desa Cot Mee dan Cot Rambong Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh Mengacam akan boikot Pemilukada 2017 mendatang jika pemerintah kabupaten setempat tidak segera menyelesaikan sengketa lahan Desa dengan perusahaan sawit serta membebaskan empat warga yang telah ditangkap karena dituduh tanpa bukti melakukan pembakaran dan pengrusakan barak milik perusahaan perkebunan sawit PT Fajar Baizuri. “kami akan boikot pemilu jika pemerintah tidak menyeselesaikan sengketa lahan Desa dan membebaskan empat warga kami yang ditangkap tanpa bukti”, kata Sidiono, warga Cot Mee kepada wartawan, Kamis (28/04/2016).  KOMPAS.COM/ RAJA UMAR "MEULABOH KOMPA.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Program nasional pemerintah Reforma Agraria dinilai tidak berjalan atau bahkan cenderung "tenggelam", baik di tingkat pembahasan maupun implementasi. Padahal, reforma agraria bertujuan untuk mengurangi konflik akibat permasalahn lahan.

Dengan kurang efektifnya Reforma Agraria ini, ketimpangan di masyarakat semakin parah, yakni dari total 26,14 juta rumah tangga petani, sebanyak 56,12 persennya adalah petani gurem.

Hal ini berbanding terbalik dengan 10 korporasi besar yang menguasai ratusan hingga ratusan hingga ribuan hektar tanah.

"Setelah (para menteri) dilantik memang ada langkah-langkah. Mulai dari 27 Februari 2015, Presiden Jokowi (Joko Widodo) memimpin rapat terbatas untuk mendistribusikan lahan 9 juta hektar," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin saat diskusi "Membongkar Ketimpangan, Membagi Kesejahteraan, Reforma Agraria di Era Jokowi-JK", di Gedung Dewan Pers, Selasa (26/7/2016).

Ia menyebutkan, rapat saat itu menghasilkan keputusan bahwa tanah yang didistribusikan antara lain dari hutan produksi yang dapat dikonversi. Tanah-tanah ini kemudian akan dialokasikan menjadi perkebunan tebu, sawit dan kedelai.

April 2015 ada penandatanganan kesepakatan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) terkait redistribusi tanah untuk ketahanan pangan dan program transmigrasi.

Kemudian, penandatangan kesepakatan ini berlanjut pada terbitnya Peraturan Bersama 4 Menteri untuk penyelesaian tanah di kehutanan.

Tidak lama setelah itu juga Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan dinyatakan masuk prioritas Prolegnas DPR, dan terakhir ATR/BPN menyiapkan draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria.

"Itu semua terjadi pada 2015. Lalu tiba-tiba senyap. Hampir tidak ada pembicaraan itu lagi sekarang. Perpres belum ada, kemudian rencana-rencana itu juga tidak jelas. Itu kan baru rencana," tandas Iwan.


Penulis: Arimbi Ramadhiani
Editor : Hilda B Alexander

http://properti.kompas.com/read/2016/07/26/173000721/Pembahasan.Reforma.Agraria.Jalan.di.Tempat

Senin, 25 Juli 2016

Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?

2016 / Juli / 25  
Mahandis Y. Thamrin*

Catatan lawas dan misterius dari balik tembok Keraton Yogyakarta mengungkapan menit-menit akhir Perang Jawa yang memalukan.   

Para prajurit Keraton Yogyakarta, dari berbagai kesatuan wilayah, bersiap melakukan upacara Grebeg Syawal yang digelar pada 1 Syawal setiap tahunnya, menandai berakhirnya bulan Ramadhan (kalender Hijriyah) atau Pasa (kalender Jawa). (Mahandis Y. Thamrin)

Perang Jawa berakhir dengan cara yang memalukan. Pemberontakan Dipanagara mengakhiri titimangsa lama di Jawa. Terbentanglah untaian panjang titimangsa baru: Penjajahan sejati di Tanah Jawa, sebuah masa getir dengan dera tanam paksa dan gilasan roda modal swasta.

Dipanagara menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang yang terhormat. Selama persinggahan hingga ke tempat pengasingannya yang terakhir, dia tidak pernah ditempatkan dalam jeruji penjara. Belanda memberikan kamar hunian dalam Fort Amsterdam di Manado, dan Fort Rotterdam di Makassar. Seluruh biaya Perang Jawa dan biaya hidup Dipanagara menjadi tanggungan Keraton Yogyakarta. Dia wafat dalam kemiskinan pada hari Senin, 8 Januari 1855 dalam usia 69 tahun. Hingga akhir hayatnya, pangeran itu tetap memilih disapa dengan Ngabdulkamid. Musuh bebuyutannya, Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, wafat sepuluh tahun lebih dahulu.

Dipanagara merupakan sosok kontroversial. Bagi Belanda, dia merupakan sosok yang mewakili perlawanan terhadap kolonialisme, lewat Perang Sabil. Sementara bagi Indonesia, dia merupakan sosok yang tidak disukai oleh Keraton Yogyakarta karena dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan, pemberontakan Dipanagara telah membuat Keraton Yogyakarta nyaris disirnakan oleh Belanda.

Di Keraton Yogyakarta, saya sowan kepada Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat. Dia merupakan cucu Sultan Kedelapan, sesepuh yang bertutur santun dan berhati-hati. Kami berbincang di tempat kerjanya sebagai Pengageng Tepas Dwarapura. Jatiningrat membacakan cuplikan naskah berbahasa Jawa, yang selama ini tersimpan rapat di dalam keraton. Dia baru berani mengungkapkan isi naskah itu kepada saya karena menurutnya zaman sudah berubah. Hasil analisanya soal naskah tersebut, dia menduga bahwa Keraton Yogyakarta turut terlibat dalam penjebakan Dipanagara di Magelang.
“Masa lalu kita akui bahwa perselisihan membuat satu trah tersisihkan. Sejarah yang baik adalah sejarah yang bisa memberikan pendidikan bagi penerus sejarah. Memang susah bicara apa adanya, dan sering apa adanya itu memerlukan waktu.”
Naskah tersebut mengisahkan bahwa Raden Tumenggung Danukusuma II “sekonyong-konyong” keluar dari keraton. Dia merupakan, ipar Dipanagara. Setelah Dipanagara bergelar Sultan Ngabdulkamid, Danukusuma II diwisuda menjadi patihnya yang bergelar Raden Adipati Abdullah Danureja.

Selepas Dipanagara kesepian karena ditinggalkan para panglima perang dan saudaranya, Abdullah berinisiatif berembuk dengan De Kock, tutur Jatiningrat. Abdullah meminta De Kock untuk segera mengadakan perdamaian di loji Karesidenan Magelang. Pada hari yang ditentukan, Dipanagara dan De Kock berada di kamar depan, demikian kisahnya, sementara Abdullah datang lebih dahulu di kamar belakang. Usai Dipanagara ditangkap, dia pergi menghadap ke Keraton lagi. Kemudian, dia bergelar Kanjeng Adipati Danuningrat.

Jatiningrat menduga bahwa Abdullah sengaja diselundupkan dalam misi rahasia, bukan atas inisatif pribadi, karena buktinya dia kembali ke keraton lagi. “Ini rembuk negara, bukan perorangan,” ucapnya. “Ini sesuatu yang patut dipertimbangkan.”

“Ini sumber keraton yang mengatakan seperti itu,” ujar Jatiningrat. Ketika saya desak siapa penulisnya, sambil tersenyum dia menolak menyebutkannya.  “Masa lalu kita akui bahwa perselisihan membuat satu trah tersisihkan. Sejarah yang baik adalah sejarah yang bisa memberikan pendidikan bagi penerus sejarah itu,” ujarnya. “Memang susah bicara apa adanya, dan sering apa adanya itu memerlukan waktu.”

Cerita ini merupakan nukilan dari “Kecamuk Perang Jawa" yang berkisah tentang suratan tragis Sang Pangeran yang hidup di zaman edan, terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014.
Mahandis Yoanata Thamrin

Mahandis Yoanata Thamrin

Jurnalis | Editor National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler Indonesia | "For the increase and diffusion of geographic knowledge"
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/07/keraton-yogyakarta-terlibat-dalam-siasat-menjebak-dipanagara

Jumat, 22 Juli 2016

Sejarah, Saat itu...

Oleh: Budi Wardoyo

JL F Gang Z2. Sebuah alamat yang mudah diingat, tapi sulit dicari di tengah labirin pemukiman padat Bidaracina, Cawang. Sebuah rumah kontrakan berwarna kuning kusam, dan di lantainya tercetak jejak air bekas banjir. Sebuah rumah berteras kecil, dan terjepit oleh sebuah gang sempit. 

Di rumah itu, persis pada 21 Juli 1996, ada puluhan anak muda belum berhenti bekerja meski hari menjelang fajar. Segepok brosur telah rapi tercetak, juga poster dan spanduk teronggok di sudut sebuah kamar kerja. 

Seorang pemuda tampak gusar di dekat mesin fax yang terus mengeluarkan bunyi bip-bip-bip, dan printer dot matrix yang tampak sangat lelah mencetak tumpukan dokumen hingga suaranya menyayat seperti bunyi gergaji mesin.

Ia kehilangan kacamata. Tubuhnya ceking, berkulit putih, dengan mata kerap dipicingkan ketika bicara. Seorang kutu buku, tapi ia bisa kerasukan seekor singa jika melihat mimbar dan massa. "Harus ketemu. Jangan sampai gue salah baca ntar siang," ujarnya. Dia mengacak-acak rambutnya, menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali mendengus. Lalu melihat tumpukan dokumen fotokopian terjilid rapi, dan mengambilnya satu eksemplar.

Ia membacanya lagi, dan lagi. Sebuah tumpahan pemikiran dari perdebatan panjang, dan tentu saja panas. Ada sebuah kalimat tegas di bagian pembuka, sebuah manifesto politik dengan intro kelak memantik kemarahan penguasa. "Tak ada demokrasi di Indonesia", begitu bunyinya. Ia kembali mengacak-acak rambutnya, dan memicingkan mata. Biasanya ada kacamata tersangkut di atas kepalanya itu, tapi kini ia lupa menaruhnya di mana.

Seorang rekannya bertubuh tambun duduk bersila sambil mencatat sesuatu di atas kertas. Ia memperhatikan si kutu buku yang masih gusar itu. "Begitu saja lupa. Itu kacamatamu di tepi kusen jendela," ujarnya. Ia bicara dengan suara tertahan. Bukan karena marah, tapi menjaga sebatang korek api yang digigit dari entah kapan agar tak terjatuh dari bibirnya.

Si kutu buku terus membaca. Suara printer belum juga berhenti. Seperti terus merekam semua jeritan mereka yang ditindas penguasa dan tertulis di buku pernyataan politik para anak muda itu. Mereka mewakili kemarahan dari satu generasi yang dibungkam di zaman orde baru. Tiga media dibreidel dua tahun sebelumnya, aksi buruh ditumpas, para petani dihajar saat menuntut tanah yang dirampas semena-mena.

Pada siang harinya, di sebuah kantor tempat para pengacara yang setia memberi bantuan hukum pada rakyat dihinakan haknya, si kutu buku dan kawan-kawannya membaca manifesto itu dengan gagah. Besoknya koran-koran menaruh peristiwa politik langka itu di halaman depan: telah lahir sebuah partai baru, yang nekad melawan kediktatoran orde baru. 

Sepekan kemudian badai politik itu datang. Partai baru itu dituduh biang kerusuhan pada 27 Juli. Aktivisnya diburu, semua organisasi pendukung mereka masuk daftar hitam. Si kutu buku ditangkap kurang dari dua bulan kemudian. Politik kian panas, ketidakpuasan makin merata, rakyat dan mahasiwa turun ke jalan dengan kemarahan laksana guliran bola bara raksasa. Mereka, anak-anak muda dari sekujur nusantara itu, terus membelah diri mirip amuba yang berlipat ganda. 

Sampai suatu hari, setelah dua tahun penuh gejolak, di televisi seorang diktator yang mendadak ditinggal para pemuja dan penjilatnya, tampil dengan suara galau menyatakan mundur dari kekuasaan. Lalu sebuah jalan baru terbuka buat republik: reformasi. Sebuah tatanan politik baru muncul membuka pintu bagi siapa saja, dan kelak termasuk seorang bekas walikota, berpeluang menjadi presiden.

Jl F Gang Z2. Sebuah rumah kontrakan itu masih di sana ketika penghuninya dikejar, ditangkap, dan dipenjara. Kini mungkin sulit mencarinya di tengah labirin ingatan yang mulai pudar. Tak ada lagi teriakan printer mirip gergaji mesin. Di tempat itu suara mereka yang ditindas penguasa pernah dicatat, disuarakan garang, dan juga berdarah. Ia sejujurnya hanya bermodalkan nyali dan kegilaan anak-anak muda yang kurang tidur malam. Atau mimpi si kutu buku yang bahkan lupa di mana kacamatanya disimpan.

https://www.facebook.com/budi.wardoyo/posts/10210367265448991

Jumat, 15 Juli 2016

[Press-Release] "Adili Polisi Pelanggar Kode Etik dan Pelaku Pelanggaran Hak Konstitusi Mahasiwa Papua"

Polisi Praktekkan Penanganan Anarkis dan Penanggulanggan Huru Hara Secara Ilegal Terhadap Mahasiswa Papua untuk Membangun Diskriminasi dalam kehidupan Bermasyarakat di DIY


"Adili Polisi Pelanggar Kode Etik dan Pelaku Pelanggaran Hak Konstitusi Mahasiwa Papua"

Indonesia adalah negara hukum sehingga perlindungan HAM adalah tanggungjawab negara melalui pemerintah sesuai dgn pasal 28i ayat (4), UUD 1945.
Dalam rangka menjamin HAM warga negara, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum di dalam masyarakat.
Salah satu hak konstitusi adalah hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta UU HAM dan terkait mekanismenya dijamin dalam UU No. 9 Thn 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum.

Berdasar realitas ketidakadilan struktural yang terjadi di Papua selanjutnya mahasiswa Papua menggunakan hak konstitusi untuk mengembangkan diri melalui pendidikan (Psl 28c ayat 1, UUD 1945) selanjutnya berjuang memajukan diri dalam perjuangan kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negara (psl 28c ayat 2, UUD 1945) dengan cara melawan ketidakadilan di Papua menggunakan hak berserikat berkumpul berdiskusi dan menyatakan pendapat di muka umum merupakan perjuangan kostitusional yang wajib didukung dan dilindungi oleh seluruh warga negara dan terlebih khusus pihak kepolisian yang bertugas untuk melindungi HAM.

Meskipun demikian sejak awal tahun 2016 hingga tanggal 14 Juli 2016 perjuangan konstitusi yang dilakukan mahasiswa Papua di DIY didiskriminasikan dengan berbagai bentuk dan bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) sehingga hak demokrasinya berjalan tidak maksimal.

Berdasarkan data yang ada, beberapa tindakan pelanggaran hak konstitusi oleh polisi terhadap mahasiswa Papua di DIY, sebagai berikut :

1). Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada bulan April 2016;
2). Represifitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 dan 30 Mei 2016;
3). Pengepungan asrama oleh polisi pada tanggal 14 Juni 2016 dan represifitas sebelum dan saat aksi 16 juni 2016
4). Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada tanggal 1 Juli 2016, tanggal 13 Juli 2016; dan
5). yang terakhir adalah pembungkaman ruang demokrasi pada tanggal 14 Juli 2016 oleh ratusan aparat Polri lengkap menggunakan senjata dan mobil water canon yang dihadapkan tepat di depan pagar asrama. 


Dalam rangka mewujudkan tindakan ilegal yang berujung pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi terhadap mahasiswa Papua "awalnya dimulai dari sikap Kasatintelkam yang menerima surat pemberitahuan dari mahasiswa Papua selanjutnya pihak intelkam memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan, namun di dalamnya terkait rute diubah sehingga arahnya berbeda dengan rencana dalam surat pemberitahuan yang diserahkan. 
Sikap Kasatintelkam itu jelas-jelas melanggar UU No 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, sebab pada prinsipnya polisi menyesuaikan dengan rute yang ditetapkan disampaikan dalam surat pemberitahuan. 
Fakta perubahan rute itulah yang dilakukan Kasatintelkam saat aksi demonstrasi mahasiswa Papua pada tanggal 14 juni 2016 lalu, sehingga membuka peluang polisi melakukan tindakan represif. 
Hal pelanggaran UU No 9/1998 kembali dilakukan oleh Kasatintelkam Polresta Yogyakarta kepada mahasiswa Papua pada tanggal 13 Juli 2016 kemarin. Namun kali ini beliau menyalah-artikan isi pasal 10 ayat (3), UU No 9/1998 dimana perihal pemberitahuan disampaikan 3X24 jam sebelum kegiatan, diartikan menjadi 7X24 jam sebelum kegiatan. 
Melalui sikap itu salah satunya telah melahirkan tindakan represif tgl 14 Juli 2016 kemarin.

Sikap kepolisian itu sangat kelewatan dan bahkan berlebihan serta jelas-jelas melanggar HAM dan Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam tugas polisi.

Selain itu, pengerahan pasukan untuk pengepungan serta tindakan represifitas polisi terhadap mahasiswa Papua sendiri perlu dipertanyakan terkait apa dasar hukum yang dilanggar oleh mahasiswa Papua sehingga polisi seenaknya melakukan tindakan tidak profesional dan melanggar hukum secara beruntun dari awal 2016 hingga 14 Juli 2015 tadi. Sebab jika hanya menyampaikan pendapat di muka umum itu kan hak demokrasi yang dijamin dalam UUD 1945, UU HAM dan UU No 9/1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kok sikap polisi sanggat berlebihan seperti itu. 


Berdasarkan tupoksi kepolisian sebenarnya polisi melindungi dan memfasilitasi tersalurnya hak berdemokrasi dan berekspresi bagi mahasiswa Papua dan masyarakat sipil di Yogya, namun karena faktanya demikian maka pertanyaannya adalah apakah polisi melindungi HAM atau tidak jika pendekatannya demikian?

Berdasarkan sikap polisi sejak awal 2016 hingga 14 Juli 2016 terhadap mahasiswa Papua dengan menggunakan peralatan seperti senjata lengkap serta water-canon diatas menunjukkan bahwa sikap polisi membuat ketidaknyamanan dan justru semakin membuat masyarakat sekitar khawatir.

Berdasarkan semua sikap dan tindakan polisi diatas dapat disimpulkan bahwa ada tujuan yang terselubung dari semua sikap polisi terhadap mahasiswa Papua diantaranya :

1). membungkam perjuangan kostitusional mahasiswa Papua dan
2). membangun stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis, tindakan, pandangan dan bahkan dalam penegakan hukum dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi secara struktural terhadap mahasiswa Papua dan memfasilitasi terjadinya konflik sosial antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja berdasarkan diskriminasi yang dibangun secara struktural oleh polisi di DIY.


Pada prinsipnya sikap dan pendekatan polisi terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak konstitusinya dari awal 2016 hingga 14 Juli 2016 tadi semakin membuat situasi DIY tidak tenang dan tentunya semua sikap polisi terhadap mahasiswa Papua telah membuat warga DIY kuatir sebab mahasiswa Papua tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. 
Justru polisi yang melanggar HAM karena : 

1). telah melakukan teror melalui pengepungan tanpa sebab;
2). melakukan tindakan represif secara struktural dan membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum; serta
3). menyalah gunakan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2010 tentang tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penanggulanggan huru hara. Serta Protap Kapolri No 1/X/2010 tentang Penangganan Anarkis. Pada saat yang tidak terjadi huru hara dan anarkis.


Harapannya hal-hal yang tidak profesional yang dilakukan oleh anggota polisi itu wajib ditindak tegas oleh PROPAM sebab jika tidak ditindak maka akan semakin meresahkan kenyamanan warga Yogyakarta serta akan mengubah citra polisi dari pelindung, pengayom dan penegak hukum sebagai pengacau kenyamanan warga Yogyakarta, pemulus terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta dan pelanggar HAM secara sistematik di DIY.

Berdasarkan hal-hal diatas maka diharapkan bagi seluruh warga Yogyakarta untuk bersatu menyelamatkan perjuangan konstitusional dari aparat yang tidak profesional demi wujudkan ruang demokrasi yang nyaman tanpa diskriminasi di wilayah DIY. 
Selanjutnya diharapkan agar seluruh warga dengan tegas mempertanyakan "dana pengerahan pasukan" yang giat dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap mahasiswa Papua menggunakan implementasi Protap No 1/X/2010 tentang Penangganan Anarkis dan Perkap No 8/2010 tentang Tata cara Penanggulangan Huru hara, pada saat tidak anarkis dan tidak huru hara dalam perjuangan hak konstitusional yang dilakukan oleh mahasiswa Papua dan masyarakat sipil di Yogyakarta.

Untuk diketahui bahwa Diskriminasi Rasisme adalah Penyakit dalam kebinekaan. Jangan biarkan polisi yang tidak profesional gunakan alat negara dengan pendekatan yang ilegal untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta.

Satukan pandangan untuk selamatkan hak konstitusional dari ancaman Diskriminasi di Yogyakarta

Mohon Advokasi, Pemantauan, dan Peliputan

Emanuel Gobay - LBH Yogyakarta

Bahaya Tindakan Represif Berbasis Diskriminasi dan Rasis di Yogyakarta

15 July 2016
 
Indonesia adalah negara hukum. Pemerintah bertanggung jawab melindungi HAM sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28i ayat (4) yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Salah satu hak warga negara yang dijamin konstitusi adalah hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sedang mekanismenya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Untuk menjamin hak asasi itu, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum di dalam masyarakat. Namun, hingga hari ini hak menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan mahasiswa Papua di Yogyakarta didiskriminasi dengan berbagai bentuk. Bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) sehingga tidak dapat melaksanakan hak-hak konstitusinya.

Telah terjadi beberapa tindakan pelanggaran hak konstitusi warga negara oleh polisi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. Di antaranya, sebagai berikut:
  1. Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada bulan April 2016.
  2. Represivitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 dan 30 Mei 2016.
  3. Pengepungan asrama oleh polisi pada tanggal 14 Juni 2016 dan represivitas sebelum dan pada saat aksi 16 Juni 2016.
  4. Pengepungan asrama Papua oleh polisi pada tanggal 1 Juli 2016 dan 13 Juli 2016
  5. Pembungkaman ruang demokrasi pada tanggal 14 Juli 2016 oleh ratusan aparat Polri lengkap menggunakan senjata dan mobil water canon yang dihadapkan tepat di depan pagar asrama.
Pada hari ini Jumat, 15 Juli 2016 sejak jam 7 pagi, aparat kepolisian bersama dengan kelompok-kelompok reaksioner mengepung dan memblokade asrama mahasiswa Papua Kamasan I. Tidak seorang pun diizinkan keluar ataupun masuk.
Bahkan mahasiswa Papua yang keluar untuk membeli makanan ditangkap oleh aparat kepolisian. Saat ini ada sekitar 100 orang lebih mahasiswa Papua yang terjebak di dalam asrama yang membutuhkan solidaritas, khususnya bantuan logistik.

Sikap kepolisian itu sangat berlebihan dan jelas melanggar HAM. Selain itu, pengerahan pasukan untuk penggepungan serta tindakan represivitas polisi terhadap mahasiswa Papua sendiri perlu dipertanyakan.

Selain membungkam perjuangan konstitusional mahasiswa Papua, tindakan represif ini membangun stereotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa Papua baik atas dasar rasis, tindakan, pandangan, dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. Tindakan ini juga memicu terjadinya konflik sosial antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Jogja akibat diskriminasi yang dibangun secara struktural oleh aparat di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sikap dan pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak konstitusi sejak awal 2016 hingga hari ini semakin membuat situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak tenang. Semakin meresahkan warga Yogyakarta serta membuat citra polisi dari pelindung, pengayom, dan penegak hukum menjadi buruk karena membiarkan terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta

Diharapkan seluruh warga Yogyakarta bersatu menyelamatkan ruang demokrasi yang nyaman tanpa diskriminasi di wilayah Yogyakarta. Jangan biarkan aparat yang tidak profesional menggunakan alat negara untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta. Diskriminasi dan rasisme adalah penyakit dalam kebhinekaan.
 
http://membunuhindonesia.net/2016/07/bahaya-tindakan-represif-berbasis-diskriminasi-dan-rasis-di-yogyakarta/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

Sabtu, 09 Juli 2016

HB IX; Raja Yang Mencintai dan Dicintai RakyatNya

Hamengku Buwono - IX
 
Wanita itu pingsan bukan karena sakit, tapi karena ia sangat menyesal setelah bersikap kurang ajar. Ia baru saja -tanpa disadari- sudah memarah-marahi Rajanya; Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Cerita ini dikatakan oleh Dra. S.K Trimurti, dan Poro sedulur bisa membacanya di Buku Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Ceritanya begini. Saya kutip langsung dari bukunya.
Terjadi pada tahun 1946, namun S.K Trimurti lupa bulan dan tanggalnya. Wanita pedagang beras yang pingsan itu datang dari daerah Kaliurang, Sleman. Waktu ia menunggu kendaraan di tepi jalan, dari kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke selatan. Wanita ini memberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke pasar Kranggan. Ia memang biasa “nunut” kendaraan yang datang dari utara menuju selatan, dan pulangnya juga “nunut” kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui, berapa rupiah rata-rata untuk sekali menumpang. 

Jip itu berhenti di depan pedagang wanita tersebut. Seperti biasanya, dia menyuruh sopir kendaraan itu mengangkat bawaaanya, beras entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam jip. Sopir itu pun mengikuti perintahnya.
Setiba di depan pasar Kranggan sopir itu pun turun dan menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam jip. Setelah selesai, wanita pedagang itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagai imbalan kepada supir. Namun, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang itu dan mengembalikannya kepada pedagang wanita tersebut. 
Pedagang wanita itu marah-marah karena mengira bahwa ia menuntut upah yang lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya, ia mengatakan, “Mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang “sekian,” padahal biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan jipnya dan terus melaju ke arah selatan. 

Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang kebetulan berada di sana menghampiri pedagang wanita tersebut dan bertanya, 
“Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” 
Masih dalam nada marah, pedagang itu menjawab, “Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh.”

Polisi itu berkata lagi, “Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Yogyakarta ini.” 

Ini adalah kisah yang cukup terkenal. Saya tuliskan ulang sebagai bagian dari janji saya untuk melanjutkan kisah tentang HB IX yang beberapa waktu lalu pun saya sudah menuliskannya di halaman ini. Bisa dibaca di link berikut ini.
Kesaksian S.K Trimurti tak hanya cerita itu. Ada cerita lain yang membuat S.K Trimurti hingga menuliskan, “Disinilah saya merasakan bahwa rakyat Ngayogyakarta betul-betul cinta pada rajanya.” 

Cerita lain yang menegaskan kecintaan rakyat pada HB IX adalah pada saat tentara Belanda mau memasuki kraton untuk mencari para gerilyawan kemerdekaan. Saat tentara Belanda hendak masuk kraton, konon kabarnya Sultan menjawab dengan tegas, “Kamu boleh masuk ke istana kalau sudah dapat melampaui bangkai saya.” 
Dan tentu saja tentara Belanda takut akan ucapan Sultan dan langsung balik kanan. 

Poro sedulur..
Semoga cerita diatas bisa memberikan kita semua inspirasi. Tentang pemimpin yang mencintai rakyat dan juga dicintai oleh rakyatnya. Saat ini tentu kita semua merindukan pemimpin yang seperti itu.

Bagi poro sedulur yang ingin membaca kisah tentang HB IX lebih lanjut, buku yang bisa dibaca berjudul Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, terbitan Gramedia. Membaca biografi tokoh besar bisa memberikan kepada kita banyak pemahaman dan inspirasi baru.
Salam seyogyanya Jogja,
______

Nb. Semoga di lain kesempatan kita bisa sambung lagi dengan cerita lainnya. Matur nuwun.


https://www.facebook.com/MasTomiJogja/posts/1811562619064581:0