Jumat, 24 Juni 2016

Penertiban dan Penataan Tanah Sultan Ground: Mengapa Negara Mau dan Bisa Dikontrol Keraton?

 | 


Betapa pun mengerikan isi dan dampaknya bagi masyarakat, Perjanjian Kerjasama Penertiban dan Penataan Tanah (yang dikategorikan) Sultan Grond (SG) di seluruh Kabupaten Gunungkidul, yang juga  akan direproduksi di seluruh Kabupaten/Kota di DIY, sesungguhnya BUKAN peraturan perundang-undangan, hanya produk kepanikan penguasa dan fakta bahwa negara dikendalikan swasta. Apalagi yang diharapkan dari persekongkolan jahat ini selain keruntuhannya?

Selasa 21 Juni 2016 merupakan hari bersejarah bagi warga Kabupaten Gunungkidul pada khususnya. Pada hari itu, di lapangan Pemda Kabupaten Gunungkidul, diselenggarakan apel dan penandatangan kerjasama penertiban dan penataan tanah SG antara Keraton dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Pihak Keraton diwakili oleh Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Wahonosartokriyo/Panitikismo, KGPH Hadiwinoto (Ibnu Prastawa). Sedangkan Pihak Pemerintah Kabupaten Gunungkidul diwakili oleh Bupati, yaitu Hj. Badingah, S.Sos—setiap bupati dan walikota di Yogyakarta ialah abdi dalem Keraton. Upacara tersebut dipimpin oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X (Herjuno Darpito, SH.) sebagai Pembina Apel. Di barisan utama berjajar GKR Mangkubumi (Nurmalita Sari), GKR Condrokirono (Nurmagupita), dan penasihat hukum Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dr. Achiel Suyanto, SH, MH, MBA alias Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Nitinegoro. Di barisan peserta upacara, tertib berjajar Kodim, Polres, Satpol PP, Dinas Perhubungan, Lurah dan Perangkat Desa, Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), Hisbul Wathon Muhammadiyah, SAR, dan Paksi Katon (Paguyuban Seksi Keamanan Keraton), masing-masing tak kurang 50 personil.

Menjelang pukul 09.00, apel dimulai dengan dua acara inti, yaitu Pembacaan dan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama serta Pembacaan Amanat Gubernur DIY. Secara prinsip, Perjanjian Kerjasama itu didudukkan sebagai pedoman penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan SG, dan mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten (negara) adalah pihak yang diberi hak dan kewajiban oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (swasta) untuk melakukan penertiban yang bersifat administratif, berupa; 
1) Mendata Tanah Kasultanan; 
2) Memverifikasi kekancingan;  
3) Memroses dan mengajukan usulan rekomendasi permohonan kekancingan; dan 
4) Mengusulkan pembatalan dan/atau mengusulkan tidak memperpanjang surat kekancingan. Juga melakukan penertiban fisik berupa:
  1. Memberikan penjelasan/sosialisasi/musyawarah/pemberitahuan secara tertulis.
  2. Melakukan penghentian pembangunan tanpa ijin yang dilakukan di atas Tanah Kasultanan.
  3. Melakukan pembongkaran bangunan secara paksa yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Gunungkidul dibantu oleh pihak Polri dan TNI.
  4. Melaporkan atau mengadukan kepada penegak hukum atas perbuatan menguasai Tanah Kasultanan, membangun tanpa hak /tanpa ijin.
Adapun Kasultanan berhak untuk; 
1) Menerima dokumen penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang dibuat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul; 
2) Menyetujui atau menolak pemohonan kekancingan yang direkomendasikan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul; 
3) Menerima laporan secara tertulis dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tentang kegiatan penertiban dan penataan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul secara berkala; dan 
4) Memberikan tanggapan tertulis atas pemohonan kekancingan Tanah Kasultanan di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang direkomendasikan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.

Perjanjian Kerjasama ini juga menyebutkan bahwa pendanaan penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan tanah SG dibebankan pada Dana Keistimewaan (APBN) dan APBD Pemerintah Provinsi DIY serta APBD Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Jelas di sini, bahwa uang negara nyata-nyata digunakan oleh pemerintah untuk memperkaya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan landasan Perjanjian Kerjasama yang kedudukannya bukan produk perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kegiatan penertiban dan penataan tanah yang dikategorikan SG tersebut dilakukan oleh Tim, di mana sebagai pelindung yaitu Raja, Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai Penasehat yaitu KGPH Hadiwinoto, Bupati, GKR Mangkubumi (calon penerus HB X), GKR Condrokirono (penghageng yang mengepalai urusan abdi dalem), Dr. Achiel Suyanto, dan Ketua Pelaksana ialah Asisten Sekretaris I Daerah Kabupaten Gunungkidul (Asek I) yaitu H. Tommy Harahap, SH.


Kekancingan

Konsekuensi dari Penandatanganan Perjanjian Kerjasama itu ialah siapapun yang menempati tanah yang dikategorikan SG di seluruh Kabupaten Gunungkidul wajib mengurus surat kekancingan sebagai dasar penerbitan ijin pendirian bangunan dan ijin menempati. Dengan pertimbangan tertentu oleh Keraton, permohonan kekancingan tersebut bisa saja tidak dikabulkan.

Di lapangan, pengurusan kekancingan menyuburkan praktik makelar tanah, baik yang berhubungan dengan Panitikismo maupun pihak keturunan Hamengku Buwono VII sebagai pihak penerbit kekancingan (versi ini tidak diakui Keraton). Pengurusan kekancingan bisa kolektif maupun individu, sebagaimana terjadi di Samas (kolektif) dan Watukodok (individu). 
Di Watukodok, pengurusan kekancingan dikoordinasi oleh ketua POKDARWIS setempat (WH Suwarno) yang mempunyai koneksi dengan kerabat keraton baik yang dianggap resmi oleh Kasultanan maupun tidak,  dengan biaya Rp. 3,2 juta. Adapun di Samas, setidaknya 6 pemegang HGB dari 142 KK atas bidang tanah sedang dalam proses pengurusan kekancingan oleh abdi dalem (Siskardi dan Bambang Suryanto) dengan biaya Rp. 500 ribu per bidang. 
Bidang tanah HGB yang sudah didaftar kini sudah dipatok. Ketidaktahuan warga atas makna kekancingan dan risikonya melengkapi tekanan psikologis yang dilancarkan oleh Kasultanan dan Pemerintah, bahwa tanpa kekancingan mereka rawan tergusur, membuat pengurusan kekancingan lancar.

Kekancingan adalah surat ijin pinjam pakai yang diterbitkan oleh Panitikismo atas tanah-tanah yang dikategorikan sebagai SG, yaitu tanah yang tidak dibebani hak apapun (tanah negara) dan tanah-tanah dengan hak yang asal-usulnya bukan Eigendom (Hak Milik menurut Agrarische Wet 1870). Artinya, jika seseorang tidak dapat menunjukkan sertifikat Eigendom maka status tanahnya akan dikembalikan menjadi SG sehingga wajib mengurus kekancingan. Termasuk non-Eigendom ialah HGB (asalnya Recht Van Opstal/RVO), Hak Pakai (Anganggo/anggaduh), HGU (asalnya Erfpacht), dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit dari tanah negara dengan dasar UUPA. Wajar, apabila pada 2008, sebanyak 100 SHM warga Pundungsari, Semin, Gunungkidul dibatalkan sepihak oleh BPN menjadi Hak Pakai di atas tanah SG atas perintah Panitikismo melalui surat No. 138/W&K/2000.
Pasal 11 Kekancingan (versi manapun) berbunyi, “setelah perjanjian ini habis masa berlakunya, PIHAK KEDUA (masyarakat) sanggup mengembalikan tanah tersebut kepada PIHAK PERTAMA (Keraton) dalam keadaan utuh dan baik, serta tidak akan minta ganti rugi atas bangunan/gedung dan tanaman yang berada di atas tanah tersebut.”

Belajar dari kasus yang menimpa Pedagang Kaki Lima Gondomanan (berakhir 2015) dan warga miskin Suryowijayan (berakhir 2012), yaitu konflik pertanahan berupa sengketa kekancingan dengan pihak pemodal, yang mana Kasultanan sebagai penyebabnya, kekancingan ditolak di beberapa tempat, misalnya Parangkusumo, Blunyahgede, Watukodok, dan pesisir Kulonprogo dengan alasan bahwa SG dan PAG sudah dihapus oleh UUPA Diktum IV, PP No. 224 Tahun 1961, Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 1984, dan Perda DIY No. 3 Tahun 1984.


Penataan Ruang Pesisir

Seusai turut menandatangani Perjanjian Kerjasama sebagai saksi, Gubernur DIY selaku Pembina apel menyampaikan amanat, yang isi pokoknya:
1) Perjanjian Kerjasama itu akan dibuat dan diterapkan di seluruh kabupaten dan kota di DIY, 
2) Menegaskan bahwa sempadan pantai, yang diukur dari titik pasang tertinggi sejauh 100 m ke darat, adalah zona terbuka yang tidak boleh didirikan bangunan apapun, karenanya zona terbuka disebut kepentingan umum, 
3) Dikarenakan keterbatasan lahan dan klaim penguasaan lahan yang tidak sah oleh warga dan pemerintah (tanpa ijin dari Keraton), warga yang menempati harus mau “berbagi ruang” dengan kepentingan para pihak, berlapang dada jika “digeser” ke lain tempat, dan “membuang egoisme diri” demi kepentingan umum, 
4) Pemerintah sebagai regulator sekaligus pelaku bisnis harus berkompeten dan tidak berbuat curang, 
5) Penertiban dan penataan tanah SG cukup diatur dengan Perda atau SK Bupati, 
6) Bahwa Pemerintah Provinsi DIY sudah membentuk dinas khusus yang menangani tanah-tanah yang dikategorikan SG dan PAG, yaitu Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (di luar BPN). 
Apabila ada persoalan di pesisir, Gubernur menghimbau supaya mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Menurut pemahaman Keraton dan Pemerintah Provinsi DIY, sempadan pantai termasuk wedhi kengser atau tanah tanpa beban hak, karenanya berstatus SG atau PAG. Padahal, sempadan pantai adalah tanah negara di mana berlaku hak mengusai negara, bukan hak milik swasta. Buktinya, di wilayah sempadan pantai hanya dapat diterbitkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) bukan Hak Milik, sekalipun itu berstatus Tanah SG maupun PAG.

Gumuk Pasir Parangkusumo merupakan salah satu contoh pengklaiman tanah negara menjadi hak milik oleh Kasultanan dengan alasan zonasi kawasan konservasi. Pematokan tanah SG di kawasan Gumuk Pasir Parangkusumo telah menjadi perhatian KOMNAS HAM melalui Focused Group Discussion (FGD) Sengketa Pertanahan DIY dan Solusinya pada 2-3 Juni 2016 lalu. Dalam agenda tersebut, tim mediasi KOMNAS HAM (Ketua Nur Cholis, SH) menekankan penyelesaian Win-Win Solution bagi sengketa pertanahan di DIY terkait SG dan PAG, termasuk pematokan tanah SG yang ditentang oleh Aliansi Keutuhan Republik Indonesia (beranggotakan ARMP Parangkusumo, PWKTAU Sleman, PKPM Watukodok, GRANAD Yogyakarta, FORPETA NKRI, dan PAKUBANGSA Yogyakarta). Win-Win Solution yang ditawarkan KOMNAS HAM ditolak oleh AKRI karena bertentangan secara prinsip dengan UUPA, UU HAM, dan UUD 1945, bahwa menghidupkan SG—yang berdasar Rijksblad (aturan hukum Kolonial)—sama saja meniadakan UUPA dan UUD 1945. Pada kesempatan itu, ARMP mengingatkan agar KOMNAS HAM tidak melanggar HAM dengan turut mendukung SG dan PAG.

Rupanya, FGD tersebut tidak menghentikan aksi sepihak Keraton dan Pemerintah Provinsi DIY di lapangan. Pada 20 Juni 2016 lalu, atas perintah Pemerintah Provinsi DIY (Surat No.180/3557, 12 April 2016 dan Disposisi Pemkab. Bantul 31 Mei 2016), Satpol PP Bantul dengan dikawal Polri dan TNI melakukan pendataan terhadap rumah dan bangunan yang akan direlokasi pascalebaran tahun 2016. Sejumlah 57 dari 100-an bangunan sudah terdaftar ketika ARMP menghadang pendataan.

Perjanjian Kerjasama di Gunungkidul turut diresahkan warga Grogol, Parangtritis. Sebanyak 256 orang pewaris tanah hak milik yang dirampas penjajah Jepang menuntut pengembalian status tanah (1.066.530 m2) yang kini mereka garap, dari SG menjadi Hak Milik. Tanah itu dikenal sebagai Tanah Tutupan, karena pemerintah Jepang pada waktu itu menutup akses warga ke lahan mereka. Sebagian besar tanah itu kini terlintasi Proyek Jalan Lintas Selatan Jawa, parahnya, dalam buku catatan tanah desa, nama pemegang hak atas tanah tutupan telah dicoret dan diganti: DIY. Kasultanan sebagai “pemilik” Tanah Tutupan yang baru sudah dipastikan akan menerima ganti kerugian (sewa) dari negara atas pemanfaatan tanah SG, tanpa pelepasan hak sebelumnya. Hal inilah yang juga dinikmati oleh Kadipaten Pakualaman atas tanah Paku Alamanaat Grond (PAG) di lokasi New Yogyakarta International Airport (NYIA), baik dari ganti kerugian langsung tanah PAG maupun dari pelepasan Hak Milik penduduk Pro Bersyarat yang kini berstatus PAG.

“Tidak ada tanah negara di DIY!”, tegas Gubernur DIY pada 15 September 2015 lalu, memperjelas rute kebijakan agraria DIY ke depan, yang ditegaskan lagi oleh KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016), “bahwa ke depan dimungkinkan di DIY hanya ada HGB bagi masyarakat!”

“Apa saya tidak boleh punya tanah pribadi?” jawab Sultan Hamengku Buwono X ketika ditanya mengenai kedudukan Sultan Grond yang menjadi obyek Perjanjian Kerjasama itu. UU Keistimewaan DIY memang mengatur Tanah Kasultanan, disebut Sultanaat Grond yang maknanya tanah institusi, bukan Sultan Grond yang maknanya tanah pribadi. Di DIY kedua istilah itu rancu dan sering tertukar, meskipun bagi masyarakat dampaknya sama: hapusnya hak-hak atas tanah yang dijamin UUPA, termasuk pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah melebihi batas maksimum (7 ha).


Sertifikasi Tanah SG an PAG

Pada 16 Juni 2016 lalu, BPN Kanwil DIY telah menyerahkan sertifikat tanah SG kepada Kasultanan (500 bidang tanah) dan sertifikat PAG kepada Kadipaten (150 bidang tanah), meskipun tanpa dasar hukum apapun. Baik KRT. Nitinegoro maupun  Tommy Harahap, SH (21 Juni 2016) mengaku tidak mengetahui luas dan lokasi 500 bidang tanah SG tersebut, meskipun untuk wilayah Gunungkidul. Adapun tanah yang dikategorikan PAG paling luas berada di pesisir Kabupaten Kulon Progo, yang dijadikan lokasi proyek NYIA dan Pertambangan Pasir Besi PT. Jogja Magasa Iron (milik keluarga Kadipaten dan Kasultanan). Jika pada waktu lalu penerbitan kekancingan belum memiliki dasar, maka sertifikat SG dan PAG tersebut saat ini dijadikan dasar “resmi” bagi penerbitan kekancingan.

Namun, “keresmian” sertifikat SG dan PAG dipertanyakan oleh beberapa ahli, mengingat UUPA berlaku sepenuhnya di DIY dan aturan pelaksanaan UU Keistimewaan DIY belum ada.

Terkait dasar hukum penerbitan sertifikat tanah SG tersebut, KRT. Nitinegoro (21 Juni 2016) menyatakan tidak masalah karena merupakan amanat langsung dari UUPA, yaitu tanah hak milik harus disertifikatkan. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Dianto Bachriadi, Komisioner KOMNAS HAM, dalam kesempatan Diskusi Publik Pertanahan yang diselenggarakan oleh DPW PAN DIY 9 Juni 2016 lalu, bahwa Perdais Pertanahan merupakan dasar hukum pelaksanaan inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi tanah-tanah yang masuk kategori sebagai SG, yang terbatas pada fungsi kebudayaan atau tanah keprabon. Masalahnya, Perdais Pertanahan hingga saat ini belum dibahas oleh DPRD DIY. Dr. Ni’matul Huda, seorang pakar Tata Negara Universitas Islam Indonesia, juga berpendapat bahwa Kasultanan dan Kadipaten bukanlah badan hukum yang dapat memiliki hak milik tanah sebagaimana ditunjuk oleh PP No. 38 Tahun 1963. Ketentuan UU Keistimewaan DIY yang menempatkan Kasultanan dan Kadipaten sebagai “badan hukum khusus” masih menjadi perdebatan, apakah termasuk badan hukum publik (tidak dapat dilekati hak milik, kecuali bank pemerintah) atau swasta (dapat dilekati hak milik). Pendapat itu dikuatkan Kus Antoro, peneliti agraria FKMA, bahwa sertifikat tanah SG dan PAG itu justru menjadi bukti otentik pelanggaran hukum oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitannya.

“DIY adalah teladan sukses praktik negara di dalam negara yang direstui pemerintah Indonesia,” ujar Ibu Kawit pedagang soto kecil-kecilan sekaligus koordinator AKRI seusai mendiskusikan Perjanjian Kerjasama bersama warga, “kami tak sudi tunduk pada persekongkolan Keraton dan Pemerintah, kami akan lawan!”

Kontributor data dan Reporter: Sri, Edwin, dan Wahyu

0 komentar:

Posting Komentar