This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Mei 2015

Istana Bahas Reforma dan Konflik Agraria Dengan Petani

, CNN Indonesia

Selasa, 19 Mei 2015

Nasib Nelayan dan Petani Batang di Mega Proyek Energi Kotor

Rabu, 13 Mei 2015

Pembangunan PLTU Batang, Mulai Intimidasi Hingga Saling Benci [2]

Ranny Virginia Utami, CNN Indonesia | Rabu, 13/05/2015 10:28 WIB

Juru kampanye Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto menilai pemerintah Indonesia perlu memikirkan kembali kelanjutan proyek pembangunan PLTU Batang yang dianggap merusak lingkungan dan menyengsarakan warga.(CNNIndonesia/Ranny Virginia Utami)  

Antarwarga Saling Benci
Nenek, perempuan separuh baya yang juga tinggal di Desa Ponowareng, mengatakan banyak perubahan terjadi semenjak beberapa warga mulai menjual ladang sawah mereka untuk lahan pembangunan PLTU.

Perubahan ini terlihat bagus dari luar. Di Desa Ponowareng, kata Nenek, mulai bermunculan rumah-rumah bagus nan megah. "Warga mayoritas menghabiskan uang mereka dengan memperbagus dan memperbesar rumahnya. Tetapi kemudian uang tersebut lama-lama habis dan mereka menjadi sulit makan," ujar Nenek menyayangkan.

Nenek mengatakan mereka yang menjual lahan kini tak lagi punya pekerjaan. Berbekal tamatan sekolah dasar, mereka ada yang bertani di ladang orang atau beralih menjadi pemotong ikan di tempat pelelangan ikan di Batang, tetapi tak banyak.

"Kebanyakan mereka mengalami stres lantaran menganggur tetapi tidak tahu harus apa dan tidak bisa apa-apa," ujar Nenek.

Kerukunan warga di desa pun ikut terpengaruh. Perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra mengenai peralihan lahan sawah menjadi PLTU menjadi satu faktor utamanya.

Menurut Untung, warga yang pro dengan pembangunan PLTU dan telah menjual lahan sawahnya berubah menjadi tidak simpatik kepada warga yang kontra dan belum menjual lahan sawah. "Mereka tidak mau bersosialisasi dengan kami (yang belum menjual lahan sawah). Mereka tidak mau mengobrol dan bahkan saling membenci dengan tetangga," ujar Untung.

Meski sedikit tertekan dengan kondisi ini, Untung tetap berkeras tidak akan menjual ladang sawah miliknya sampai kapanpun. Ia tidak sendiri. Bersama dengan 74 pemilik lahan lain, warga yang kontra dengan pembangunan PLTU akhirnya berhasil mempertahankan lahan seluas 25 hektare sehingga proyek PLTU belum bisa direalisasikan sampai sekarang.

"Kami mempertahankan ini karena ingin menjaga budaya kami. Kami warga kampung yang rata-rata bertani, kami akan terus melestarikan budaya kami hingga anak cucu kami," ujar Untung.

Masih jelas dalam ingatan Untung ketika Presiden Joko Widodo semasa kampanye dulu seringkali meneriakkan, 'Indonesia harus swasembada pangan'. Warga pun merasa yakin bahwa Jokowi dapat mempertahankan lahan mereka yang menjadi target program 7.000 Mega Watt untuk Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Makanya pada pemilihan (presiden 2014 lalu), di sini (Desa Ponowareng) mutlak memilih Jokowi semua," ujar Untung.

Janji dulu tinggal janji. Untung bersama lima warga desa yang terdiri dari empat desa tani, yaitu Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan satu desa nelayan, yaitu Roban, menolak pembangunan PLTU Batang. Mereka telah beberapa kali menyuarakan aspirasi mereka dan berusaha menagih janji kepada pemerintah yang katanya pro rakyat kecil. Tidak hanya ke tingkat daerah, pusat ibu kota juga telah mereka datangi meski tanpa hasil.

Mega proyek PLTU Batang memang telah dicanangkan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena termasuk ke dalam program MP3EI. Proyek senilai Rp 50 triliun ini memakan lahan seluas 226 hektare sehingga kerap digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara karena mampu menghasilkan energi listrik sebesar 2.000 Mega Watt.

Setidaknya empat tahun telah berjalan, namun proyek PLTU Batang yang digarap oleh PT Bhimasena Power Indonesia (konsorsium dari PT Adaro Power dan dua perusahaan Jepang, J-Power dan Itachu) masih belum juga dimulai karena terkendala pembebasan lahan.

Presiden Joko Widodo pun kemudian menitahkan PT PLN, Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk dapat menyelesaikan pembebasan lahan hingga akhir Mei ini. (hel)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513102134-20-52992/pembangunan-pltu-batang-mulai-intimidasi-hingga-saling-benci/2

Pembangunan PLTU Batang, Mulai Intimidasi Hingga Saling Benci [1]

Ranny Virginia Utami, CNN Indonesia | Rabu, 13/05/2015 10:28 WIB
Greenpeace, organisasi non pemerintah pemerhati lingkungan, melakukan audiensi dengan warga Desa Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (12/5).(CNNIndonesia/Ranny Virginia Utami)  

Penuh Intimidasi 

Ke mana lagi mengadu? Ketika pejabat desa tak lagi mendengar. Ketika aparat penegak hukum tak lagi melihat.

Untung Purwanto. Seorang warga Desa Ponowareng, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mengaku kerap menerima intimidasi dari sejumlah pihak. Mulai dari yang berpakaian preman hingga seragam loreng-loreng laiknya TNI. Untung diancam untuk menjual lahan sawah miliknya demi melancarkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara di Batang.

"Mereka seperti makelar tanah. Mereka mendatangi rumah-rumah warga. Waktu itu berenam. Mereka menakut-nakuti warga (yang tidak mau menjual tanah)," ujar pria usia 27 tahun ini saat ditemui di Desa Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (12/5).

Tak hanya itu, Untung juga pernah diintimidasi secara fisik. Ketika sedang berkendara motor di jalan menuju rumah, Untung dicegat sekelompok preman. "Saya ditarik, mau dipukul pakai batu. Sepeda motor saya ditendang dan saya diancam mau dibunuh," ujar Untung yang hingga kini mengaku masih sering mendapat ancaman serupa.

Untung tak bisa berbuat banyak. Hendak melapor ke perangkat desa, tak ada dukungan. Lapor ke aparat penegak hukum, Untung paham betul akibatnya. "Ada kriminalisasi-kriminalisasi yang terjadi di lapangan," ujar Untung.

Untung memiliki lahan sawah seluas 2.259 meter persegi di Desa Ponowareng. Lahan ini terbilang masih sangat produktif karena mampu memanen padi hingga 3-4 kali dalam setahun. Pendapatan per tiga bulan pun, Untung katakan, bisa meraup setidaknya Rp 8 juta.

"Desa kami itu desa swasembada. Dari zaman Soeharto hingga sekarang masih swasembada pangan. Apapun tanaman bisa tumbuh di desa kami. Irigasi di sini juga didukung oleh irigasi teknis," ujar Untung.

Sejak 2011 lalu, banyak warga rela melepas ladang sawah miliknya seharga Rp 30 ribu per meter persegi. Seiring berjalannya waktu, harga jual semakin meningkat dan sekarang menjadi Rp 400 ribu per meter persegi. (hel)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513102134-20-52992/pembangunan-pltu-batang-mulai-intimidasi-hingga-saling-benci/

Selasa, 12 Mei 2015

Lahan Garapan TNI Naik, 1.000 Warga Geruduk Balaidesa





ADIPALA-Lebih dari seribu warga Desa Glempang Pasir, Kecamatan Adipala menggeruduk balai desa setempat, Senin (11/5). Seribuan warga yang merupakan petani penggarap ingin mendengar sendiri kesepakatan musyawarah terkait tanah garapan di lahan milik TNI, Senin (11/5). Sebelumnya, memamg pernah digelar musyawarah. Namun, belum mencapai hasil terkait dengan harga partisipasi lahan TNI yang digarap warga. Karena itu, warga pun menggeruduk balai desa.
 

Pantauan Radar Banyumas, warga sudah datang ke balai desa sejak pagi. Warga keberatan dengan adanya kenaikkan harga partisipasi pengarapan terhadap lahan garapannya. Perwakilan warga, yakni Marjo dan Yatmin ingin membuat adabta penawaran kesepakatan baru atas dinaikkannya harga lahan garapan tersebut.
 

Bahkan, berdasarkan informasi yang dikumpulkan Radar Banyumas, banyak lahan garapan petani yang “lohjinawi” alias subur selama ini partisipasinya hanya Rp 25.000 per tahun. Namun, banyak yang menjual garapannya hingga mencapai Rp 1.250.000. Hal itu memicu kecemburuan.
 

Saat seribuan warga itu berkumpul di balai desa, tak lama kemudian datang utusan dari Zibang Komando Distrik Militer (Kodim) 0703 Cilacap yang dipimpin oleh Komandan Sub Zibang Cilacap, Lettu Mardani bersama Serka Suprianto. Kedatangan keduanya pun memang sudah ditunggu warga. Begitu acara dialog dibuka, ditengah penjelasan dari Zibang wargapun mulai melakukan interupsi.
 

Hal itu sempat membuat susana sedikit tegang. Warga keberatan dengan dinaikkannya harga partisipasi penggarap terhadap lahan garapannya. 
Sementara Zibang menilai, dengan adanya aturan bahwa kalau sewa, maka harus sesuai dengan aturan.
 

“Kalau sewa aturannya 3,3 persen kali NJOP dikalikan luas. Artinya tiap hektar lahan sewanya mencapai Rp 330.000 per tahun itu yang masuk negara,” kata Lettu Mardani.
 

Begitu penjelasan itu dimunculkan, warga penggarap langsung keberatan. Mardani pun menjelaskan jika harga itu harga sewa. Sedangkan yang dikehendaki warga adalah partisipasi. Akhirnya, perwakilan warga Marjo dan Yatmin membuat penawaran kesepakatan.
 

“Karena warga tetap menginginkan hanya partisipasi, bukan sewa sehingga dibuatlah tiga opsi. Opsi pertama harga per hektar Rp 250.000, opsi kedua Rp 200.000 per hektar dan opsi ketiga Rp 150.000 per hektar,” urai Yatmin.
 

Setelah dibacakan tiga opsi itu,  warga petani penggarap langsung menunjuk opsi ketiga yakni Rp 150.000 per hektar secara serempak. Zibang pun tidak dapat berbuat apa-apa terkait penawaran opsi tersebut yang langsung disepakati.
 

“Karena keinginan warga seperti itu, kami pun akan melaporkan hal itu kepada pimpinan. Yang terpenting nanti akan dilakukan penertiban administrasi,” katanya.
 

Disepaktinya opsi tersebut membuat musyawarah yang tadinya tegang menjadi cair. Bahkan, sejumlah petani langsung merangsek ke depan dan menggendong Danzibang sebagai tanda gembira karena TNI tidak memaksakan kehendaknya.
 

“Kami gembira sebab TNI akhirnya memahami kondisi kami. Sebab kalau harus bayar sewa harus sesuai aturannya maka kami hanya sepakat untuk memberikan partisipasi, inikan tanah negara berilah kesempatan kami ikut menikmati,” kata Marjo.
 

Terkait dengan informasi, banyaknya lahan garapan petani yang dijual garapan mencapai Rp 1.250.000, Zibang akan melakukan update data warga yang menjadi petani penggarapan.
 

“Selain penertiban administrasi, hal ini juga untuk menaikkan harga  partisipasi warga penggarap,” katanya. (yan/ttg)

Jumat, 08 Mei 2015

Tanah Dirampas TNI, Petani Ramunia Demo di Kementrian Agraria




Solidaritas.net, Jakarta – Kamis, 6 Mei 2015, belasan petani Ramunia, sengaja datang jauh-jauh dari Sumatera Utara meminta kejelasan soal tanah seluas sekitar 220 hektar yang ditempati warga dan sebagian dijadikan lahan persawahan pertanian pangan terletak di Desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Massa aksi sempat marah dan melakukan blokir jalan untuk memaksa bertemu dan berdialog dengan pihak Kementrian Agraria.

Sejak bulan Januari 2015, tanah yang menjadi tempat penghidupan warga Ramunia, lahan persawahan pertanian pangan, rumah dan sawah sudah dikapling dengan tembok oleh pihak TNI (Puskopad/Puskop Kartika A Bukit Barisan). Bahkan, tembok-tembok tersebut menghalangi aktivitas sehari-hari para petani Ramunia dan anak-anak petani saat berangkat ke sekolah. Mereka harus memanjat tembok yang tingginya sekitar dua meter.

Sebelumnya, pada tahun 2014 masyarakat diganggu oleh sejumlah preman yang memaksa warga Ramunia untuk menerima uang ganti rugi atas tanah yang di tempat dengan nilai Rp. 10.000 per meter persegi. Bahkan, pihak Puskopad sempat mendirikan posko pembayaran kompensasi di Desa Perkebunan Ramunia serta menempatkan pasukan organik TNI.
“Terkait represifitas langsung dilakukan oleh TNI dari Kodam 1 Bukit Barisan, mereka seperti preman melakukan penganiyaan dan intimidasi terhadap petani yang sedang berjuang di DPRD sumut,”tegas Johan Merdeka salah satu kader Partai Pembebasan Rakyat (PPR) yang sudah belasan tahun menjadi aktivis tani di Sumatera Utara."
Namun, warga Desa Perkebunan Ramunia menolak ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak Puskopad. Berbagai upaya menolak perampasan tanah sudah di lakukan oleh para petani Ramunia, dengan mendatangi Bupati Deli Serdang, melakukan aksi dan membuka posko perlawanan di depan gedung DPRD Sumut, hingga meminta kejelasan dari Gubernur. Namun, belum ada titik terang dari kasus perampasan tanah ini.

Saat dialog dengan pihak Kementrian Agraria Johan juga menanyakan perihal berkas berbagai kasus dari petani yang tergabung dalam Komite Revolusi Agraria (KRA) yang hingga kini tidak jelas penyelesaikan kasus-kasusnya.

“Pada tanggal 27 november 2014 yang lalu sudah memasukan berkas kasus tanah dan keterangan pihak kementrian tidak ada, padahal kami memiliki bukti serah terima berkas, terdapat 43 kelompok tani yang tergabung dalam Komite Rev Agraria, ini ada apa ? apakah ada siluman dan mafia tanah ?” tanya Johan saat saat berdialog dengan pihak Kementrian Agraria.

Selasa, 05 Mei 2015

Petani Daun Pisang Datangi DPRD Cianjur

5 Mei, 2015 | Bisri Mustofa / PRLM


 
PULUHAN petani dari Haurwangi-Bojogpicung terlihat duduk manis sambil membentangkan berbagai spanduk mendengarkan taggapan dari anggota Komisi I DPRD Cianjur Usep Setiawan di halaman kantor DPRD Cianjur Jalan KH. Abdullah bin Nuh, Selasa (5/5/2015). Para petani mengaku kehilangan mata pencaharian semenjak lahannya diserobot PTPN VIII.*

CIANJUR, (PRLM).- Puluhan petani penggarap yang tergabung dalam Paguyuban Petani Daun Pisang Manggala (PP-DPM) Haurwangi menggelar aksi demo ke empat tempat yang berbeda, Selasa (5/5/2015). Para petani itu pertama datang ke kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Cianjur kemudian dilanjutkan ke kantor Pengadilan Negeri (PN) Cianjur, ke Pemda Cianjur dan terakhir ke kantor DPRD Cianjur.

Berdasarkan pantauan di gedung DPRD, dalam aksinya petani membawa sejumlah sepanduk yang salah satu isinya meminta penghentian kriminalisasi kepada para petani. Selama ini petani mengaku sering diteror oleh oknum yang tidak bertanggungjawab terkait lahan garapan di wilayah Bojongpicung dan Haurwangi Kabupaten Cianjur yang dikuasai PTPN VIII.

"Petani butuh lahan bukan teror, kami petani sangat siap bayar pajak tanah garapan, kepada media yang baik hati mohon sampaikan lidah kami kepada para intansi terkait hatur nuhun," tulis dalam spanduknya.

Koordinator Aksi Jajang Samita mengungkapkan, para petani tidak meminta lebih, hanya ingin melanjutkan tanah garapan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Banyak para petani yang menanam pisang dan daunya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Kami minta lahan garapan sekitar lima persen saja, itupun dengan sistem kontrak juga tidak masalah. Yang jelas petani butuh mata pencaharian, bukan butuh teror atau ancaman. Kami minta agar para petani diberikan kesempatan untuk menggarap lahan," tegasnya.

Sementara menurut Ketua PP-DPM, Hasanudin, konflik petani di wilayah Desa Cihea Kecamatan Haurwangi itu bermula saat PTPN VIII "menyerobot" lahan yang digarap para petani. PTPN VIII mengklem lebih berhak atas tanah seluas 236,8 hektar dibandingkan PP-DPM karena telah mengantongi SK yang dikeluarkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) Kabupaten Cianjur tanggal 3 Oktober 2013 Nomor 525/791/Dishutbun/2013.

"Tanah itu awalnya memang dikuasai oleh PTPN XII namun pada tahun 2002 HGUnya telah habis. Saat terlantar itulah dimanfaatkan oleh para petani hingga saat ini. Namun pada 20 Agustus 2014 tiba-tiba PTPN VIII masuk kelahan petani dan membuldozer tanaman petani berupa pohon pisang, jagung, singkong dan lainnya," katanya.

Tindakan PTPN VIII itu mengacu pada surat nomor 525/2895/Dishutbun tentang perubahan jenis tanaman dari kakao menjadi sawit pada 21 Juli 2014. "Izin itu tentu saja tidak sesuai dengan prosedur, karena pada saat bersamaan petani yang sudah menggarap selama 12 tahun tidak dilibatkan," jelasnya.

Pernah kata Hasanudin, diadakan pertemuan antara PTPN VIII dengan PP-DPM dan dihadiri sejumlah intansi terkait seperti BPN pada 23 April 2015 lalu. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa HGU PTPN XII sudah habis dan tidak ada mengeluarkan HGU untuk PTPN VIII. Meski begitu PTPN VIII terus melakukan aktivitas perkebunan tanpa HGU.

"Atas kejadian ini sebanyak 211 KK petani yang tergabung dalam PP-DPM kehilangan mata pencaharian utamanya, tidak bisa membiayai anak sekolah, tidak bisa membiayai anak dipesantren. Selama ini para petani telah menggantungkan hidupnya diatas tanah yang dirampas oleh PTPN VIII," jelasnya.

Ketua Komisi I DPRD Cianjur H. Endang Rentek melalui anggotanya Usep Setiawan menegaskan akan menindak lanjuti apa yang disampaikan oleh para petani. Pihaknya sangat membutuhkan data terkait lahan yang menurut petai diserobot oleh PTPN VIII.

"Tentu akan kita tindak lanjuti, ini aspirasi masyarakat. Namun untuk menindak lanjutinya kita sangat memerlukan data terhadap objek yang disengketakan. Kita akan mencari datanya terlebih dahulu baru bisa mengambil langkah-langkah apa yang harus kami lakukan," kata Usep 
(Bisri Mustofa/A-147)***

http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2015/05/05/326100/petani-daun-pisang-datangi-dprd-cianjur

Minggu, 03 Mei 2015

Lagi, Polisi Tangkap Aktivis Agraria Dan Tembak Petani

Minggu, 3 Mei 2015 | 20:15 WIB

Kendati menuai banyak kecaman, polisi belum juga kapok menggunakan cara-cara kekerasan dan sewenang-wenang dalam penyelesaian kasus konflik agraria.

Hari Minggu (3/5/2015), polisi kembali menggunakan cara-cara kekerasan saat hendak menangkap seorang aktivis agraria, Muamar, dan sejumlah petani di Desa Polara, Kec. Wawonii Tenggara, Kab. Konawe Kepulauan.

Muamar dituduh telah mendalangi aksi pembakaran kompleks pabrik serta peralatan PT Derawan Berjaya Mining (DBM), Minggu (8/3/2015). Kejadian inilah yang menjadi dalih bagi polisi untuk menangkap Muamar dan para petani.

Pada saat hendak melakukan penangkapan, polisi bertindak brutal. Sejumlah warga, termasuk ibu-ibu, menjadi korban pemukulan aparat kepolisian. Tidak hanya itu, polisi juga melepas tembakan untuk menghentikan warga desa.
Akibat tindakan brutal aparat kepolisian itu, dua orang warga terkena tembakan, yaitu Malintang dan Adam. Saat ini keduanya sedang dirawat di Rumah Sakit Abunawas (RSUD) Kota Kendari.

“Mereka membabi buta memukul warga tanpa ampun, yang lebih menyakitkan lagi ibu-ibu sempat mereka pukul,” tutur Adam kepada wartawan di RSUD Abunawas Kendari.

Adam menuturkan, kejadian tersebut berlangsung pagi-pagi buta. Pada saat kejadian, warga berusaha mempertahankan Muamar. Mereka tidak ingin Muamar, yang selama ini berjuang membela hak-hak rakyat, ditangkap oleh aparat kepolisian.

Polisi kemudian mulai memukul dan melepaskan tembakan. “Mereka melakukan penembakan. Sekitar pukul 05.60 pagi, saya langsung terbangun bergegas melihat kejadian itu. Saya tidak tega melihat warga diperlakukan seperti binatang, makanya kami melawan,” jelas Adam.

Selain melakukan pemukulan dan penembakan, polisi juga menangkap Muamar dan seorang warga desa bernama Hasrudin. Hingga berita ini diturunkan, keduanya belum diketahui letak keberadaannya.

Untuk diketahu, Muamar adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Selama ini Muamar aktif dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, termasuk korban konflik agraria.

Konflik Agraria

Sebelumnya, pada hari Minggu (8/3), seratusan warga desa Polara, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, mendatangi kompleks PT DBM.

Warga menolak kehadiran perusahaan tambang tersebut. Warga menilai, kehadiran perusahaan tambang pasir krom tersebut membawa ancaman kerusakan ekologis, yakni abrasi pantai besar-besaran.

Selain itu, warga juga kecewa dengan perilaku PT BDM yang ingkar janji. Ketika mulai masuk pada tahun 2007 lalu, PT BDM berjanji akan memberikan kesejahteraan warga.

Untuk diketahui, PT BDM menjanjikan pembangunan sarana dan prasarana umum desa, seperti, jalan raya, listrik, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana olah raga dan bantuan organisasi kepemudaan. Sayang, delapan tahun berlalu, janji tersebut tidak kunjung ditepati.
Itulah, antara lain, yang menjadi pemicu kemarahan warga. Kemarahan itu pula yang menyulut aksi warga membakar kompleks pabrik dan peralatan PT. BDM pada 8 Maret lalu.

Mengecam Tindakan Kekerasan Polisi

Terkait kejadian di atas, Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW PRD) Sulawesi Tenggara melayangkan surat kecaman terhadap pihak kepolisian.

“KPW PRD Sultra mendesak agar kepolisian menghentikan cara-cara represif dalam menangani setiap konflik agraria yang terjadi antara rakyat dan pemilik modal,” kata Ketua KPW PRD Sultra, Badaruddin, melalui siaran pers, Minggu (3/5) sore.

Menurut Badaruddin, pihak kepolisian seharusnya mengabdi pada kepentingan negara dan rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan pemilik modal.

Ia pun mendesak pembebasan dua aktivis agraria yang ditangkap. Selain itu, ia juga mendesak agar pimpinan kepolisian segera memecat anggota kepolisian yang terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap warga desa Polara.

Mahesa Danu | Sumber http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20150503/lagi-polisi-tangkap-aktivis-agraria-dan-tembak-petani.html

Lokasi Pabrik Semen Ultratech di Wonogiri Dipindah

Minggu, 3 Mei 2015 11:22 WIB | Trianto Heri Suryono/JIBI/Solopos | 

Ilustrasi (JIBI/Solopos/Antara) 

Solopos.com, WONOGIRI — Pendirian pabrik semen di Wonogiri masih berlanjut. Pihak ketiga atau Ultratech sudah mengajukan permohonan dan otoritas di Pemkab Wonogiri sudah menindaklanjuti dengan rapat antardinas terkait.

Ultratech diminta menyesuaikan regulasi sehingga bisa didirikan di Wonogiri. Pendirian pabrik semen diwacanakan dipindahkan dari Kecamatan Giriwoyo ke Kecamatan Eromoko.

Penegasan itu disampaikan Kepala Bappeda Wonogiri, Sri Jarwadi ditemui Espos, di Alun-alun Giri Krida Bakti, Wonogiri seusai mengikuti Upacara Hardiknas, Sabtu (2/5/2015). “Pemkab sudah menggelar rapat rencana pendirian pabrik semen di Wonogiri. Standar pengurusan perizinan harus ditaati oleh pihak ketiga atau PT Semen Ultratech.”

Sri Jarwadi menjelaskan tahapan-tahapan pendirian sebuah pabrik harus ditaati, seperti kesesuaian lahan dan tata ruang, pembuatan FS atau Feasibility Study, analisa dampak lingkungan (amdal).

“Setelah semua tahapan itu dilakukan baru pelaksanaan pendirian sebuah pabrik. Saat ini, pendirian pabrik (semen) masih menyesuaikan antara lokasi dan tata ruang. Informasinya, keberadaan pabrik akan dipindahkan. Lokasi Giriwoyo menjadi lokasi pengambilan bahan baku dan pabrik semen direncanakan didirikan di Eromoko.”

Lebih lanjut dijelaskan mantan Direktur PDAM Wonogiri, lokasi penambangan bahan baku dan pendirian pabrik masih dicari lokasi yang tepat. Menurutnya, jika investor sudah menentukan lokasi akan dirapatkan lagi agar masyarakat mengetahui secara jelas. Camat Giriwoyo, Sariman saat dihubungi Solopos.com, mengatakan, kepastian pendirian pabrik di wilayahnya masih menunggu RDTRK (rencana detail tata ruang kecamatan).

Diberitakan sebelumnya, pertengahan September 2014, Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto pernah diundang ke Kanada untuk menyampaikan pemaparan terkait Geopark Pegunungan Seribu yang dimintakan pengakuan ke dunia Internasional.
Patrem Joko P, yang pernah menjabat Kepala Bidang Pertambangan Dinas Pengairan, Energi dan Sumber Daya Mineral (PESDM) Wonogiri, mengatakan, cagar alam geologi tidak boleh ditambang.


Ditanya bagaimana lokasi tambang semen di Giriwoyo? Patrem menjelaskan perusahaan yang ingin melakukan penambangan meski melakukan penciutan lokasi. “Sebagian lokasi tambang semen masuk kawasan Geopark Nasional kawasan karst sehingga dilakukan penciutan. Kami mendengar informasi jika penambangan semen teralisasi lokasi tambang yang telah mendapatkan izin seluas 10.0000 hektare.”

Namun, ujarnya, luas lahan yang diizinkan menjadi tambang semen akan dikurangi. Lokasi tambang semen baik di utara maupun di selatan masing-masing seluas 600 ha.


http://www.solopos.com/2015/05/03/pabrik-semen-wonogiri-lokasi-pabrik-semen-ultratech-di-wonogiri-dipindah-600461