This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 16 Oktober 2015

Bela Rakyat Yes, Bela Negara No!

Mastono | Harian Indoprogress
Foto diambil dari http://gema-nurani.com
SUATU pagi tiga tahun yang lalu, seorang gadis menelpon saya. Dia adalah sahabat saya sedari kecil. Parasnya cantik. Tapi bukan ini persoalannya. Dia menelpon saya dengan menangis. Kemudian bercerita pahitnya menjadi buruh. Dia menceritakan, tenaga dikuras tapi upah masih belum cukup menghidupi diri dan keluarga di rumah. Bukan cuma itu, katanya, waktu istirahat yang disediakan hanya bisa digunakan untuk makan. Sementara untuk sholat, seringkali waktu tak mengijinkan. Dalam batin saya berkata: ‘pahit sekali, tenaga habis-upah tak mencukupi, bahkan bertemu Tuhan saja susah’.
Cerita sahabat tadi hanya satu saja contoh sulitnya hidup di negeri ini. Banyak orang-orang di sekeliling saya yang mengeluhkan itu: masalah harga kebutuhan semakin mahal, tapi harga hasil kerja pertanian mereka semakin anjlok, biaya sekolah yang terancam tak terbayar, mencari kerjaan susah, panen terancam gagal, sampai pada hutang. Di tengah situasi ini, bagi mereka, negara tak pernah terasa pertolongannya. Malahan yang terjadi sebaliknya, negara sengaja membiarkan penderitaan ini terus berlanjut. Pemerintah dipandang hanya berceloteh, mencomot nama rakyat sana-sini, membenarkan kebijakan, namun hasilnya tak pernah terasa di bawah.
Belakangan ini, cerita kepahitan hidup di negeri ini justru semakin menjadi-jadi. Lihatlah, ketenteraman warga kampung Pulo dengan ekonomi, sosial dan budayanya harus digulung paksa. Di Papua, penyiksaan bahkan seolah menjadi hal yang lumrah. Di Urut Sewu, petani yang sudah manunggaling dengan tanahnya harus dipukul mundur dengan bayonet oleh tentara. Salim Kancil, petani yang berjuang untuk menyelamatkan alam di Lumajang, bahkan harus merenggang nyawa. Bisa jadi masih banyak kasus-kasus lain yang serupa tapi tak tersorot media.
Bukankah itu saja sudah cukup menjelaskan, betapa susah hidup di negara ini? Bertahan hidup memenuhi kebutuhan material sulit, sarana produksi bahkan direbut, sudah begitu ketika mempertanyakan dan menolak langsung dihajar. Tidak segan-segan, bukan hanya fisik yang dihajar tapi label pun disarangkan. Seolah-olah yang melawan adalah komunis, dan komunis adalah pemecah integrasi bangsa. Singkatnya, sudah sulit mendapatkan hidup, ketika menuntut segera dituduh menganggu stabilitas negara.
***
Namun, nampaknya, bagi sebagian kalangan ini belum menjadi fakta-fakta yang memuaskan dan menyadarkan. Ironinya ini juga terjadi pada gerakan, terutama gerakan pelajar: masih banyak anggota gerakan mahasiswa yang bilang buruh tak ditindas. Orang-orang seperti ini melihat ketertindasan sebagai suatu realitas yang harus mengaktual dan bisa dilihat secara kasat mata. Bagi aktivis-aktivis ini, buruh yang makan di McD dan KFC serta membeli Samsung adalah buruh yang sejahtera, dengan demikian tidak pantas disebut tertindas. Apalagi jika sepeda motor kendaraan si buruh lebih mewah dari punyanya, maka semakin tak ada alasan untuk mengatakan buruh itu tertindas. Ditambah lagi, kata manusia-manusia ini, buruh kerja dengan suka rela tanpa keterpaksaan berarti tanpa penindasan!
Ironi sekali bukan? Ketertindasan hanya dipahami sebagai yang nampak oleh indera dan dirasakan oleh pikiran. Mungkin manusia-manusia ini tidak pernah membaca rubrik LogikaDede Mulyanto dan Martin Suryajaya. Pandangan begini jelas bermasalah. Ketertindasan itu perkara objektif yang keberadaannya terlepas dari sadar atau tidaknya subjek. Mau buruh itu merasa ditindas atau tidak, tidak mengubah apapun: bahwa nilai kerjanya diambil menjadi nilai lebih oleh pemegang modal. Lagi pula, apa dengan buruh makan di McD dan KFC serta punya Samsung itu menjadi variabel untuk menentukan ketertindasan? Lah, sahabat saya itu punya Samsung, pernah makan di KFC dan McD tapi nyatanya justru lebih sering dia menangis karena merasa menderita menjadi buruh.
Selain itu, memangnya jika mereka buruh, apa mereka tidak diperkenankan untuk makan di McD atau KFC? Apa mereka tidak boleh punya telepon genggam sekelas Samsung Galaxy S6? Bukankah justru McD, KFC, Samsung dan sejenisnya itu tak pandang bulu ketika memasang iklan? Bukankah barang-barang ini juga memang diproduksi secara massal? Mana peduli perusahaan-perusahaan itu dengan kelas, untuk mendapatkan konsumen di pasar? Siapa punya uang dia bisa beli barang-barang itu, tak urusan dari mana dan seperti apa dia dapat uang. Buruh juga ingin senang, pengen sama seperti yang lainnya menikmati ayam goreng KFC, burger di McD, dan kecepatan yang dijanjikan di era digital dengan menggunakan hp canggih. Menjadi buruh tak harus makan singkong rebus dan komunikasi dengan surat yang disampaikan oleh burung merpati, bukan? Ini perkembangan jaman. Kalau mau disalahkan itu bukan buruh tapi kapitalisme itu sendiri. Sementara kapitalisme tak akan mati dengan membakar KFC, McD atau menggunakan surat via merpati.
Nalar seperti ini, sama saja dengan nalar penguasa penentu UMR dan KHL. Bagi pejabat-pejabat ini, buruh tak usah makan enak, tak perlu bergizi bagus yang terpenting cukup buat besok bisa kerja lagi. Makanya, bagi pemerintah, upah buruh tidak perlu tinggi. Jika pemerintahnya begini, sementara kader gerakan mahasiswa yang selalu berteriak menyuarakan rakyat juga seperti itu, kemudian pertanyaannya: pada siapa hidup sulit buruh itu dicurahkan?
Jelas sekali, pandangan ini membuat semakin sulit saja hidup di negeri ini. Cari makan sulit, menuntut hak dihajar, ingin mencari pertolongan pada sang pahlawan gerakan ketertindasannya tidak dipercaya. Seharusnya kalian, para anggota gerakan ini, menyadarkan bahwa ada keterindasan dan mengajak untuk bersama melawan, bukan malah nyinyir hanya karena buruh terlihat hidup enak.
***
Belum berhenti cerita sulitnya hidup di negera ini. Kemaren ada pahlawan tiba-tiba datang dengan menggaungkan bela negara. Siapa dia? Tentu kita sudah tahu, dialah Menteri Pertahanan kita. Sang Jenderal (Purn) itu berkata: kalau semua warga-bangsa Indonesia harus bela negara, wajib hukumnya. Tak tanggung-tanggung, bagi Menhan, bela negara ini harus diterapkan semenjak TK sampai usia 50 tahun, semua kena. Bagi aktivis yang nyinyir soal keterindasan buruh tadi, gagasan bela negara versi Menhan ini pasti dibilang heroik sekali. Bela negara! Bagaimana tidak heroik, kita dituntun membela negara kita? Apalagi si Menhan berkata, dengan bela negara ini nantinya persoalan dari konflik tukang ojek sampai masalah asap yang lagi ramai itu akan dengan mudah terselesaikan. Di benak si Menhan, bela negara adalah koentji atas semua persoalan di negeri ini.
Akan tetapi, benarkan begini? Soal apa yang hendak dibangun dan apa nalar di balik bela negara versi Menhan ini harus dijawab. Jadi tolong bagi para aktivis yang nyinyir jangan mudah kagum dengan hal-hal begini. Ragukan dulu, ragukan dan bertanyalah!
***
Dalam bayangan Menhan, masalah di negara ini disebabkan oleh kurangnya nasionalisme dan patrotisme. Oleh karena itu, dengan bersemangat ia memberikan bela negara sebagai kunci jawaban atas persoalan-persoalan itu. Dia bahkan menyebut ini adalah penerjemahan atas Revolusi Mental Jokowi. Baiklah, apa yang bermasalah dari bela negara model Menhan ini?
Connie Rahakundini Bakrie dalam tulisan berjudul Pertahanan nan Hilang Arah telah mengkritik sang Menhan bahwa ia telah gagal menerjemahkan visi kemaritiman Jokowi. Alih-alih membuat sistem yang memperkuat pertahanan laut dengan disokong udara, Menhan justru sibuk memiliterkan sipil. Sebenarnya hal ini tidak aneh, mengingat Menhan adalah Jenderal dari Angkatan Darat. Sejarah negeri ini mencatat, Angkatan Darat memang lebih sibuk ngurusi persoalan di dalam, sehingga dalam persepsi mereka ancaman stabilitas dan pertahanan negara justru datang dan diganggu oleh komponen dalam negeri. Siapa komponen dalam negeri yang dipandang menjadi musuh? Jawabannya mudah, lihat saja siapa yang sering dihajar oleh AD: rakyat-rakyat yang justru menuntut hak hidupnya.
Nasionalisme, Pancasila dan Patriotisme yang diajarkan bela negara versi Menhan tentu dapat dilihat dengan mudah sebagai versi militer (konkritnya: AD). Dengan begitu, warga akan diajak untuk memiliki nalar seperti militer. Setelah bernalar begitu, warga akan mudah dibuat tertib. Jika masih ada yang melawan tinggal tuduh saja kadar bela negaranya lemah, mengganggu stabilitas negara dan berpotensi untuk memecah integritas bangsa, maka semangat sipil yang dimiliterkan itu akan naik dan ikut menghajar yang melawan itu. Hal ini sudah dapat dilihat dari ungkapan Menhan sendiri ketika berkata siapa yang tidak mau bela negara tinggal diusir saja. Ungkapan ini jelas ancaman, begitu mudahnya seseorang akan dicap tidak membela negara dan harus diusir minimal dipukuli. Mirip Orde Baru sekali, bukan?
Jangan berharap Pancasila, nasionalisme dan patriotrisme yang diajarkan itu seperti gagasan Soekarno. Pancasila, nasionalisme dan patriotisme Soekarno itu tujuannya menyelamatkan kaum Marhaen. Musuhnya jelas: kapitalisme-imperialisme-kolonialisme dan feodalisme. Jika pun yang dibawa adalah gagasan Soekarno, tak mungkinlah Menhan mendahulukan bela negara daripada kesejahteraan rakyatnya. Padahal jelas-jelas, selama ini negara yang dimaksud itulah yang memiskinkan, menelantarkan dan menyusahkan rakyat.
Akankan kita membela yang selama ini membuat kita hidup susah? Akankah kita membela yang selama ini melantarkan kita? Kalau saya ogah.***
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
http://indoprogress.com/2015/10/bela-rakyat-yes-bela-negara-no/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29

Rabu, 14 Oktober 2015

Kronologi Kriminalisasi Petani dan Aktivis Serikat Petani Karawang

Af | On 14, Okt 2015

MESTAKUNG (Semesta Mendukung)
Nestapa Petani Karawang

Kriminalisasi petani dan aktivis petani adalah kejahatan kemanusiaan. Kriminalisasi aktivis petani kembali terjadi di negara ini, dua aktivis Serikat Petani Karawang (1) Engkos Koswara SEKJEN Serikat Petani Karawang dan Odang Rodiana Kepala Departemen Pendidikan Serikat Petani Karawang telah di kriminalisasi oleh salah seorang CABUP Karawang nomor Urut 1 Nace Permana, yang juga ketua LSM Lodaya. Nace Permana selama ini juga dikenal memiliki peranan sebagai beking PERHUTANI.

Kriminalisasi kedua aktivis Serikat Petani Karawang berdasarkan pada Laporan Kepolisian Resort Karawang pada Tanggal 12 Oktober 2015 dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasar UU ITE No 11 tahun 2008. Namun benarkah tuduhan tersebut?

Sebagaimana diketahui oleh Serikat Petani Karawang dan juga petani anggota Serikat Petani Karawang, Nace Permana adalah ketua dari LSM Lodaya yang selama ini bersama PERHUTANI telah melakukan upaya-upaya penjegalan perjuangan kaum tani. Upaya Penjegalan-penjegalan tersebut diantaranya adalah :

1. Pemindahan patok-patok batas PERHUTANI ke tanah-tanah petani.

2. Intimidasi /ancaman terhadap petani berupa larangan pemanfaatan hasil tanaman, membakar gubuk serta ancaman kriminalisasi.

3. Pemerasan yang dilakukan oleh mantri-mantri kehutanan yang juga dibekingi oleh LSM LODAYA.

4. Penolakan atas Peraturan Bersama 4 menteri tentang Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang diajukan oleh petani bersama Serikat Petani Karawang.

5. Kriminalisasi terhadap Petani Anggota Serikat Petani Karawang

6. Kriminalisasi terhadap Aktivis Serikat Petani Karawang.
Kriminalisasi terhadap kedua aktivis Serikat Petani Karawang ini berawal dari tertuduhnya saudara Karsim yang merupakan salah satu anggota Serikat Petani Karawang atas sejumlah balok kayu yang ditemukan digubuknya pada tanggal 8 Oktober 2015. Sebagaimana diketahui masyarakat bahwasanya sejumlah balok kayu tersebut adalah milik mutlak saudara karsim yang ia tanam dan kelola di tanah miliknya sendiri bahkan bibitnya-pun ia beli sendiri dari daerah Cikampek.

Paska ditemukannya sejumlah balok kayu di gubuk Karsim tersebut, pihak PERHUTANI serta LODAYA mulai arogan. Sebagaimana yang di ungkapkan saudara Karsim bahwa pihak LODAYA mengintimidasi akan membakar gubuk-gubuk petani, begitupun pula dengan intimidasi dari pihak PERHUTANI. Masalah-pun berlanjut. Sekembalinya Karsim kerumah, Okim seorang Mantri Hutan mendatangi Karsim dirumahnya dan menyampaikan bahwasanya masalah tersebut sudah dilaporkan oleh LSM LODAYA kepada pihak terkait sebagaimana pembicaraan tersebut terekam oleh telepon seluler saudara Karsim. Pada sore harinya, Akew, yang merupakan orang suruhan saudara Okim (Mantri Hutan) mendatangi keluarga Karsim meminta uang agar masalah ini tidak sampai ke Kepolisian, namun dengan tegas keluarga Karsim menolak hal tersebut karena sungguh saudara Karsim adalah seorang petani yang menanam di tanahnya sendiri.

Pada malam hari sekitar pukul 21:00 WIB, pengurus serikat Petani Karawang di Kabupaten menerima laporan dari Hilman dan Wahyu, pengurus yang datang ke lokasi desa Medalsari, mereka melaporkan bahwa telah terjadi upaya kriminalisasi oleh pihak PERHUTANI dengan LODAYA kepada petani di desa Medalsari.

Setelah laporan diterima, Engkos (SEKJEN), Odang (DEP. Pendidikan), Inong (Dep. Propaganda) yang pada saat itu berada di Sekretariat Kabupaten melakukan rapat darurat yang melibatkan ketua umum. Hasil dari rekomendasi rapat darurat tersebut adalah statement/pernyataan sikap terkait apa yang telah dilakukan oleh PERHUTANI dan LODAYA. Pernyataan sikap tersebut ditindak lanjuti oleh tim propaganda dalam bentuk kritik melalui berbagai media (gambar poster, karikatur, tulisan gambar) terkait PERHUTANI, LODAYA dan Nace Permana sebagai representasi LODAYA di berbagai jaringan facebook.

Pada keesokan harinya 9 Oktober 2015, ratusan masyarakat Desa Medalsari mendatangi kantor RPH Pangkalan – Karawang menolak kriminalisasi yang di lakukan oleh PERHUTANI dan LODAYA. Namun petani yang melakukan aksi dikantor RPH tersebut hanya menemui kantor yang tak berpenghuni, lalu massa aksi-pun bertolak aksi ke Bupati Karawang dan lagi-lagi tak bisa bertemu dengan pejabat yang dituju dan akhirnya petani pulang ke desa tanpa mendapat perhatian dari Pemerintah Kabuoaten Karawang.

Pada sore harinya atas desakan dari KAPOLSEK Pangkalan melalui BABINKAMTIBMAS Medalsari, Brigpol Dudin Suhabudin, meminta dilakukan mediasi antara warga dengan pihak PERHUTANI yang juga dihadiri oleh beberapa pengurus Serikat Petani Karawang. Pertemuan mediasi tersebut begitu alot dengan berbagai macam bantahan oleh pihak PERHUTANI yang berakhir dengan buntu, karena akhirnya pihak PERHUTANI menolak semua rumusan berita acara yang awalnya disepakati berbagai pihak.

Pada perjalanan kembali ke sekretariat di Karawang, Engkos (Sekjen SEPETAK) mendapat pesan dari Hendra Supriyatna, salah satu kuasa hukum Nace Permana, untuk bisa bertemu terkait beberapa statement dan gambar di facebook yang memuat Nace Permana. Dengan berbagai alasan, pertemuan tersebut akhirnya menuai kesepakatan bahwa Serikat Petani Karawang akan menghapus gambar-gambar serta statement tersebut asalkan Nace Permana memberikan pernyataan bahwa :

1. Nace Permana harus memberikan pernyataan sikap di media sosial (facebook), bahwa Nace Permana mendukung Peraturan Bersama 4 menteri tentang Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang diajukan oleh petani.

2. Nace Permana harus memberikan pernyataan di media sosial (facebook), bahwa Nace Permana pro terhadap petani.
Namun, setelah 2 hari, Serikat Petani Karawang menunggu pernyataan dari Nace Permana, tepatnya pada tanggal 12 oktober 2015, malah berakhir dengan laporan Kepolisian dengan tuduhan bahwa Serikat Petani Karawang melakukan pencemaran nama baik dengan dua aktivis Serikat Petani Karawang sebagai terlapor.

Karawang, 13 Oktober 2015
SERIKAT PETANI KARAWANG
 
http://selamatkanbumi.com/kronologi-kriminalisasi-petani-dan-aktivis-serikat-petani-karawang/

Sabtu, 03 Oktober 2015

LIPI: Kebijakan Soal Izin Lahan Tak Pro Petani

, CNN Indonesia | Sabtu, 03/10/2015 03:09 WIB
 
Petani menunjukkan tanaman padi yang sudah kering di Desa Hadiwarno, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (30/6). (AntaraFoto/Yusuf Nugroho)  
 
Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya konflik agraria menjadi salah satu permasalahan yang menyebakan belum majunya pertanian di Indonesia. Kebijakan pro pertanian pun dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.

Lilis Mulyani, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan konflik agraria terjadi struktural. Dia mengatakan kebijakan pemerintah dinilai lebih mendukung pemilik modal industri dibandingkan dengan pemilik lahan pertanian.
 
"Kebijakan pemerintah timpang, akses rakyat kecil sulit untuk mendapatkan lahan pertanian sedangkan perusahaan-perusahaan pemilik modal lebih mudah ketika mendapatkan izin industri," kata Lilis, kepada CNN Indonesia, Jumat (2/10).

Timpangnya kebijakan ini membuat petani dan perusahaan akhirnya bentrok di lapangan. Banyak perusahaan yang mengklaim punya izin untuk mengeksploitasi lahan pertanian.

"Sehingga terjadi perampasan lahan, perusahaan merasa punya izin, sementara masyarakat atau petani merasa itu merupakan lahan turun temurun," ujar Lilis.

Lilis menyarankan seharusnya pemerintah melihat kondisi lapangan sebelum memberikan izin kepada perusahaan sehingga konflik di lapangan bisa diminimalisir. Dia menambahkan, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengumumkan kepada masyarakat perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin untuk menggunakan lahan.

"Selama ini pemerintah masih menganggap perusahaan lebih baik untuk mengelola Sumber Daya Alam di Indonesia sehingga kebijakan yang dikeluarkan tanpa melihat kondisi lapangan," ujarnya.

Sementara itu, terkait peran pemuda yang ikut dalam konflik agraria, Lilis mengatakan hal tersebut terjadi karena pola pikir anak muda yang masih menganggap pertanian bukan merupakan bidang yang menjanjikan untuk menunjang masa depan mereka. Akibatnya, banyak pemuda di Indonesia terutama di pedesaan lebih memilih masuk dan mendukung perusahaan-perusahaan.

Lilis mengatakan peran pemerintah untuk melakukan pendidikan kepada pemuda desa dan bantuan terhadap bidang pertanian seperti kebijakan dan anggaran sangat diperlukan untuk memajukan pertanian di Indonesia. (utd)
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151002215410-20-82509/lipi-kebijakan-soal-izin-lahan-tak-pro-petani/

Jumat, 02 Oktober 2015

Sengketa Lahan Harus Selesai Paling Lama 10 Tahun

02 Oktober 2015 20:21 Yuyuk Sugarman

Lahan perkebunan yang HGU-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian atau persawahan. 

Perkebunan teh di Cianjur.

YOGYAKARTA - Banyaknya sengketa tanah yang tak kunjung selesai menyebabkan tanah atau lahan tersebut kurang produktif. Selama ini negara terkesan tidak mau melindungi dan cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus sengketa lahan sehingga banyak tanah yang seharusnya bisa produktif jadi berkurang manfaatnya.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Pertanian Revolusioner “Selamatkan Pertanian Indonesia” di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (1/10).

Melihat kenyataan itu Ferry akan membuat aturan yang membatasi waktu penyelesaian sengketa lahan yaitu kurang dari sepuluh tahun. “Penyelesaian sengketa dibatasi hingga sepuluh tahun dan jangan sampai lebih dari itu, atau kalau bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun saja,” katanya.

Ferry mengemukakan, saat ini tengah mendorong penyusunan tata ruang wilayah yang mengutamakan lahan-lahan yang memiliki potensi tanah subur dan lahan pertanian produktif. Lahan-lahan tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian.

“Kita lakukan koordinasi dan pemetaan sawah nasional, menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan mencegah terjadinya konversi lahan sawah produktif untuk digunakan di luar pertanian,” ujarnya.

Tidak hanya itu, upaya reformasi agraria juga dilaksanakan melalui reformasi aset dengan legalisasi tanah berupa sertifikasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi tanahnya sebagai bagian dari reformasi akses.

Terkait dengan kebakaran hutan, Ferry akan mengeluarkan kebijakan antara lain dengan mewajibkan perusahan atau industri di kawasan hutan maupun lahan yang terbakar untuk berperan aktif melaksanakan upaya pencegahan. "Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dipenuhi kami tidak akan segan melakukan pengurangan hak guna usaha," tegasnya lagi.

Alih Fungsi

Menteri ATR/Kepala BPN, Fery Mursyidan Baldan, juga mengatakan perlu ada pengontrolan penggunaan lahan pertanian agar lahan-lahan itu tak beralih fungsi menjadi lahan lain dan bangunan rumah atau resort.

"Kita katakan bahwa lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian dilarang untuk dijual dan dialihfungsikan. Itu komitmennya," katanya. Bahkan, dalam pembuatan sertifikat lahan pertanian, pemilik lahan tak diperkenankan untuk mengalihfungsikan lahan tersebut, tak boleh dijual kepada orang yang bukan petani, dan tidak boleh diwariskan kepada keluarganya yang bukan petani.

Kebijakan sudah ada, namun akan efektif manakala dilakukan pengontrolan guna mendesain negara ini dalam pemanfaatan tanah dan ruang. Menurut Ferry, pengontrolan tanah tak boleh dipahami sebagai hak mutlak dan hak ekslusif, dimana seseorang menyatakan tentang kepemilikan hak tanahnya yang bisa digunakan semaunya.

Keberadaan areal persawahan atau pertanian bukan hanya sumber kehidupan bagi orang perorangan, namun seluruh masyarakat di suatu negara. Masyarakat yang bekerja sebagai petani harus meyakini bahwa menjadi petani akan sejahtera.

"Bila lahan pertanian sudah diberikan kepada petani, namun tak ada dukungan infrastruktur, tempat penggilingan padi dan kemudahan transportasi, maka pada akhirnya lahan tersebut akan dijual kepada para pemilik modal (pengusaha). Oleh karena itu, tak boleh ada rantai yang terputus ketika kita bangun pertanian, baik makro maupun mikro," kata politikus Partai Nasdem ini.

Upaya yang dilakukan oleh Kementerian ATR untuk mengatasi kekurangan lahan pertanian adalah lahan-lahan perkebunan yang Hak Guna Usaha (HGU)-nya tak diperpanjang akan digunakan untuk lahan pertanian/persawahan. 

Sumber : Sinar Harapan
 
http://www.sinarharapan.co/news/read/151002185/sengketa-lahan-harus-selesai-paling-lama-10-tahun

Sabtu, 26 September 2015

Inilah Kronologis Pembunuhan Sadis Warga Tolak Tambang Selok Awar-awar

Hukum & Kriminal Lumajang

Lumajang (lumajangsatu.com) - Pro dan kontra tambang pasir ilegal pesisir pantai Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian akhirnya menelan korban. Parahnya, warga yang menolak tambang dibantai dengan cara sadis hampir menyerupai gerakan 30 september (G-30-S-PKI).

Info yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber di desa Selok Awar-awar Sabtu (26/09/2015), Salim warga anti tambang tewas dibunuh dengan kondisi mengenaskan. Salim dijemput oleh sejumlah orang dari rumahnya kemudian dibawa ke balai desa Selok Awar-awar.

Di balai desa, korban informasinya kemudian dipukul beramai-ramai dan diikat kedua tangnnya kedepan. Bahkan, siswa TK yang berada di balai desa dipulangkan karena ada penyiksaan kepada salah seorang warga penolak tambang.

Tak cukup sampai disitu, Salim akhirnya dibantai dengan sadis oleh warga yang pro dengan pertambangan. Mayat korban kemudian dibuang diareal perkebunan dengan kondisi tangan masi terikat dan luka dikepalanya akibat dicangkul dan juga dipukul dengan batu serta benda tumpul lainnya.

Tak hanya Salim, Tosan warga anti tambang juga nyaris bernasib sama dengan korban yang dibantai. Beruntung, saat hendak dijemput dirumahnya, Tosan melawan dan akhirnya berhasil meloloskan diri dan berhasil diselamatkan dengan luka parah kemudian dirawat intensif.

"Kita sudah kantongi nama-nama pelaku pembantaian dan juga penganiayaan kepada warga kontra tambang di Selok Awar-awar," ungkap AKBP Fadly Munzir Ismail SIK kapolres Lumajang.(Yd/red)

Peringati Hari Tani Nasional HMI Fisipol Unsoed Menuntut Pemerintah Mengusut Tuntas Kekerasan TNI terhadap Petani

September 26, 2015 

Purwokerto, 25 September 2015, Memperingati hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2015, Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Diponegoro Fisipol Unsoed dan Ahmad Dahlan UMP mengadakan aksi Edukasi di dekat Alun – alun Purwokerto ( 25/9 ). Aksi yang berlangsung selama 2 jam ini diwarnai dengan Teatrikal dan Orasi. Teatrikal merupakan media penyampaian pesan secara visual. Dengan diperankan 4 aktor, Teatrikal ini  menggambarkan perampasan lahan pertanian oleh TNI Angkatan Darat terhadap Petani.

Teatrikal dilakukan kader Hmi Fisipol Unsoed dan Hmi Ahmad Dahlan sebagai bentuk simbolisasi kekerasan yang dilakukan TNI oleh Petani (Foto HmI Fisipol Unsoed)

 Aksi ini merupakan bentuk keresahan Mahasiswa terhadap berbagai kasus yang terjadi berkaitan konflik lahan maupun tindak kekerasan terhadap Petani Indonesia. Konflik lahan yang diangkat yakni perseteruan Petani Urut sewu dengan TNI Angkatan Darat dengan berujung Pemagaran Lahan Petani. Menarik dicermati wilayah Indonesia merupakan Negara Agraris dengan sektor pertanian menjadi penghidupan terbesar Negara, sehingga memposisikan Petani mempunyai peranan yang sangat penting. 

Orasi dilakukan oleh Riski kader HmI Fisipol Unsoed yang menuntut agar pemerintah segera mengusut tuntas kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap petani. (Foto HmI Fisipol Unsoed)


Pemerintah sudah sewajarnya memperhatikan kondisi Petani, namun realitas yang terjadi justru bertentangan. Pemerintah seolah tutup telinga dengan berbagai pemberitaan konflik lahan bahkan tindak kekerasan terhadap Petani. Senada apa yang disampaikan Korlap Aksi Gugun Wardiono “Pemerintah kurang tegas dalam menyikapi kekerasan yang terjadi terhadap Petani, dan justru pemerintah ikut menyengsarakan Petani”. Aksi Edukasi ini mengecam tegas pemerintah harus cepat menyelesaikan berbagai kasus yang menyengsarakan Petani. Berbagai tuntutan disampaikan saat Orasi, diantaranya Hentikan dan Usut tuntas kekerasan terhadap Petani, Tegakan Reforma Agraria dengan penerapan UUPA, hentikan land grabbing, Kedaulatan pangan sama dengan Kesejahteraan Rakyat. (Fany)

http://www.pondokberhimpun.com/2015/09/peringati-hari-tani-nasional-hmi.html#.VgYRsgRoFVs.facebook

Quo Vadis Reforma Agraria?

Sinar Harapan, 26 September 2012 | Noer Fauzi Rachman*]
Pada perayaan Hari Tani 24 September 2012 kemarin, lebih dari sepuluh ribu petani dan aktivis berdemonstrasi, termasuk di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yang dihadapi oleh petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari itu, para demonstran menuntut BPN menjalankan reforma agraria sebagai jawaban atas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakin timpang saja. Menurut penulis, demonstrasi semacam ini akan terus menerus berlangsung karena tidak adanya penyelesaian yang adekuat, menyeluruh dan tuntas terhadap kasus-kasus konflik-konflik agraria yang bersifat struktural, kronis dan berdampak luas.
Artikel pendek ini hendak menunjukkan bahwa apa yang disebut Reforma Agraria telah diagendakan dan dijalankan oleh BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto (2005-2012), namun tidak memperoleh dukungan yang memadai dari kementerian lainnya, dan juga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Reforma Agraria” yang dirancang oleh BPN terdahulu mensyaratkan kerjasama lintas kementerian, setidaknya Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian. Namun, kerjasama ini tidak berjalan karena masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi adalah upaya Presiden SBY untuk mengkordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut.
Agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, di dalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, atau lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN memiliki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu. Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Kementerian Kehutanan mengenai agenda tersebut sama sekali tidak memadai. Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhi agenda ini, dan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 persen wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan Hutan Negara”.
Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani penerima tanah-tanah yang diredistribusi oleh BPN dengan segala fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “access reform” lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisien dan berkelanjutan, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security, mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan baru untuk produksi makanan dan energi, termasuk yang paling luas: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dijadi peraturan pemerintah hingga Joyo Winoto diganti oleh Hendarman Supandji.
Dengan keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto adalah suatu skema legalisasi hak atas tanah melalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah negara yang berada di bawah jurisdiksi BPN. Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009).
Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteria penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang tanah terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak berhasil menjadi PP.
Penulis kerap bertanya pada pejabat-pejabat di BPN mengenai mengapa RPP ini tidak kunjung dibahas di Rapat Kabinet dan disetujui? Dari waktu ke waktu saya mendapatkan jawaban bahwa dukungan politik atas Reforma Agraria kurang memadai, dan menggantungkan pada hubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Presiden pun tidak menggunakan kewenangannya untuk membuat RPP itu terwujud menjadi PP.
Quo vadis Reforma Agraria?
___
*] Noer Fauzi Rachman PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Penasehat pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata-Pemerintahan, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen luar biasa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sadis, Warga Selok Awar-Awar Tolak Tambang Dibunuh di Jalan Kondisi Tangan Diikat

Sabtu, 26 September 2015 - 12:35:24 WIB

Lumajang(lumajangsatu.com) - Peristiwa berdarah dalam polemik tambang pasir pantai selatan di Desa Selok Awar-Awar Kecamatan Pasirian, akhirnya terjadi, Kamis(26/9) pagi. Setelah, lama ada aksi pro-kontra warga setempat adanya tambang pasir, kejadian kekerasan dijadikan alat untuk sebuah memuaskan nafsu.

Informasi yang masuk diredaksi lumajangsatu.com, Dua warga tolak tambang jadi korban keganasan pro tambang di Desa Selok. Salim tewas mengenaskan dipinggir jalan dengan luka serius dibagian kepal dan sekujur tubuhnya.
Sebelum dibunuh, salim dijemput oleh gerombolan orang ke rumahnya. Kemudian, Salim tanganya diikat dan diarak dijalan, kemudian dibunuh dengan sadis.

Sedangkan satu lagi warga penolak tambang pasir dipesisir pantai selatan juga mengalami luka serius dihajar oleh orang tak dikenal sekitar 30 orang. "Beruntung pak tosan masih hidup, meski kondisinya kritis," ujar seorang warga.

Kini ratusan aparat kepolisian Polres Lumajang dikerahkan ke Desa Selok Awar-awar untuk melakukan pengamanan agar tidak terjadi konflik horizontal.(ls/red)


http://lumajangsatu.com/berita-sadis-warga-selok-awarawar-tolak-tambang-dibunuh-di-jalan-kondisi-tangan-diikat-.html

Minggu, 20 September 2015

Peta Konflik Ruang Hidup di Yogyakarta

September 20, 2015

Sumber data peta konflik ini diambil dari Forum Diskusi Darurat Agraria DIY (diprakarsai oleh beberapa komunitas warga terdampak sejak 30 Januari 2015, bertempat di KARSA) sebagai salah satu bentuk pemetaan terhadap Masalah Agraria Struktural (MAS) yang terjadi di DIY. Istilah MAS dipilih karena kepentingan masyarakat berlawanan dengan kepentingan kekuasaan pemerintah dan bukan pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. MAS yang terhimpun (belum seluruhnya) dikelompokkan sebagai 1) Megaproyek karena melibatkan modal besar, berdampak luas dan berkelanjutan, dan 
2) non-megraproyek karena melibatkan modal menengah hingga kecil, berdampak sempit dan cenderung tidak berkelanjutan. MAS yang bukan megaproyek dapat menjadi megaproyek jika berada dalam kesatuan wilayah sosial dan ekologis.




KETERANGAN

1. Nama proyek: Pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja (Megaproyek)
     Lokasi                 : Kulon Progo
     Luas/jumlah        : 22 km x 1,8 km, 3 Kecamatan (6 desa), ± 30.000 jiwa
     Waktu                 : 2006 - sekarang
     Aktor penyebab : PT JMI (Rajawali Grup), Pakualaman, Kabupaten, Presiden
     Akar rumput        : Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP)
         
Rencana pertambangan pasir besi dan pabrik baja merupakan salah satu proyek MP3EI yang berbiaya 600 juta dollar. Menurut Kontrak Karya PT JMI dan Presiden diwakili Menteri ESDM (2008) pendapatan negara bukan pajak dari megaproyek ini sebesar 3 % untuk RI dan 97 % untuk pemodal. Isu yang dimainkan pemerintah dan pemodal adalah : tanah yang ditetapkan sebagai konsesi tambang ialah PAG (Pakualaman Grond/tanah Pakualaman), PT JMI dimiliki oleh keluarga Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, dan peningkatan PAD. Dalam upayanya melegalkan proyek, pihak penambang melakukan berbagai langkah hukum dan politik, antara lain: intimidasi dan terror dengan perusakan rumah warga dan pembakaran posko (2008) dan ancaman pidana pada petani yang enggan menyerahkan tanah (2015), kriminalisasi terhadap petani (Tukijo divonis 3 tahun); AMDAL (2011); dan perumusan Rancangan UU Keistimewaan yang menjamin kepemilikan tanah Pakualaman. Proyek ini masih terhambat oleh pengadaan lahan karena lahan non milik yang ditetapkan sebagai konsesi belum disertifikatkan atas nama hak milik Pakualaman. 

   
2. Nama proyek: Pembangunan Bandara Internasional (Megaproyek)
     Lokasi  : Kulon Progo
     Luas/jumlah  : ± 11.000 jiwa, 6 desa
     Waktu : 2012- sekarang
     Aktor penyebab: Kadipaten(PA), Kabupaten, PT Angkasa Pura, PT GVK (India)
     Akar rumput : WahanaTri Tunggal, Forum Rembug Warga Transparansi (FRWT), Masyarakat Peduli Kulonprogo (MPK) 
          

Rencana pembangunan Bandara Internasional merupakan salah satu proyek MP3EI dengan nilai modal 500 juta dollar. Isu yang dimainkan pemerintah adalah peningkatan PAD; kebanggaan daerah; dan status tanah PAG. Saat ini rencana tersebut sedang memasuki konsultasi publik sebagai bagian dari studi kelayakan. Untuk menandingi penolakan warga, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain:membentuk kelompok akar rumput tandingan (MAP dan FRWT) yang mendorong kompromi sebagai bentuk resolusi konflik dan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan aksi protes (2015). Tahap terpenting dari proyek ini adalah pembebasan lahan atau pengadaan lahan yang akan dipermudah ketika sertifikasi tanah PA usai dilakukan.


3.      Nama proyek      : Penggusuran pemukiman warga
         Lokasi                 : Parangkusumo
         Luas/jumlah        :  ± 5000 jiwa
         Waktu                 : 2007- sekarang
         Aktor penyebab : Kasultanan, Kabupaten
         Akar rumput       : Aliansi Masyarakat Menolak Penggusuran (ARMP)
         
Penggusuran di sebagian kawasan Parangkusumo terjadi pada 2007 dengan isu pembersihan aktivitas prostitusi (Perda Kabupaten Bantul No 5 Tahun 2007), namun perluasan penggusuran terhenti karena perlawanan warga. Akar permasalahan terdapat di tingkat propinsi, namun konflik struktural dialihkan ke tingkat kabupaten karena ijin telah dilimpahkan. Saat ini warga yang bertahan masih dihantui ancaman penggusuran dengan alasan: tanah SG (Sultan Grond) dan proyek pariwisata mewah(Bali ke-2). Untuk menghindari eksekusi dengan isu prostitusi, warga merintis usaha lain yang tidak terkait dengan dunia hiburan, antara lain: pertanian dan tambak udang. Bentuk perlawanan yang dilakukan antara lain adalah: strategi kebudayaan (labuhan, ketoprak lesung, dan poster perjuangan), aksi massa, dan produksi kertas posisi/kronologi kasus oleh warga.    


4.      Nama proyek      : Perampasan hak tanah melalui pembatalan hak milik atas tanah
         Lokasi                 : Pundungsari, Kecamatan Semin, Gunungkidul
         Luas/jumlah        : ± 150 persil (sertifikat)
         Waktu                 : 2010
         Aktor penyebab : Kasultanan, BPN Kabupaten Gunungkidul
         Akar rumput       : masyarakat desa Pundungsari
         

Pada 2009-2010 BPN melakukan program PRONA secara nasional, tanah-tanah yang belum bersertifikat didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat Hak Milik. Di Pundungsari, ± 150 sertifikat hak milik yang sudah diterbitkan dibatalkan statusnya oleh BPN atas permintaan Kasultanan (melalui lembaga pertanahan kraton/Panitikismo) dengan alasan asal-usul tanah tersebut adalah tanah SG. Pembatalan tersebut sepihak karena tanpa melalui proses hukum: status Hak Milik dicoret dan ditulis ulang Hak Pakai. 

5. Nama proyek       : Penggusuran sekelompok warga    
    Lokasi                  : Suryowijayan    
    Luas/jumlah         : ±500 m2, 5 warga    
    Waktu                  : 2012    
    Aktor penyebab  : Kasultanan    
    Akar rumput        : Masyarakat Suryowijayan    
   
Bermodal surat ijin kraton (serat kekancingan) 5 warga Suryowijayan yang berprofesi sebagai pedagang kecil dan pengayuh becak menempati persil di tepi Jalan Suryowijayan No 20 Yogyakarta yang diklaim sebagai tanah SG sejak tahun 1970-an. Pada 2012 masa berlaku surat ijin habis, sehingga mereka mengajukan perpanjangan ke Panitikismo. Permohonan mereka ditolak dengan alasan lahan yang mereka tempati termasuk Region of Interest (ROI). Namun, seorang warga bermodal kuat diijinkan oleh Panitikismo untuk menempati lahan yang sama. Didampingi pengacara, kelima warga memohon kebijaksanaan kraton namun gagal. Mereka digugat oleh pemegang surat ijin dan dinyatakan kalah. Aksi menduduki halaman DPRD DIY tidak mendapat tanggapan. Mereka pulang dan mendapati pemukiman mereka telah digusur. Putusan MA memenangkan pihak pemegang surat ijin dari kraton. Saat ini kelima warga menderita stroke dan tinggal di rumah saudara masing-masing.    

6.  Nama proyek : Pembangunan Apartemen di kawasan padat penduduk        
      Lokasi: Jalan Kaliurang km 5        
      Luas/jumlah : 16.763m2 (luas bangunan apartemen), 1.660 m2 (luas lahan), kedalaman sumur 60m  (mata air konsumsi warga pada kedalaman 10 m)        
        Waktu : 2014-sekarang        
        Aktor penyebab  : Kabupaten, PT. Bukit Alam Permata        
        Akar rumput : Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU)        


Kasusini tampak ke permukaan sebagai permasalahan tata ruang kota, namun permasalahan laten yang mengancam adalah penguasaan ruang publik oleh pemodal, terutama bisnis properti. Apartemen berdiri di tas tanah eks hak milik warga. Keberadaannya dikhawatirkan mengganggu kehidupan sosial dan keberlanjutan ekologis warga di sekitar apartemen. Penolakan warga dilakukan dengan berbagai aksi hingga terjadi kriminalisasi terhadap warga dan pendukungnya akibat rusaknya banner iklan apartemen yang diklaim bernilai 100 juta rupiah pada saat aksi massa.


7.  Nama proyek : Perampasan hak tanah melalui perubahan status hak guna bangunan        Lokasi                  : Jalan Solo, Kotabaru, Malioboro       
     Luas/jumlah         : 2 sertifikat(yang diketahui karena kesediaan korban)       
     Waktu                  : 2014       
     Aktor penyebab  : Kasultanan, BPN Kabupaten/Kota       
     Akar rumput        : Masyarakat       


Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diterbitkan di atas tanah negara atau hak milik. HGB yang terbit karena konversi Hak Barat (Recht Van Opstal/RVO) diubah statusnya dari HGB di atas tanah negara menjadi di atas nama SG/PAG karena RVO diklaim berasal dari pemberian kraton. HGB yang diterbitkan dari SK Gubernur untuk seluruh tahun juga terkena kebijakan penghentian perpanjangan, pengalihan hak, dan peningkatan hak dengan dalih pelaksanaan UUK menurut Surat Gubernur No 593/4811 (12 Nopember 2012) dan No 593/0708 (15 Februari 2013). Akibat jangka pendek dari penghentian perpanjangan HGB ini adalah batalnya kekuatan hukum dari HGB yang dijadikan agunan bank, karena tidak dapat dijaminkan atau penjaminnya bukan Badan Hukum Kasultanan (swasta). Akibat jangka panjangnya, apabila HGB di atas tanah negara tidak dapat diperpanjang maka ijin usaha tidak diterbitkan. Bangunan di kawasan strategis di DIY mayoritas berstatus HGB.


8.   Nama proyek      : Revitalisasi kantor kepatihan yang berdampak penggusuran
      Lokasi                 : Suryatmajan
      Luas/jumlah        : belum diketahui
      Waktu                  : 2012-sekarang
      Aktor penyebab  : Pemerintah Propinsi
      Akar rumput        : Paguyuban Warga Suryatmajan

Penduduk di sepanjang Jalan Suryatmajan Yogyakarta di sisi utara jalan, meliputi 3 RT,  terancam penggusuran akibat revitalisasi kantor kepatihan. Revitalisasi yang dimaksud adalah pemindahan gerbang kantor dari menghadap Jalan Malioboro (menghadap ke barat) jadi menghadap ke Jalan Suryatmajan (menghadap ke selatan). Alasan revitalisasi adalah filososfi bahwa setiap bangunan harus menghadap keraton sebagai wujud pengabdian kepada Sultan. Akibat anjut dari revitalisasi ini adalah semua bangunan di Jalan Suryatmajan sisi utara harus dibersihkan agar kantor terlihat. Sebagian tanah berstatus HGB (60%) dan Hak Milik (40 %). Warga membentuk Paguyuban dan menempuh jalur hukum didampingi pengacara.


9. Nama proyek      : Diskriminasi rasial/etnis melalui Pelarangan Hak Milik atas tanah
    Lokasi                 : Seluruh DIY
    Luas/jumlah        : belum diketahui
    Waktu                  : 975-1984 dan 1998-sekarang
    Aktor penyebab  : Gubernur, BPN Kanwil
    Akar rumput        : masyarakat keturunan etnis India, Indoeropa, dan Tionghoa

Pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah No K 898/I/A/1975 berdampak pada diskriminasi dalam hal hak milik  tanah berdasarkan pertimbangan etnis/ras bukan kelas sosial. Akibatnya, setiap orang yang terbukti keturunan etnis tertentu tidak berkesempatan mempunyai hak milik atas tanah secara turun-temurun. Kebijakan ini hanya berlaku di DIY dan dikukuhkan dengan: Surat Pemda Propinsi DIY  No 593/00531/ROI/2012 (8 Mei 2012); Surat Gubernur No 430/3703 (15 Nopember 2010); Surat Plt Kepala Kanwil BPN DIY No 287/300-34/BPN/2010; Surat Kepala Kanwil BPN DIY No 640.05/24.99/BPN/2000 (26 Oktober 2000); dan Surat Kepala kantor BPN Kabupaten Bantul No 640/922/2000 (9 Nopember 2000). Terkait diskriminasi rasial/etnis ini telah terbit Surat Rekomendasi KOMNAS HAM No 037/R/Mediasi/ VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 yang isinya seruan kepada Gubernur untuk mencabut/menyatakan tidak berlaku lagi nstruksi Kepala Daerah 1975. Rekomendasi ini tidak ditanggapi oleh Gubernur.

10. Nama proyek : Perampasan hak tanah milik desa melalui pembalikan nama sertifikat tanah desa (Megaproyek)        
      Lokasi                 : DIY (keseluruhan)       
      Luas/jumlah        : (belum diketahui)       
      Waktu                 : 2014       
      Aktor penyebab : Gubernur       
      Akar rumput       : Masyarakat desa      

UU Desa mengamanatkan tanah desa disertifikatkan sebagai hak milik desa (badan hukum publik). Hal itu tidak terjadi di DIY karena Gubenur menerbitkan Pergub DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa yang mewajibkan pemerintah desa melalui bupati melakukan permohonan balik nama atas sertifikat tanah desa di wilayah masing-masing: dari milik desa menjadi milik Kasultanan/Kadipaten Pakualaman sebagai badan hukum warisan budaya (swasta), dengan alasan asal-usulnya adalah tanah SG/PAG. Akibatnya, kekayaan desa beralih menjadi milik swasta yang dilindungi Gubernur dan akan memengaruhi penataan ruang yang berdampak sosial ekologi secara luas.

http://www.koran-gerak.com/#!Peta-Konflik-Ruang-Hidup-di-Yogyakarta/cjds/5703468b0cf27bf9349b7cc0

Kamis, 17 September 2015

Tim Mediasi Konflik Urut Sewu Bukan Tim Independen

Foto DOK/EKSPRES KEBUMEN 

(kebumenekspres.com)-Guna menyelesaikan sengketa lahan di kawasan Urut sewu, Pemkab Kebumen membentuk tim mediasi. Namun, ternyata tim bentukan pemerintah daerah itu bukanlah tim independen.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kebumen, Yoyok Hadimulyo Anwar, yang juga anggota tim mediasi tersebut. Menurutnya, bukan tim independen karena dibentuk oleh pemerintah daerah dengan melibatkan praktisi hukum, dan ahli pertanahan.  "Tolong dijelaskan ke teman-teman media. Bahwa kami bukan tim independen," tegas Yoyok Hadimulyo Anwar, kepada Kebumen Ekspres, usai mengikuti acara penyerahan sertifikat tanah kepada 280 warga di Desa Argopeni dan Srati, Kecamatan Ayah, Kamis (17/9/2015).
Yoyok juga enggan berkomentar banyak terkait konflik agraria Urutsewu. Ia berdalih, sesuai kesepakatan yang boleh memberikan keterangan terkait kerja tim hanya ketua tim, yaitu Profesor Indra Bastian, dari Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. "Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab karena itu sudah dibentuk tim. Yang punya kapasitas untuk menjawab adalah ketua tim, yaitu Prof Indra," kilahnya.
Penjabat Bupati Kebumen M Arief Irwanto, menjelaskan tim yang dibentuk pada 14 September lalu merupakan tim ahli. Sejumlah ahli dilibatkan, khususnya ahli hukum dan dan pertanahan.  "Disana kan ada klaim-klaim atas tanah di Urutsewu. Tim ahli yang akan memberikan masukan seperti apa sih di lapangan itu. Tim ahli ini yang akan memetakan permasalahan. Klaim itu benar atau tidak," kata Pj Bupati.
Ia menambahkan, tim ahli dijadwalkan menjalankan misinya selama 40 hari bekerja sejak dibentuk 14 September lalu. Mereka akan melakukan verifikasi terhadap bukti surat yang disampaikan warga maupun Mabes TNI AD.
Selain tim ahli ini juga bukan lembaga arbitrase. Yakni keberadaan tim tidak punya kewenangan memutuskan pihak mana yang punya hak atas tanah sengketa tersebut. Tim ahli ini hanya memetakan permasalahan yang muncul dan mengambil kesimpulan verifikasi bukti surat.
Karena bukan lembaga arbitrase yang bisa mengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat, mereka tidak punya kewenangan untuk memutuskan pihak warga atau TNI yang berhak atas tanah seluas 1.150 hektar di Urutsewu.
Koordinator Urutsewu Bersatu (USB), Widodo Sunu Nugroho, meragukan independensi dan kredibilitas tim ahli bentuk Pemkab Kebumen.  Terlebih, undangan pembentukan tim ahli hanya tujuh kepala desa dari 15 desa pesisir Urutsewu. Hal ini terkesan bahwa seolah yang melawan klaim TNI dan menolak pemaksaan pemagaran yang dilakukan TNI hanya tujuh desa itu saja. Padahal khusus untuk pemaksaan pemagaran TNI yang dimulai 2013 itu telah sejak awal muncul penolakan petani dan warga lainnya.
"Disana ada TNI dan pemerintah, tetapi tak ada keikutsertaan petani pemilik tanah di dalamnya. Kepala desa tidak bisa mewakili pemilik lahan," tegas Sunu.

Sunu jiga menyoroti komposisi tim mediasi, yang tidak memberi ruang bagi petani untuk merekomendasikan kalangan akademisi tertentu yang integritas serta intelektualnya sepenuhnya dapat dipercaya.(ori)

http://www.kebumenekspres.com/2015/09/tim-mediasi-konflik-urut-sewu-bukan-tim.html

Giliran Ayamputih Tolak Pemagaran TNI AD

SUDARNOAHMAD/EKSPRES KEBUMEN 

(kebumenekspres.com)-Rencana pemagaran oleh TNI AD di kawasan selatan Kebumen (urut sewu) kembali mendapat penolakan dari warga. Setelah warga Desa Lambupurwo dan Wiromartan Mirit, giliran warga Desa Ayamputih Kecamatan Buluspesantren menyerukan penolakan.
Sebagai bentuk penolakan, warga memasang sejumlah tulisan berisi penolakan yang ditempel di pohon-pohon sepanjang jalan masuk ke lokasi pemagaran. Tulisan itu antara lain berbunyi, "Tolak Pemagaran Urut Sewu" dan Pokoke Ora Ulih Dipager. Puncaknya,  sekitar 50 warga menghadang anggota TNI yang mengirim material batu ke wilayah setempat pada Kamis siang (17/9/2015).
Adu mulut antara warga dan tentara pun terjadi. Muspika Kecamatan Buluspesantren termasuk di dalamnya Polsek setempat berusaha memediasi kedua belah pihak. Namun, tidak ada titik temu dan warga akhirnya membubarkan diri.
Bukannya menyerah, warga malah menggelar aksi unjuk rasa di Pendopo Bupati Kebumen pada sore harinya. Dengan mengendarai sepeda motor, warga gabungan dari Desa Ayamputih, Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, hingga Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit. Mereka ingin menemui Penjabat (Pj) Bupati M Arief Irwanto.
Karena tak kunjung ditemui Pj Bupati, mereka pun membacakan shalawat nabi dan beberapa kali surat al-fatikhah, yang dipimpin oleh ulama Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Imam Zuhdi. Sementara itu, Komandan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang TNI AD) Kusmayadi membenarkan, pihaknya bakal kembali melanjutkan pembangunan pagar TNI AD di kawasan pesisir wilayah Desa Ayamputih. "Rencananya akan dimulai besok (hari ini, Jumat 18/9)," katanya yang kemarin bersama anggota, Sopiin.
Menurut Kusmayadi, pembangunan pagar gelombang 1 telah diselesaikan. Kini memasuki gelombang kedua yang meliputi Desa Lembupurwo Kecamatan Mirit, Wiromartan (Mirit), Ayamputih (Buluspesantren) dan Entak Kecamatan Ambal. "Dari empat desa itu sudah  Lembupurwo Kecamatan Mirit, Wiromartan sudah diselesaikan. Tinggal Ayamputih (Buluspesantren) dan Entak Kecamatan Ambal. Di Ayamputih sepanjang 1500 meter," katanya.
Kusmayadi kembali menegaskan, dalam proses pemagaran, pihak TNI hanya menjalankan program negara. Pemagaran itu dilakukan di garis yang sudah ditentukan Badan Pertanahan Nasional, yakni 500 meter dari garis pantai. "Kalau di wilayah Ayamputih pagar dibangun tepat di atas tugu," katanya.
Tugu pembatas itu sendiri sudah dalam keadaan rusak dan roboh oleh pihak yang belum diketahui sampai saat ini. Selain mendistribusikan material, TNI kemarin sempat menegakkan kembali tugu yang sudah rusak itu. "Kita berjalan dan bekerja sesuai dengan perintah. Kali ini kita akan melakukan pemagaran mulai dari desa Ayam putih," tegasnya sembari mengatakan, pembangunan pagar akan dikawal anggota TNI. (mam/ori)

http://www.kebumenekspres.com/2015/09/giliran-ayamputih-tolak-pemagaran-tni-ad.html

Selasa, 15 September 2015

Widodo Sunu: Apapun yang Terjadi, Petani Urut Sewu Harus Bangkit Memperjuangkan Kebenaran

oleh Angga Yudhi · September 15, 2015

Sumber: dokumen pribadi

2013 akan selalu menjadi tahun yang diingat oleh petani Desa Wiromartan Kecamatan Mirit Kabapaten Kebumen. Untuk pertama kalinya, sejak sengketa tanah dengan TNI AD akhir 90-an pecah di Pesisir Urut Sewu, wilayah yang mencakup 3 kecamatan dan 15 desa di kabupaten yang sama, mereka berhasil memenangkan seorang lurah yang berpihak kepada petani. Kemenangan tersebut lebih dari sekedar kemenangan politik. Ia sekaligus kemenangan moril bagi petani yang  dua tahun sebelumnya diberondong tembakan oleh TNI  AD hanya karena menuntut hak atas tanah hingga mencederai beberapa orang.

Lurah tersebut adalah Widodo Sunu. Usianya baru 34 tahun waktu terpilih menjadi lurah. Ia pernah mengenyam pendidikan tinggi di Yogyakarta sampai kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman setelah muncul upaya penambangan pasir besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang sekitar tahun 2007. Saya bertemu Sunu, demikian ia biasa dipanggil, pertama kali pada pertengahan tahun 2013, tidak lama setelah ia terpilih sebagai kepala desa.
Sunu adalah satu dari tujuh lurah di wilayah Urut Sewu yang menjadi simbol perlawanan petani melawan TNI AD. Ia juga merupakan koordinator Urutsewu Bersatu, sebuah organisasi masyarakat yang berusaha menyatukan semua Urutsewu (terutama pesisir selatan Kebumen) dalam menghadapi persoalan konflik tanah dengan TNI. Posisi ini membuat dirinya senantiasa berada di garis depan dalam setiap aksi demonstrasi warga.

Sabtu 22 Agustus lalu konflik petani di desa Wiromartan melawan TNI AD kembali pecah.  Para petani melakukan demonstrasi menolak pemagaran yang dilakukan tentara di sepanjang pesisir Urut Sewu. Penolakan yang terjadi kesekian kalinya ini berawal dari klaim TNI AD atas tanah sepanjang 22,5 kilometer dari Kali Mawar hingga Kali Lok Ulo dan 500 meter dari bibir pantai. Beberapa perwakilan warga sempat berorasi, temasuk Widodo Sunu, kurang lebih setengah jam sebelum akhirnya dibubarkan paksa oleh tentara. Pembubaran diwarnai pemukulan oleh tentara hingga mencederai beberapa warga. Sunu menjadi salah satu korban yang mengalami luka berat.

Sehari pasca pemukulan, saya bersama Muhtar Habibi datang ke Urut Sewu untuk menyampaikan dukungan Islam Bergerak kepada para petani yang menjadi korban. Kami juga bermaksud mewawancarai Widodo Sunu. Sayangnya, kondisi fisik Sunu tidak memungkinkan. Ia masih mengalami trauma berat pasca pemukulan.

Kesempatan wawancara akhirnya datang pada 1 September ketika MAP UGM mengundang Lurah Wiromartan itu dalam rangkaian acara diskusi sekaligus dukungan kepada warga Urut Sewu. Saya mewawancarainya setelah acara. Kali ini ia dalam kondisi fisik dan mental yang jauh lebih baik dari delapan hari sebelumnya.

IB: Bagaimana kondisi Urutsewu saat ini?

Sunu: Sekarang pemagaran terus berlanjut

IB: Kondisi Mas Sunu sendiri?
Sunu: Kondisi saya sehat.

IB: Bisa ceritakan sedikit tentang pemukulan TNI terhadap Anda pada tanggal 22 lalu?

Saya tidak tahu berapa kali dipukul karena beruntun. Banyak pemukul dan banyak kali. Kalau lihat videonya kan kayak dikepung. Kepala bocor dan jari kelingking patah. Terus dioperasi dan dipasangi Pen. Butuh enam bulan untuk bisa diambil pen-nya lagi. Jadi untuk normalnya lagi ini enam bulan. Untuk kondisi teman-teman saat ini, yang jadi korban kemarin, yang kena pukulan di kepala masih merasakan pusing. Terus ada yang kena popor senjata, yang punggungnya retak, ia masih sakit. (Mereka) Belum bisa bekerja sampai sekarang.

IB: Ada tanggapan dari pihak militer setelah kejadian itu?

Sunu: Sampai saat ini tidak ada tanggapan dari pihak TNI baik atas pemukulan itu maupun konflik agrarianya. Jadi kemarin Danramil datang. Pas saya tanya program itu (pemagaran), programnya siapa dan dari mana, dia cuma bisa jawab, “dari atas”. Tapi dari divisi apa dan sebagainya, ia tidak bisa menjelaskan. Jadi sampai sekarang saya juga tidak tahu itu. Kita juga tidak ada yang tahu sebenarnya siapa itu (yang memiliki program). Edan ra? (Gila tidak?) Haha. Tidak boleh negara seperti itu. Program pemerintah harus bertanggungjawab dan jelas. Lah ini mengatasnamakan pemerintah tapi tidak jelas. Harusnya pemerintah memberi contoh tho. Program itu ya yang baik. Kita saja mau bangun apa-apa dituntut semuanya jelas. Kalau kita mau bangun gedung, kita dituntut untuk kejelasan status tanahnya. Tapi TNI membangun tidak ada kejelasan. Soal tanahnya itu belum jelas. Dokumennya tidak ada.

IB: Pesan Anda atas perlakuan TNI?

Saya pikir ini perlu ada perbaikan yang menyeluruh terhadap TNI. Lho, ternyata di Indonesia itu struktur militer itu khas, tidak lazim. Harus ada upaya untuk membenahi. Pembenahan supaya tidak ada lagi benturan. Saya pernah dengar, lupa di mana, TNI itu ibarat anjing penjaga. Tapi bukan berarti TNI anjing ya. Ibaratnya, serdadu itu seperti anjing penjaga. Dan mereka itu dididik destruktif, untuk merusak. Karena perang itu kan kegiatan merusak. Ora ono perang mbangun mejid, ora ono (tidak ada perang membangun masjid. tidak ada). Perang itu ya merusak. Didikannya didikan merusak, makanya mereka kalau ngomong aja keras. Kalau mbentak orang, enteng. Mbuh itu siapa, mbentak-mbentak sak geleme dewe (Tidak tahu itu siapa, membentak-bentak seenak sendiri). Dia cetakan pabriknya  untuk merusak. Maka menjadi sangat berbahaya ketika dia bersentuhan dengan masyarakat sipil. Diibaratkan anjing penjaga itu, dia kan dididik untuk galak menyerang. Maka dia harus dikerangkeng. Pada saat dibutuhkan dia dikeluarkan untuk menyerang. Tapi pada saat tidak diperlukan, ya masuk kandang. Perlu ada batas yang jelas antara wilayah sipil dan militer. Masak TNI sekarang ngurusi bangun TPQ, ngurusi pertanian, jadi pendamping pertanian. Kayak nggak ada orang lain aja. Jangan digabung-gabung seperti itu lah. Disendirikan saja. Spesialis perang. Mereka dibayar untuk itu. Nanti kalau sudah purnawirawan monggo berbaur lagi jadi masyarakat biasa. Jadi perlu ada penataan sistem yang serius di TNI supaya tidak terjadi kekerasan-kekerasan dan sebagainya. Karena faktanya ketika kondisinya seperti sekarang ini, TNI seolah-olah pihak yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun ketika berbuat salah. Ngono kui faktane, percoyo tho. Jadi ketika kita diserempet sama tentara, ya sudah jangan harap dapat keadilan.

IB: Kawan-kawan Urutsewu kan sudah mengupayakan banyak hal demi memperjuangkan tanah, dari mediasi di tingkat kabupaten hingga bertemu presiden Jokowi, apalagi yang kira-kira kawan-kawan akan lakukan?

Sunu: Prinsipnya kami sebagai warga Nahdhatul Ulama ini ya harus nahdhah. Harus bangkit. Apapun yang terjadi itu harus bangkit memperjuangkan kebenaran. Ndak penting kapan itu akan tercapai. Harus diperjuangkan. Dari perjuangan itu kita dapat banyak hal.

IB: Mengingat warga Urutsewu adalah mayoritas warga NU, apakah NU secara institusi pernah memberi tanggapan atau respon terhadap konflik di Urutsewu?

Sunu: Secara institusi tidak. Belum pernah ada itu dari NU secara institusi. Tapi NU kultural ada. Artinya warga NU, kyai NU itu mendukung gerakan kita. Tapi NU secara organisasi, samasekali tidak ada. tidak ada dukungan. Artinya apa? Kita punya kekuatan itu dari doa-doa yang kita panjatkan bersama para kyai itu. Itu yang esensi. Kalau perlu PBNU dibubarkan saja. Ora ono gunane kok, nggo ngopo sih. Jal saiki gunane opo PBNU? (tidak ada gunanya PBNU, buat apa sih. Coba sekarang gunanya PBNU apa?) Kan tidak ada. Jadi biarlah NU itu kultural saja lah. Tidak perlu bersaing dengan Muhammadiyah dan PKS. Ora perlu, kultural wae. Organisasi tanpa bentuk kok. Hahaha

IB: Ada rencana sowan ke PBNU terkait masalah di Urutsewu?

Sunu: Tidak! saya menantang PBNU untuk datang. Kita yang susah kok malah kita yang repot terus sih. Mbok mereka datang “ada masalah apa mas?” begitu. “Apa yang bisa kami bantu selaku PBNU yang terhormat”, kan begitu. Saya nggak mau minta tolong ke sana. Ngapain!?

IB: Di tengah tidak berfungsinya negara di Urutsewu khususnya, bagaimana tanggapan Anda sendiri sebagai kepala desa?

IB: Jadi paradigma yang kita bangun itu memperbaiki Mas. Sepertinya terlalu heroik memang. Rakyat kecil kok mencoba memperbaiki sistem negara yang sudah busuk. Tapi menurut kami itu yang harus dilakukan. Sekecil apapun, ketika kita melihat persoalan, ya kita coba untuk perbaiki. Artinya kalau kita lihat pemerintah ini tidak berfungsi, maka perjuangan kita bagaimana pemerintah ini berfungsi. Jadi ketika TNI melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat TNI itu sendiri, atau fungsi TNI, maka kewajiban kita mengingatkan supaya dia bisa lurus lagi. Jadi apa yang kita lakukan itu bukan benci TNI, tapi justru kita berusaha menyelamatkan TNI itu sendiri. Jangan sampai berlarut-larut. Semakin jahat, semakin jahat, nanti mau jadi apa?

IB: Ada rencana untuk konsolidasi politik, mencalonkan diri sebagai bupati misalnya?

Sunu: Sejauh ini belum ada agenda semacam itu. Dan itu menurut saya, kalau pertarungannya hanya perebutan kekuasaan di level daerah maupun pusat, itu terlalu sederhana. Sebenarnya yang kita perjuangkan itu semangat untuk membangun peradaban. Itu lebih besar dan lebih berharga menurut saya. Karena dalam prakteknya pun nanti akan berat, ketika memilih bupati yang pro rakyat misalnya, kalau terpilih pun tidak bisa berjalan sendiri. Tapi ketika kita membangun semangat membangun atau menata peradaban ini akan permanen. Siapapun bupatinya, siapa pun presidennya. Ya sistem itu berjalan. Agak abstrak memang. Jadi kita ndak sekedar berebut tanah, tapi ini semacam campaign untuk memperbaiki sesuatu. Karena dari persoalan Urutsewu ini semua dibedah, akan ketemu semua. segala macam persoalan negara Indonesia yang lagunya masih sama ini, Indonesia Raya itu, ketemu di situ. Unsur korupsinya ada. Unsur premanisme ada. Unsur politis ada. Ada semua di sana. Saya pikir juga di setiap tempat ada persoalan itu juga. Hanya mungkin beda level. Ada yang kecil ada yang besar, dan sebagainya. Mungkin ada persoalan yang jauh lebih gawat, memprihatinkan, mengerikan tetapi tidak bisa terekspos. Itu mungkin ada. Karena memang korban ini bener-bener tidak berdaya. Yang mengalami ini bener-bener dalam posisi terpuruk sehingga untuk bisa terekspos saja tidak punya akses. Beda dengan teman-teman Urutsewu ini yang punya kemampuan berjejaring sehingga yang terjadi di Urutsewu ini bisa terekspos. Artinya ketika kita mencoba membangun gerakan moral, “ini negara kita busuk loh” tetapi bukan untuk ditinggalkan, tetapi untuk diobati. Itu akan berdampak luas ke persoalan-persoalan yang selama ini tidak terekspos tapi sangat melukai rasa keadilan. Dengan begitu mungkin kita memiliki wakil-wakil yang pro rakyat, memiliki presiden yang pro rakyat, tanpa kita harus secara sempit memaknai gerakan ini untuk mendukung salah satu calon.

IB: Bukankah yang dilakukan oleh Urutsewu Bersatu dengan cara mengkonsolidasikan kawan-kawan Urutsewu agar mampu menampilkan sosok-sosok kepala desa yang pro rakyat ini mengimplikasikan sebuah gerakan politik yang sistematis?

Sunu: Betul. Tapi perlu disadari bahwa merebut kepala desa itu tidak sekedar satu langkah merebut itu saja. Tetapi juga dilandasi semangat membangun dan memperbaiki keadaan. Kalau tanpa itu juga tidak akan bunyi. Setelah jadi ya gembos. Gembos artinya ketika calon yang dianggap pro rakyat ini jadi, gerakan rakyat tidak muncul kalau tidak dari awal muncul semangat bersama untuk memperbaiki keadaan. Jadi jangan dibalik. Maksud saya. jangan yang sempit diperluas. Tapi dari menggalang solidaritas ini (lahir) pemimpin yang bagus, bukan sebaliknya, dapat pemimpin lalu berharap akan memobilisasi rakyat agar menjadi bagus. Jadi katakanlah, ayo kita bangun semangat untuk membangun negara ini, nanti kita otomatis dapat presiden yang bagus. Tapi dengan semangat mengusung ratu adil presiden yang diharapkan memperbaiki bangsa ini, itu bullshitNek perlu saiki ra ono presiden ra popo (kalau perlu saat ini tidak perlu ada presiden ya tidak apa-apa) hehe.. Kita itu sudah mentok kok mas.

IB: Bagaimana peran agama dalam perjuangan kawan-kawan di Urutsewu yang sering distigma sebagai gerakan PKI?

Sunu: Saya cerita sedikit. Saya pernah menantang salah seorang kyai atau ustadz atau gus gitu ya. Kalau memang agama tidak boleh untuk menjawab persoalan masyarakat Urutsewu, apa kira-kira kita lebih baik nglarung sesaji saja, minta tolong ke nyai Roro Kidul? Kalau memang agama tidak mau menolong. Karena ada kesan para kyai ini takut kalau kita menggunakan instrumen-instrumen keagamaan itu untuk melakukan perlawanan. Takut atau enggan begitu. Ada beberapa kyai yang modelnya seperti itu. Kalau memang instrumen agama tidak boleh dipakai untuk itu, ya jangan salahkan masyarakat nanti mintanya ke Nyai Roro Kidul saja, tidak ke agama. Artinya apa, agama harus jadi solusi. Dalam endapan pikiran saya, agama itu menjadi batas benar dan salah. Saya pernah dengar kalau kita menggunakan hukum selain hukum agama, kita berdosa. Kalau ndak salah kita dikatakan celaka atau malah justru dilaknat. Aku iki wong pemerintahan lho mas. Nah, selama hukum pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum agama, maka boleh. Tapi kalau hukum pemerintahan itu bertentangan dengan hukum agama, kita tidak boleh melaksanakan. Agama itu di situ. Bahwa persoalan di Urutsewu itu, katakanlah, tanah. Itu ada hukumnya mas. Ada kitabnya yang mengatur tentang itu. Kami juga pelajari itu. Kalau ndak salah itu kitab Babul-Mawad, mengatur soal tanah-tanah yang tidur. Tanah yang tidak ada yang punya, misalnya, itu diatur di situ. Kemudian, gampang sekali sebenarnya kalau kita berbicara hukum agama. Bahwa kita membela kebenaran itu kan sudah jelas. Nah itu yang menguatkan. Selama kita yakin bahwa ini benar, ya kita perjuangkan. Ketika kita mempertimbangkan soal agama itu kita tidak punya rasa takut lagi. Karena dijamin nanti kalau mati, ya mati syahid, kalau membela kebenaran. Ketika kita analisis, ternyata TNI ini salah, ya kita bergeraknya mantep. Kita punya agama, punya pegangan. Di situ peran agama, menurut saya. Ojo mung ngurusi qunut ra qunut wae (jangan cuma ngurusi qunut atau tidak saja). Jadi seseorang itu harus merasa bertanggungjawab ketika melihat ada persoalan. Dia harus tergerak hatinya ketika ada ketidakadilan di depan matanya. Walaupun dirinya sendiri tidak punya resiko apapun, tapi harus ikut berpartisipasi walaupun kecil. Wong Islam kui kondange amar makruf nahi mungkar kok (orang Islam itu terkenalnya karena amar makruf nahi munkar) Kalau itu tidak muncul ya habislah kita. Ngelarung saja, hahaha. Keberanian itu tidak datang dengan sendirinya.Itu harus diperjuangkan. Kalau bicara NU saya yakin bisa. Kekuatan dari pondok itu bisa.

IB: Menurut mas Sunu, kenapa ada kalangan kyai yang melarang menggunakan jargon agama dalam perjuangan kawan-kawan Urutsewu?

Sunu: Saya ndak tahu ya. Mungkin takut diintimidasi. Bisa jadi takut salah. Tapi takut salah ini menjadi tidak beralasan juga. Karena kalau takut salah, kamu harus belajar dan tentukan sikap. Tapi kalau tidak mempelajari, ya salah. Mencari ilmu itu kan wajib hukumnya toh. Jadi harus dicari, dan itu ada.

IB: Bagaimana dampak dari konflik yang terjadi di Urutsewu terhadap kesadaran politik warga?

Sunu: Saya kira ada. Kalau saya punya keyakinan bahwa setiap ujian dan masalah itu akan mengangkat derajat kita. Ibarat ujian itu akan naik kelas. Dan itu masuk akal. Setiap orang berilmu itu kan akan ditingkatkan derajatnya tho. Janji Tuhan kan seperti itu. Jadi ketika kita dapat masalah itu kita dapat ilmu, sehingga otomatis derajat kita akan meningkat. Hanya kesannya yang kadang salah, seolah-olah ketika kita dapat ujian itu kita harus bersabar. Seolah hanya menerima dan pasrah. Itu yang menurut saya salah. Karena pengejawantahan sabar ketika dapat masalah itu ya melawan. Ketika kita ditindas maka kesabaran kita adalah dengan melawan. Bukan dengan menyerah. Kalau menyerah itu tidak sabar namanya, tapi putus asa. Dan putus asa itu dosa besar yang merusak iman, hehehe. Itu yang harus disadari oleh para kyai, hahaha. Saya berharap semua elemen itu melawan keadaan ini. Semua elemen itu harus sadar bahwa kita dalam masalah besar. Iku seng angel mas (Itu yang sulit, mas). Kyai-kyai itu harus sadar, kalau bicara NU ya, sekarang ini jangan tenang-tenang. Kita itu dalam masalah. Lah kalau kamu tidak meresakan bermasalah, berarti kamu yang bermasalah. Ada yang salah dengan dirimu. Masak di depan mata kok dibilang ndak ada masalah. Itu kan berarti picek matane (buta matanya). Bermata tapi tak melihat. Kalau anak muda NU itu ya harus nahdhah, harus bangkit dan bergerak. Karena peluangnya ada di situ saya kira. Dan gejalanya nampak di Urutsewu. Walaupun aku urung iso nggambarno yo.

http://islambergerak.com/2015/09/widodo-sunu-apapun-yang-terjadi-petani-urut-sewu-harus-bangkit-memperjuangkan-kebenaran/