This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 26 April 2016

[press-release] Mengecam PTUN Yogyakarta


Kecaman Keras Terhadap Peraturan MA Yang Menutup Akses Jalan Pencari Keadilan Dan Menyayangkan Sikap PTUN Yogyakarta Yang Tidak Menindaklanjuti Permohonan PK Para Petani Temon, Kulonprogo

Usaha para petani Kecamatan Temon, Kulonprogo untuk memperoleh keadilan harus terhenti. Gara-garanya apalagi kalau bukan norma hukum berwujud Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang mana pasal 19-nya tidak mengakomodasi upaya hukum luar biasa peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap. Melalui norma hukum tersebut, hak asasi manusia, hak atas keadilan dilanggar oleh negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta sebagai peradilan administrasi yang dibentuk dengan cita-cita negara hukum yaitu melindungi hak asasi serta mampu melaksanakan keadilan ––yang berarti bahwa peradilan ini dapat menampung dan menyelesaikan setiap tuntutan warga masyarakat secara tuntas dan adil–– juga justru lebih memedomani peraturan Mahkamah Agung dengan tidak menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali yang diajukan para petani Temon, Kulonprogo (Wahana Tri Tunggal). Sikap PTUN Yogyakarta tersebut dituangkan dalam surat nomor W3.TUN 5/53/HK.06/IV/2016 perihal tanggapan atas permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Kasasi Perkara Nomor: 07/G/2015/PTUN.YK Jo. Putusan PTUN Nomor: 456K/TUN/2015. Diserahkan hari ini, Jumat, 22 April 2016.

Kami sangat menyayangkan sikap PTUN Yogyakarta. Padahal tempo hari pengadilan administrasi ini banyak mendapat apresiasi karena putusan progresifnya membatalkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY dengan pertimbangan hukum sangat baik dan fundamental. Sikap PTUN Yogyakarta yang tidak menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali warga adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang secara umum sudah berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Aturan undang-undang itu jelas memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada peraturan Mahkamah Agung serta tegas mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali berikut mekanisme-mekanisme yang harus dilalui.

Begitu terang benderang disebutkan dalam pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 bahwa permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negeri (TUN) yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Sementara pada Pasal 72 disebutkan: permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari. Berangkat dari bunyi pasal ini, sesuai tugas pokok dan fungsinya, PTUN hanya menerima permohonan peninjauan kembali dan meneruskannya ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung yang akan menilai apakah peninjauan kembali tersebut sudah benar secara hukum dan layak diajukan. Sebab sesuai asasnya, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap atau hukumnya samar-samar. Mau tidak mau, perkara yang diajukan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ini pun juga harus diterima dan ditindaklanjuti.

Secara normatif dan teoritik pun di dalam Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tertanam kekeliruan mendasar dan itu fatal. Atas nama keadilan, kami sebenarnya menaruh asa tinggi, PTUN Yogyakarta akan berani keluar dari aturan normatif perma tersebut. Kami betul-betul meletakkan harapan, keputusan maju-radikal akan diambil oleh PTUN Yogyakarta, dengan tetap menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali dari para petani. Bukankah keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas? Andaikata PTUN Yogyakarta berkenan menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali tersebut maka hal ini akan jadi teladan sangat baik bagi penegakan hak asasi manusia yang berkeadilan di Indonesia.

Oleh karena itu, sekali lagi kami dan barangkali seluruh warga masyarakat yang masih percaya dengan lembaga peradilan sebagai tempat mencari keadilan, sangat mengecam terbitnya pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang semakin mengukuhkan maksud dari pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum tidak lain adalah perampasan tanah. Di sisi lain kami juga sangat kecewa dengan keputusan PTUN Yogyakarta yang tidak bersedia menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali petani Temon, Kulonprogo. Seluruhnya kami memandang, hak asasi manusia berupa hak atas keadilan telah tercederai.

Yogyakarta, 22 April 2016
Kuasa Hukum Para Pemohon PK
LBH Yogyakarta

Narahubung:
Yogi Zul Fadhli (08995151006)
Nur Wahid Satrio (081915327227)

Rabu, 13 April 2016

Ini Poin Penting dalam Peraturan Penyelesaian Kasus Pertanahan

Rabu, 13 April 2016

Diharapkan kasus pertanahan bisa diselesaikan lebih efektif melalui mekanisme yang ada di aturan ini.


Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan telah meneken aturan terbaru di bidang pertanahan terkait dengan penyelesaian sengketa, konflik, dan perkara pertanahan pada 21 Maret 2016 yang lalu. Aturan itu diterbitkan lantaran aturan sebelumnya, yakni Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dinilai tidak berjalan efektif.

Lewat aturan yang terbaru ini, yakni Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, diharapkan penyelesaian kasus pertanahan dapat dijalankan secara lebih efektif. Dari catatan hukumonline, terdapat sejumlah hal penting dalam aturan ini yang mesti diperhatikan ketika seseorang  mendapati kasus pertanahan di kemudian hari.

Pertama, kasus pertanahan sendiri membedakan yang namanya sengketa, konflik, dan perkara pertanahan. Sengketa tanah sendiri merupakan perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sementara konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang, kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Sedangkan, perkara tanah sendiri adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.

Kedua, dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan. Pasal 4 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 membedakan jenis laporan berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari kementerian dan pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap dua mekanisme laporan itu dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan di-register.

Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan mengetahui apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Sengketa atau konflik itu antara lain, kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan.

Selanjutnya, kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah, kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti, kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin,
Penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi. Jalur mediasi dalam aturan ini ditempuh juga untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau yang bukan menjadi kewenangan kementerian.

Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak. Jika salah satu pihak saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 hari dimana untuk mediatornya berasal dari kementerian, Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan.

Dalam hal mediasi ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu, perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat. Yang perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali secara patut, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga, terkait dengan eksekusi. Keputusan penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Terhadap keputusan itu wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya. Pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan ada tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan. Ketiganya, yakni sertifikat yang akan disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, tanah yang menjadi objek pembatalan menjadi objek hak tanggungan, serta tanah telah dialihkan kepada pihak lain.

Keempat, terkait dengan penanganan perkara. Dalam konteks ini, penanganan perkara yang dilaksanakan dalam perkara di peradilan perdata atau tata usaha negara (TUN) dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi pihak. Kalau kementerian kalah dalam perkara, Kementerian dapat melakukan upaya hukum meliputi perlawanan (verzet), banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Selain itu, pihak yang berperkara dapat meminta keterangan ahli atau saksi ahli dari Kementerian melalui Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, atau Menteri. Sementara, dalam hal perkara di pengadilan tidak melibatkan Kementerian sebagai pihak namun perkaranya menyangkut kepentingan Kementerian, maka Kementerian dapat melakukan intervensi.

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda, diantaranya objek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, terhadap objek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, serta alasan-alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan permohonan pelaksanaan melalui Kantor Pertanahan setempat atau langsung diajukan ke Kementerian, khusus dalam hal permohonan pembatalan penetapan tanah terlantar.

Untuk diketahui, selain mencabut Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011, aturan terbaru ini juga mencabut dan membuat tidak berlaku Peraturan Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2013 tentang Eksaminasi Pertanahan dan ketentuan lain yang bertentangan dengan aturan ini.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt570e587650717/ini-poin-penting-dalam-peraturan-penyelesaian-kasus-pertanahan

Jumat, 08 April 2016

“Soal Tanah adalah Soal Hidupnya Petani”

8 April 2016 | 1:05


Tanah adalah faktor produksi terpenting bagi petani. Tanpa akses terhadap tanah, petani tidak punya basis produksi untuk berkembang dan sejahtera.

Demikian disampaikan Koordinator Aliansi Kedaulatan Rakyat atas Tanah, Antonius Afeanpah, saat menggelar aksi massa di depan kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), di kota Kupang, Kamis (7/4/2016).

“Karena itu, kami mendesak Guburnur NTT untuk segera mengembalikan tanah ulayat suku Manbait yang diklaim dan dikuasai oleh PT Sasando,” kata Antonius.

Antonius menegaskan, Suku Manbait tidak pernah menyerahkan tanah ulayatnya kepada pemerintah provinsi NTT untuk maksud dan tujuan apapun.
Memang, kata Antonius, pada tahun 1967, Suku Manbait melalui Tertius Bait (alm) memberikan tanah ulayat kepada Perusahaan Negara Mekatani 07 seluas 1000 Ha untuk digunakan sebagai kebun percontohan tanaman kapas, padi, jagung, dan palawija, dengan status pinjam pakai selama lima tahun.

“Pengalihan penguasaan lahan dari PN Mekatani ke PT Sasando dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan suku manbait sebagai pemegang hak ulayat,” ungkapnya.

Dan tanpa sepengetahuan Suku Manbait juga, lanjut Antonius, pada tahun 1983 pemerintah provinsi NTT secara diam-diam menyerahkan tanah ulayat tersebut kepada PT Sasando.

“Karena itu, kami juga menuntut Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk segera mencabut HGU PT Sasando,” tuntutnya.

Antonius mengungkapkan, jika tanah ulayat suku Manbait itu nantinya sudah dikembalikan, maka rencananya akan didistribusikan kepada ribuan petani tak bertanah untuk dipakai sebagai pemukiman dan lahan pertanian.
“Ribuan petani ini adalah bekas pengungsi Timor-Timur yang sejak tahun 1998 ditelantarkan oleh negara,” jelasnya.

Aliansi Kedaulatan Rakyat atas Tanah adalah gabungan dari Suku Manbait Oetpah, Partai Rakyat Demokratik (PRD), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini, Front Mahasiswa Nasional (FMN), LK FKIP UKAW, UNTAS, WALHI, dan BARA JP.
Willy Soeharli

http://www.berdikarionline.com/soal-tanah-adalah-soal-hidupnya-petani/