This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 23 Oktober 2014

Warga WTT Berencana Tak Ikuti Konsultasi Publik

Rencana Pembangunan Bandara

23 Oktober 2014 4:45 WIB

Foto: Istimewa

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Warga calon lokasi pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, Kulonprogo, yang tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) berencana tidak akan mengikuti tahap konsultasi publik. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pembangunan megaproyek tersebut.
Ketua WTT, Purwinto mengatakan, proses pendataan yang sedang berlangsung saat ini oleh tim persiapan pembangunan bandara merupakan proses yang tidak masuk akal.

Menurutnya, data tersebut sebenarnya sudah ada di BPN. Namun dalam data itu tidak akurat karena yang tercatat sebagian besar merupakan orang yang sudah meninggal.
“Jadi pendataan kali ini supaya dukuh mencocokkan, itu kan tidak masuk akal. Kalau dengan logika, warga yang akan kena akibat itu yang ditanya, punya tanah berapa macam, seperti sawah, ladang, atau pekarangan, sehingga jelas. Kalau data seperti itu (banyak yang sudah meninggal) yang sebagai acuan, jelas tidak masuk akal,” katanya, Rabu (22/10).

Dengan kondisi seperti itu, lanjut Purwinto, pendataan yang dilakukan hanya akal-akalan saja. WTT juga berencana tidak akan ikut dalam tahap konsultasi publik. Sebab saat pelaksanaan sosialisasi beberapa waktu lalu saja warga WTT diadang sehingga tidak bisa mengikuti sosialisasi.

“WTT tidak akan ikut itu, karena itu suatu akal-akalan saja. Prosedur urutan sosialisasi kalau terus dilanjutkan terhadap warga WTT itu suatu perlakuan yang tidak masuk akal. Sosialisasi saja tidak ikut kok mau dilanjut terus untuk mengikuti itu, kan nggak bener. Harapannya yang penting, kita tetap menolak (bandara), itu saja.,” imbuhnya.

Terpisah, Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo mengatakan, pendataan jangan dianggp sebagai sesuatu yang ketika didata artinya boleh atau setuju pembangunan bandara. Meskipun ada yang setuju dan belum setuju, pendataan merupakan hal yang penting karena menjadi jelas tanah milik siapa dan luasannya berapa. Apalagi pendataan melibatkan BPN sehingga bisa diklarifikasi bila ada data tanah yang tidak jelas.

“Pendataan ini manfaatnya besar, sehingga ikutilah pendataan ini dengan sebaik-baiknya, jangan dihubungkan dengan setuju tidak setuju bandara,” katanya.

Menurut Bupati Hasto, jika kebetulan ada tanah yang sudah dijual tapi sertifikatnya belum dipisahkan karena baru akte jual beli tanah saja, maka dengan pendataan ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengurus secara administratif. Karena bila diurus sendiri biayanya justru tidak sedikit.

“Sehingga pendataan ada manfaatnya, tidak saja saat penggantian harga tanah maupun karang kitri untuk kepentingan bandara, tapi juga untuk kepentingan secara admnstrtif warga itu sendiri,” tuturnya.

Terkait kemungkinan munculnya konflik di masyarakat saat tahap konsultasi public, Hasto mengatakan,  pihaknya telah menyiapkan upaya antisipasi. Tim tidak perlu memperkeruh suasana dengan blusukan ke desa-desa karena semua bisa dilakukan tanpa memancing suasana panas di lapangan.

“Saya sudah sampaikan pada tim, bahasa saya minimal handling minimal touch, sesedikit mungkin menyentuh. Contohnya saat pendataan tidak mengumpulkan warga dengan membawa KTP dan fotokopi sertifikat tanah, tapi pendataan di kecamatan (dengan perangkat desa). Sehingga perangkat desa dan warga kita lindungi, kita hindari jangan sampai terjadi konflik,” imbuhnya.

(Panuju Triangga/CN39/SM Network)
http://berita.suaramerdeka.com/warga-wtt-berencana-tak-ikuti-konsultasi-publik/

 

Selasa, 21 Oktober 2014

Pekan Depan, Pendataan Awal Bandara Difinalisasi

21 Oktober 2014 17:30 WIB

PASANG PATOK: Petugas tim persiapan pembangunan bandara melakukan penentuan titik hubung koordinat lokasi bandara dengan pemasangan patok. (suaramerdeka.com/Panuju Triangga)

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Pendataan awal tanah dan warga terdampak pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, Kulonprogo, rencananya akan dilakukan finalisasi pada Senin (27/10) pekan depan. Tahap selanjutnya akan dilakukan konsultasi publik pada bulan November.

Koordinator pendataan awal yang juga Kabag Pertanahan Biro Tata Pemerintahan Pemda DIY, Ismintarti mengatakan, saat ini pendataan masih berlangsung untuk menyelesaikan dua desa yakni Glagah dan Palihan. Adapun untuk Desa Kebonrejo, Jangkaran, dan Sindutan, pendataan sudah selesai.

“Diperkirakan selesai semuanya Jumat (24/10). Kendalanya karena untuk pendataan tanah memang harus dilihat satu per satu, seperti dilihat dari buku tanah dan Letter C-nya satu per satu dengan jumlah pemilik tanah ribuan. Yang paling banyak memang Glagah dan Palihan,” katanya, Selasa (21/10).

Terpisah, Anggota Tim Persiapan Pembangunan Bandara Baru (P2B2) PT Angkasa Pura (AP) I, Eko Bambang mengatakan, pemasangan patok untuk mengetahui batas garis terluar setelah adanya pengurangan lahan bandara telah selesai dilakukan Selasa (21/10).
“Sudah selesai hari ini (pemasangan patok, red), kemudian akan diselesaikan pendataan sebelum pelaksanaan konsultasi publik,” katanya.

(Panuju Triangga/CN38/SM Network)
 http://berita.suaramerdeka.com/pekan-depan-pendataan-awal-bandara-difinalisasi/

Jumat, 17 Oktober 2014

Opini Kompas: Kelembagaan Baru Reforma Agraria

Oct 17, 2014


Opini Kompas: Kelembagaan Baru Reforma Agraria
Harian Kompas 16 Okt 2014: DALAM buku Age of Extremes, The Short Twentieth Century, 1914–1991, sejarawan Eric Hobsbawm (1994) menulis bahwa “perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”.

Petani adalah kelompok rakyat di pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil hutan/laut, penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah keluarga.


Namun, modernisasi yang diawali dengan munculnya kompleks-kompleks industri telah merelokasi para petani menjadi pekerja industri seiring dengan konversi lahan pertanian, yang selanjutnya memerosotkan tingkat kesejahteraan petani.

Deklarasi “kematian petani” Hobsbawm di atas menjadi rujukan utama pelajaran perubahan agraria untuk menunjukkan nasib petani di tengah berbagai arus yang menghilangkan syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka di perdesaan.

Indikator makro “kematian petani” adalah urbanisasi dengan sisi lain berupa menurunnya jumlah penduduk perdesaan. Sekarang tercatat ada 1,2 miliar petani; berarti tinggal 40 persen dari umat manusia yang memiliki rumah tangga pertanian rakyat (small-farm household).
Penduduk di perdesaan menjadi minoritas (Philip McMichael 2012 

“Depeasantization” dalam The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization).
Dalam peta teori perubahan agraria, deklarasi itu adalah bagian dari “tesis pemusnahan” (disappearances thesis). Di perdesaan, para petani berubah menjadi pekerja tanpa tanah, menjadi bagian dari tenaga kerja atau setengah pengangguran di kota, sementara desa dan tanah dikuasai pengusaha. Tesis itu dihadapkan dengan “tesis permanen” (permanence thesis), yang meyakini bahwa hukum-hukum masyarakat petani berbeda dengan badan-badan usaha kapitalis sebagaimana Karl Marx dalam Das Kapital (1867). Menurut Marx, sistem ekonomi yang didominasi cara produksi kapitalis akan memusnahkan cara produksi pertanian rakyat dan kepemilikan tanah rumah tangga petani. 

Namun, pada tahap tertentu cara produksi pertanian rakyat akan secara struktural dilestarikan sebagai tempat orang miskin (Global Depeasantization 1945-1990, Farshad Araghi 1995).

Bagaimana di Indonesia?

Kecenderungan sama. Apa yang disebut depeasantization juga melanda perdesaan kita. Tahun 2013, Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan lahan 0,36 hektar. Ada 6,1 juta RTP di Pulau Jawa tidak memiliki lahan pertanian dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Secara agregat, saat ini 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani.

Laju penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau 129.000 ha/tahun. Setiap hari, lebih dari 353 ha lahan pertanian berubah menjadi non-pertanian (14,7 ha per jam, 0,25 ha per menit). Setiap hari, 1.408 rumah tangga (59 rumah tangga tani per jam, atau 1 menit 1 rumah tangga tani) terpaksa meninggalkan posisi kelas dan pekerjaannya.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga tani di Indonesia mencapai 26,13 juta, berarti selama sepuluh tahun terjadi penurunan 5,07 juta rumah tangga pertanian, dibanding hasil Sensus Pertanian 2003. Luas lahan pertanian keluarga semakin sempit dan arus alih profesi/migrasi petani ke sektor lain makin besar. Pada 2003-2013 terjadi penurunan 5,04 juta petani dengan lahan di bawah 0,1 ha.

Total luas lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5 persen menjadi 4,9 persen. Jumlah petani kecil dengan luasan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan petani tak bertanah 56 persen (Indonesia) dan 78 persen (Jawa). Tidak heran, petani merupakan kelompok dengan pendapatan terendah di Indonesia, rata-rata Rp 1,03 juta/bulan (BPS 2014).

Muncullah Reforma Agraria, dengan contoh klasik Meksiko yang merdeka tahun 1910. Protes agraria dan pemberontakan petani merupakan pemicu revolusi nasional untuk kemerdekaan Meksiko. Dua periode, 1910-1934 dan 1934-1940, dicatat sebagai periode land reform yang menghabisi penguasaan elite kolonial atas tanah dalam bentuk perkebunan keluarga (hacienda).

Pertama adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Álvaro Obregón Salido (1910-1934), yang berhasil meredistribusi lebih dari 53.000 km2 untuk 500.000 keluarga penerima di 1.500-an kelompok penerima tanah ejido. Tahun 1930 tanah-tanah ejido 6,3 persen dari kepemilikan nasional.

Selanjutnya, kedua, adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Lázaro Cárdenas del Río (1934-1940), yang berhasil meredistribusi 180.000 km2 (16.000 km2 berasal dari sitaan tanah pertanian dan perkebunan milik orang Amerika) untuk lebih dari 12.000 kelompok penerima. Produktivitas petani (1939-1941) melonjak tajam, paling tinggi setelah revolusi 1910.

Berdasarkan pengalaman Meksiko dan sejumlah negara pasca kolonial lain, reforma agraria bagaikan “operasi bedah yang menghilangkan sel tumor parasit” dengan cara memberi rakyat kepastian hak atas tanah, perbaikan tata guna tanah, dan untuk memacu gairah produksi yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran rakyat.

Reforma agraria bukan hanya land reform yang dimulai dengan redistribusi tanah. Secara teori, dalam buku Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Michael Lipton (2009:328) merumuskan land reform sebagai “perundang-undangan yang diniatkan dan benar-benar dijalankan untuk meredistribusi kepemilikan dan dijalankan untuk memberi manfaat kepada kaum miskin.

Reforma agraria Indonesia
 
Batu ujian pertama adalah mengurus konflik agraria struktural yang kronis di seantero Nusantara, umumnya disebabkan oleh keputusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi (izin HPH/HPHTI, HGU, kontrak karya pertambangan, dan lainnya), serta menjadi alas hukum perusahaan pemegang lisensi untuk menyingkirkan rakyat dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya.


Lebih dari itu, secara makro, reforma agraria dikerangkakan untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi. Indeks gini yang merupakan alat ukur kesenjangan pendapatan meningkat tajam hanya dalam 5 tahun: dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Jika indeks gini sudah mencapai 4,5, rakyat miskin akan sangat rentan dan mudah sekali tersulut.

Idealnya reforma agraria merupakan operasi yang digerakkan oleh pemerintah (melalui legislasi, birokrasi, program aksi) untuk menjalankan Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Apakah artinya dalam konteks sekarang? Reforma agraria merupakan janji 
Jokowi-JK, sebagaimana termuat dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi Jokowi-JK. Penanda atas komitmen itu perlu tecermin dalam arsitektur kabinet Jokowi-JK, yang dapat berbentuk badan khusus di bawah presiden untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria, selain kementerian khusus untuk reforma agraria.

Siapa pun yang menduduki jabatan tinggi dalam kelembagaan ini perlu mempelajari eksistensi dari gagasan dan praktik Reforma Agraria melalui gerakan sosial yang sejak 1995 disemai dan dikawal Konsorsium Pembaruan Agraria.

Awal Oktober 2014, koalisi dari 37 organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan Konferensi Nasional Reforma Agraria yang menghasilkan “Buku Putih Reforma Agraria”, yang dipertimbangkan secara serius.

Sebagai penanda baru, Jokowi-JK perlu mendeklarasikan bahwa kabinetnya akan sepenuhnya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam TAP MPR ini disediakan “arah kebijakan” Pembaruan Agraria, yang pada intinya adalah identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menjalankan redistribusi tanah (land reform) dengan memprioritaskan kepemilikan untuk petani miskin, menyelesaikan konflik-konflik agraria, serta menyiapkan pembiayaan dan kelembagaan yang memadai.

Tiga masalah kronis yang harus diselesaikan di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, serta konflik-konflik agraria yang kronis dan meluas.
Noer Fauzi Rachman Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia; Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Program S-2 Sosiologi Pedesaan, IPB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009379261


http://www.kpa.or.id/?p=4753

Kamis, 16 Oktober 2014

Penuhi Panggilan, Sarijo Didampingi Ratusan Warga WTT

16 Oktober 2014 20:25 WIB 

DIPERIKSA: Ratusan warga WTT yang mendampingi Sarijo diperiksa petugas sebelum masuk ke Polres Kulonprogo, Kamis (16/10). (suaramerdeka.com/Panuju Triangga)

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Tokoh paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT), Sarijo, memenuhi panggilan Polres Kulonprogo, Kamis (16/10), untuk dimintai keterangan terkait kejadian penyegelan Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon. Kedatangan Sarijo didampingi ratusan warga WTT yang merupakan warga penolak bandara.

Sarijo yang juga penasehat WTT menjalani pemeriksaan sekitar dua jam di salah satu ruang unit Reskrim Polres Kulonprogo. Dia didampingi penasehat hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (LBH Kahmi) saat memberikan keterangan kepada polisi. “Pertanyaannya kurang lebih meliputi pada saat itu terjadinya pengerahan massa, kemudian konsentrasi massa, orasi-orasi dan berakhir dengan penyegelan kantor kepala desa,” kata penasehat hukum Sarijo, Kokok Sudan Sugiharto, Kamis (16/10).

Menurut Kokok, Sarijo memang mengakui melakukan orasi saat itu tetapi menyangkal melakukan penghasutan. Dalam kasus ini, ke depan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Sarijo dan akan menjalani sesuai koridor hukum.

Kasat Reskrim Polres Kulonprogo, AKP Ricky Boy Sialagan mengatakan, Sarijo dimintai keterangan dengan status sebagai saksi terkait laporan kejadian penyegelan di Balai Desa Glagah beberapa waktu lalu. Ada sekitar 22 pertanyaan, antara lain mengenai kronologi kejadian penyegelan.
“Untuk peningkatan status tersangka nanti setelah semua saksi kita periksa, kemudian kita gelar (perkara) baru kita tetapkan sebagai tersangka. Pasal yang diterapkan juga akan ditentukan lebih tepat lagi melalui gelar setelah semua fakta dan keterangan kita peroleh,” katanya.
(Panuju Triangga/CN38/SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/penuhi-panggilan-sarijo-didampingi-ratusan-warga-wtt/

Selasa, 14 Oktober 2014

Ijin Pertambangan Ditengarai Ancam Pembangunan Lingkungan

14 Oktober 2014 21:15 WIB

foto : ISTIMEWA

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com – Perijinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah di Indonesia, Vietnam dan Filipina ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan. Pasalnya, tata kelola industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.

Dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumberdaya alam. Bahkan posisi Indonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13. Adapun Vietnam dan Filipina masuk di peringkat 43 dan 23.

Beberapa daerah di Indonesia, diketahui memiliki sumberdaya alam berlimpah. Namun karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk menjadikan warga sekitar yang idealnya, mendapat limpahan dari keberkahan itu, tidak mendapatkan dampak ekonomi bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.

Rektor UGM Prof Dr Pratikno MSocSc mengatakan, bahwa dampak yang kerap ditimbulkan dari kegiatan pertambangan umumnya marjinalisasi masyarakat adat, konflik horizontal dan kerusakan lingkungan. “Yang paling banyak merasakan dampak dari ketiganya adalah masyarakat lokal,”katanya.  Dia memaparkan di sela-sela pertemuan Forum Pemimpin Lokal Asia Tenggara yang diselenggarakan Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM di Hotel Phoenix.

Menurutnya, bahwa daerah yang memiliki sumberdaya alam mampu mendorong pertumbuhan industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar serta memberi peluang bagi masuknya teknologi maju. Sangat disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif itu hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal. “Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat,” katanya.

Dia berpendapat, bahwa pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar. Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
“Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya, butuh inovasi dan kreativitas,” ujarnya.

Guru besar Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM Prof Dr Purwo Santoso mengatakan, bahwa desentralisasi membawa peran yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan di bawah kewenangannya termasuk di sektor ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan. Menjelang diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pemerintah dan tokoh lokal mau tidak mau harus berwawasan keluar karena pemimpin lokal menjadi pelaku penting dalam memberikan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya.

Bupati Kolaka Sulawesi Tenggara Ahmad Safei mengatakan, bahwa daerahnya merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi kandungan bahan tambang seperti bauksit dan nikel yang kini dikeloa PT Vale Indonesia dan PT Antam. Namun begitu, pemerintah daerah hanya kebagian dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan tambang tersebut, sementara untuk royalti diurus oleh pemerintah pusat.

“UU Minerba tidak menyinggung dana untuk daerah, yang ada perusahaan tambang membayar royalti kepada negara,” ujarnya.

Menurutnya, perusahaan tambang idealnya menyediakan dana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar tidak hanya dalam bentuk program CSR yang dananya dipastikan tidak signifikan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.


Gubernur Compostela Valley Filipina Augusto Blanco menyatakan, konstitusi Filipina telah mengakui, menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat, yang akhirnya dituangkan dalam Indigenous Poeples Right Act (IPRA), Republic Act No 8371. 

Kelanjutan dari UU tersebut dengan didirikan Komisi Nasional Masyarakat Adat (National Commision on Indogenous Peoples-NCIP). Dari konstitusi itu, tidak boleh ada tanah leluhur yang dibuka untuk kegiatan pertambangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat. “Pembayaran royalti atas pemanfaatan sumberdaya alam juga harus disepakati dengan masyarakat adat sebagai bagian dari dana untuk kegiatan sosial ekonomi kesejahteraan masyarakat adat,”tambahnya.

(Bambang Unjianto/CN40/SM Network)


Sumber http://berita.suaramerdeka.com/ijin-pertambangan-ditengarai-ancam-pembangunan-lingkungan/

Senin, 06 Oktober 2014

Mencari Solusi Kedaulatan Pangan di Rembug Kendeng

|

Gunretno menyampaikan sambutan pembuka dalam pelaksanaan Rembug Kendeng untuk Indonesia di Omah Sonokeling, Pati, Jawa Tengah. [Foto : Tommy Apriando]

Waktu menunjukkan pukul  09.30 WIB, ketika Gunretno berdiri di depan Omah Sonokeling untuk menyambut tamu-tamu penting. Omah — yang berarti rumah dalam bahasa jawa—itu memang dibangun dari kayu pohon Sonokeling.

Dengan mengenakan “ikat jawa” warna biru, berbaju hitam lengan pendek dan bercelana hitam setinggi betis kaki itu, ia memberikan senyum, menyapa dan bersalaman menyambut setiap tamu yang datang.

Tamu datang dari berbagai instansi dan kalangan. Akedemisi, instansi pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng Utara dan lainnya.

Ya, pada hari itu, Jumat (03/10/2014), Gunretno sebagai Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) membuat acara “Rembug Kendeng Untuk Indonesia” dengan tema “Menjaga Kedaulatan Pangan Nusantara” di Omah Sonokeling di Desa Gadudero, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

“Berbagai kalangan dihadirkan agar memberikan masukan bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan dan menjaga Pegunungan Kendeng dari ancaman pembangunan pabrik semen,” kata Gunretno.

Ia mengatakan Jawa adalah pulau terpadat penduduknya, tetapi pemerintah masih ketinggalan dalam merintis luasan lahan untuk pangan. Lahan pertanian terus menyempit oleh industri, namun tidak pernah ada inisiatif untuk membuatnya semakin meluas.

“Persoalan kedaulatan pangan ibarat lapar dan kenyang. Jika kebutuhan pangan cukup maka tidak akan ada kelaparan dan masyarakat selalu kenyang, dan sebaliknya,” ujar Gunretno.

Sedangkan Kepala Bidang Ketersediaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), Sadi, yang hadir di Rembug Kendeng mengatakan Indonesia harus berdaulat di bidang pangan, akan tetapi masih impor pangan terutama kedelai. “Kita masih usaha untuk menuju ketahanan pangan,” katanya.

Perlu tiga hal untuk mengukur ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, distribusi pangan dan keamanan. Sadi mengatakan pihaknya sedang mengembangkan pemanfaatan pekarangan rumah tangga untuk ketahanan pangan, baik di desa dan perkotaan, untuk tanaman sayur, buah, umbi-umbian dan lainnya. “Harapannya setiap Desa semakin maju, mencukupi kebutuhan pangan di desanya dan tidak ada lagi impor pangan,” katanya.

Dalam Perda Jateng No. 6/2010 tetang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jateng tahun 2009-2029, menetapkan luas lahan pertanian dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan pertanian lahan basah seluas 990.652 hektar, (2) kawasan pertanian lahan kering esluas 955.587 hektar, dan (3) lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas 1.022.571,86 hektar.

Pertanian dan Pertambangan Semen

Pada awal Rembug Kendeng, Gunretno mengatakan masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng hidup berkecukupan dengan bertani. Akan tetapi pembangunan pabrik semen seperti yang terjadi di Blora, Rembang dan Sukolilo, Pati mengancam lahan pertanian dan ruang hidup masyarakat sekitar.

Dia menjelaskan adanya Peraturan Menteri ESDM No.2641 K /40/MEM/2014, tanggal 16 Mei 2014 tentang Bentang Alam Karst Sukolilo seluas menjadi 71,80 kilometer persegi, yang secara tidak langsung menetapkan lokasi pembangunan pabrik semen di Pati.  Karena pada Kepmen ESDM No. 0398/K/40/MEM/2005 luas kawasan karst Sukolilo seluas 118,02 kilometer persegi.

“Ada selisih 46,22 kilometer persegi. Entah kebetulan atau tidak, lokasi pendirian pabrik Semen ada pada lokasi yang selisih atau berkurang itu,” ujar Gunretno.

Goa di Kawasan Pegunugan Kendeng Utara di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando
Goa di Kawasan Pegunugan Kendeng Utara di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. 
Foto : Tommy Apriando

Padahal melalui surat tertanggal 3 September 2014, JPMMK memberikan masukan kepada tim penyusun AMDAL, yaitu  PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) tentang penolakan pendirian pabrik semen dari warga sekitar.

Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemprov Jateng, Agus Sriyanto mengatakan prinsip pembangunan harus ada keseimbangan, baik keseimbangan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial, yang menjadi dasar dikeluarkannya suatu kebijakan.
“Hadirnya pabrik semen penting untuk keseimbangan ekonomi. Namun keseimbangan lingkungan juga sangat penting untuk dipertimbangkan,” kata Agus.
Ia mengatakan pendirian pabrik semen seharusnya sudah memperhitungkan dampak lingkungan termasuk teknologi secara biologi, kimia dan fisika untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
“Terkait masalah sosial maka diperlukan hati nurani dengan mengedepankan kearifan lokal di masyarakat,” tambahnya.
Sedangkan Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa Kementerian Lingkungan Hidup, Sugeng Priyanto mengatakan bagaimana pembangunan industri harus meminimalisir dampak lingkungan dan masyarakat harus dilibatkan untuk mengetahui dampak positif dan negatifnya.

“Kebijakan yang dikeluarkan harus mengedepankan kepentingan rakyat. Tidak semata kebijakan keluar karena adanya normatif hukum yang memperbolehkannya, namun kepentingan dan kesejahteraan masyarakat harus diutamakan,” kata Sugeng.

Sementara Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemprov Jateng, Teguh Dwi Paryono mengatakan ada payung hukum dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.  Sedangkan tata ruang merupakan kebijakan “top down”, sehingga pihaknya mempertanyakan bila ada kesalahan tata ruang di tingkat kabupaten, seperti kawasan karts di Pegunungan Kendeng yang sesuai undang-undang adalah kawasan lindung, digunakan sebagai pertambangan dan pabrik semen.

“Kawasan karst Sukolilo hanya diperbolehkan untuk konservasi dan iptek. Kawasan ini adalah kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional,” kata Teguh.

Ia menambahkan, data dari Kementerian ESDM menyebutkan makin luasnya kawasan karst, sehingga dalam penggunaan kawasan karst, mulai dari perencanaan dan pembuatan AMDAL, masyarakat perlu dilibatkan dan diberitahu. “Perlu pengawasan dan keterlibatan masyarakat dalam mengawal kebijakan. Hal ini dirasakan sangat efektif,” tambahnya.

Lereng pegunungan Kendeng Utara di Sukolilo, Pati, Jateng. Terdapat petilasan (situs budaya), yang bisa terancam hilang jika pertambangan semen tetap dilakukan. Foto : Tommy Apriando
Lereng pegunungan Kendeng Utara di Sukolilo, Pati, Jateng. Terdapat petilasan (situs budaya), yang bisa terancam hilang jika pertambangan semen tetap dilakukan. Foto : Tommy Apriando

Perwakilan warga Rembang, Sukinah, mengatakan mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam pembangunan pabrik semen di Rembang, termasuk soal AMDAL. “Bertani sudah mencukupi kehidupan kami. Kami sudah sejahtera dengan bertani. 

Pertambangan Semen akan mengancam sumber air di daerah kami jadi semakin berkurang bahkan hilang,” katanya.

Dia mengharapkan gugatan mereka untuk menolak pertambangan dan pabrik semen ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jateng  bisa dikabulkan hakim. “Kami mohon doanya, kami tidak yakin adanya pertambangan membuat kami sejahtera, yang ada kami semakin sengsara,” kata Sukinah.

Pendapat Akademisi tentang Kendeng

Rindang pepohonan Sonokeling di sekitar Omah Sonokeling dimanfaatkan warga dan tamu yang hadir di Rembug Kendeng untuk berteduh. Tikar berbahan terpal warna biru dibentang dibawah pepohonan sembari mendengarkan pemaparan para pembicara.

Waktu menujukkan pukul 13.05. Beberapa tamu sedang menyantap perjamuan makan siang, sembari berbincang. Tembang-tembang Jawa dimainkan warga sembari sesi diskusi dimulai kembali.

Dosen di Institut Pertanian Bogor Soeryo Adi Wiboyo menjadi moderator pada sesi kedua, mengatakan, masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng yang mempertahankan lahan mereka dari pertambangan bukan tanpa alasan logis. Dampak pertambangan bagi lahan pertanian mengancam mereka.

“Saya sepakat dan mendukung upaya warga menolak pertambangan Semen, dan mempertahankan lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan. Selama ini tidak pernah dilakukan upaya memperluas lahan pertanian warga oleh pemerintah, yang ada lahan semakin berkurang,” katanya.

Dia berharap pemerintah tidak terus menerus pro investor, tetapi juga memikirkan kepentingan rakyat secara menyeluruh. “Buat kebijakan yang lebih memperhatikan lahan pertanian masyarakat,” kata Soeryo.

Sedangkan dokumen ANDAL PT SMS tidak terperinci menjelaskan jumlah produksi semen yang dihasilkan dan dan jumlah kebutuhan batu kapur yang akan di tambang. “Yang tertulis hanya pertambangan selama 55 tahun. Dampak dari pertambangan selama 55 tahun juga tidak dihitung,” katanya.

Pada rembug tersebut, Eko Teguh Paripurno pengajar di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta menyepakati prinsip kehati-hatian dalam mengambil kebijakan, terutama kebijakan pertambangan di kawasan karst.

Warga menolak pertambangan karena mereka yang akan terdampak pertambangan karena hilangnya sumber air yang mempengaruhi pertanian. “Jika air ditempatkan yang paling tertinggi dan bermanfaat, maka air sama dengan karst. Dimana ada air disana ada kehidupan. Dan dimana ada air yang akan hilang disitu harus kita bela dan pertahankan,” kata ET Paripurno.

Sedangkan kajian oleh Semarang Caver Association (SCA) dan JMPPK, yang didukung Acintyacunyata Speleological Club (ASC) dan Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN “Veteran” Yogyakarta pada Oktober 2013 menunjukkan perusakan ekosistem di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara memicu risiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut.

Kajian itu menunjukkan di lokasi tambang batu gamping ada 25 Goa dan satu ceruk. Di lokasi tanah liat ada dua goa dan satu ceruk. Selain itu, terdapat 30 mata air dan 5 sumur di lokasi gatu gamping, serta 11 mata air di lokasi tanah liat. Puluhan lainnya berada pada jarak kurang dari satu kilometer. Terdapat 5 mata air di barat laut di dalam area IUP PT SMS. Salah satunya adalah mata air Ronggoboyo yang juga sebagai tempat punden untuk upacara adat. Juga ada mata air Sumber Agung, Kali Cilik, dan Kali Gede yang dipergunakan untuk irigasi dengan debit terukur mencapai 303.826,5 liter/detik.

Sistem perpolitikan yang berbiaya mahal berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang meningkat. Industri yang berbahan batu gamping seharusnya tidak diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota, namun diberikan ke pusat, paling tidak di provinsi. Harapannya, kebutuhan industri di provinsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan di provinsi atau di tingkat Pulau.

“Otonomi daerah dan perpolitikan kita menyebabkan adanya ekploitasi besar-besaran,” kata Eko.

Pengajar dari Australia National University (ANU) Amrih Widodo mengatakan, kehidupan masyarakat di Pegunungan Kendeng Utara dalam hal ini “Samin” tidak bisa dipisahkan dengan alam sekitarnya, apalagi lahan pertanian.
Dia mengutip Cipto Mangunkusumo yang mengatakan samin itu bentuk anarkisme petani, karena tidak mau ikut aturan. Sementara Komunitas Samin mengatakan bahwa hasil pertanian mereka sangat tergantung dari mereka mengelola bumi, alam dan lingkungannya. Keseimbangan mengelola alam dan lingkungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Samin,” kata Amrih Widodo.

Sedangkan Eko Haryono, pengajar Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada mengatakan, kegiatan investasi berbasis sumber daya alam semakin masif sejak reformasi atau sejak otonomi daerah. Dulu, Batu gamping kewenangannya ada di pemerintah pusat, sekarang kewenangan itu ada di pemerintah daerah.

Mengutamakan Kepentingan Rakyat

Rembug Kendeng tidak hanya diskusi terkait kedaulatan pangan dan pertambangan, tetapi juga menampilkan kebudayaan dari Sahita Solo, pameran poster dan ritual adat Samin “Lamporan”.
Ritual Lamporan, merupakan bentuk ritual adat Samin menolak hadirnya pabrik semen, agar alam dan pegunungan Kendeng Utara tetap Lestari. Foto : Tommy Apriando
Ritual Lamporan, merupakan bentuk 
ritual adat Samin menolak hadirnya pabrik semen,
 agar alam dan pegunungan Kendeng Utara tetap Lestari. 
Foto : Tommy Apriando

“Ritual Lamporan ini untuk mengusir wabah penyakit/hama. Adapun Pertambangan Semen-lah yang dianggap penyakit. Sehingga, doa kami agar pegunungan kendeng terbebas dari penyakit atau pertambangan semen,” kata Gunretno.

Alissa Wahid putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang hadir dalam Rembug Kendeng kepada Mongabay mengatakan selama ini pembangunan di negeri ini lebih berpihak pada kepentingan kapital atau pemodal dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Prinsip keadilan, kejujuran dan kedaulatan rakyat tidak pernah diutamakan. Contohnya saja, jika lahan warga dibeli dengan janji untuk perkebunan, lalu praktiknya dijadikan pertambangan tentu ini adalah bentuk ketidakjujuran.

“Jika kedaulatan rakyat, keadilan dan kejujuran itu dikedepankan maka konflik sosial di masyarakat tidak akan terjadi. Seperti kata Gusdur, tidak aka nada perdamaian tanpa keadilan,” kata Alissa.

Ia menambahkan, dalam aspek pemerintahan yang baik, banyak paradigma yang salah. Pemerintah sebagai penguasa berfikir bahwa sumber daya alam itu sebagai kapital atau keuntungan yang dapat di dapat secara cepat dan besar. Tanpa berfikir pada dampaknya untuk jangka panjang. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan itu menggunakan berbagai cara termasuk kebohongan, ketidakdilan dan menyampingkan kepentingan rakyat.

Negara ini didirikan untuk kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, kepentingan rakyat diatas segalanya. “Idealnya pemerintah bisa membatalkan semua kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Atau paling tidak menghentikannya sembari melakukan pertemuan berbagai pihak untuk mencari kesimpulan yang adil dan harus mengedepankan kepentingan rakyat,” ujar Alissa Wahid.

Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Gusdur, Bondan Gunawan mengatakan, pemerintah kita dalam mengambil setiap kebijakan mempertimbakan adat istiadat masyarakatnya. Masyarakat di pegunungan Kendeng Utara saat ini mempertahankan adat dan martabat mereka.

Dia menyarankan agar mengkaji upaya penggantian pabrik semen yang melibatkan masyarakat dengan kebijakan agraris, dengan Kendeng sebagai proyek percontohan.

“Jangan menjadikan kekuasaan untuk menghadapi masyarakat. Sampai kapanpun masyarakat akan bertahan dan berjuang hingga titik penghabisan,” kata Bondan Gunawan.

Poster-poster karya seniman Pati, menyampaikan pesan tuntutan warga dan lingkungannya. Foto : Tommy Apriando
Poster-poster karya seniman Pati, 
menyampaikan pesan tuntutan warga
 dan lingkungannya. 
Foto : Tommy Apriando

Pada kesempatan itu, Muhammad Al Amien dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mengatakan perjuangan warga Kendeng mempertahankan lahan pertaniannya merupakan perjuangan mereka menuntut hak hidup, hak atas lahan dan lingkunganya.

Walhi Sumsel juga sedang berjuang mempertahankan kawasan karst Maros dari pertambangan semen dan marmer. Harapannya nanti bisa dilakukan pertemuan lintas wilayah, yakni daerah-daerah yang kawasan karstnya terancam adanya eksploitasi.

“Mempertahankan hak kita sebagai warga itu adalah wajib. Perjuangan ini bukan untuk saat ini, namun lingkungan yang lestari sampai kedepannya nanti,” ujar Al Amien

http://www.mongabay.co.id/2014/10/06/mencari-solusi-kedaulatan-pangan-di-rembug-kendeng/

Rabu, 01 Oktober 2014

Pengurus dan Tokoh WTT Dipolisikan

Ivan Aditya | Rabu, 1 Oktober 2014 | 22:32 WIB

Petugas Reskrim Polres Kulonprogo sedang Olah TKP di Balai Desa Glagah Kecamatan Temon. (Foto: Asrul Sani)

KULONPROGO (KRjogja.com) - Tokoh dan Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) Saridjo dan Purwinto dilaporkan ke Polres Kulonprogo dengan tuduhan melakukan penghasutan dan perusakan terhadap barang pada saat kelompok warga yang menolak rencana pembangunan bandara baru tersebut menggelar aksi berbuntut penyegelan Balai Desa Glagah Kecamatan Temon. Kasat Reskrim Polres Kulonprogo AKP Ricky Boy Sialagan membenarkan adanya laporan dari Pemerintah Kecamatan Temon dan Pemerintah Desa (Pemdes) Glagah tersebut.

"Ya sore hari setelah warga WTT melakukan penyegelan Balai Desa Glagah Selasa (30/9) sekitar pukul 17.00 WIB, Camat Temon dan Kades Glagah bersama sejumlah saksi melaporkan tokoh dan pengurus WTT masing-masing berinisial S dan P ke Polres Kulonprogo," katanya disela olah Tempat Kejadian Peristiwa (TKP) di balai desa setempat, Rabu (01/10/2014).

Dijelaskan, olah TKP merupakan tindaklanjut adanya laporan tersebut. Untuk memastikan adanya dugaan tindakan penghasutan dan perusakan barang di Balai Desa Glagah, pihaknya melakukan pemeriksaan. Selain itu juga mengumpulkan barang bukti (BB).

Sementara Kapolsek Temon Kompol Sukadi mengaku belum melihat langsung isi laporan Camat Temon dan Kades Glagah. 
"Saya dapat informasi kalau peristiwa penyegelan Balai Desa Glagah dari Kabag Ops Polres Kulonprogo," ujarnya. (Rul)

http://krjogja.com/read/232458/pengurus-dan-tokoh-wtt-dipolisikan.kr

Semangat dari Balik Jeruji Penjara

oleh Putria Perdana - 1 Oktober, 2014 di 12:00

Penjara berwarna abu-abu itu berdinding tinggi, dengan kawat berduri di atas temboknya. Tampak sepi, apalagi letaknya jauh dari kawasan permukiman. 

Sekilas, saya membayangkan wajah-wajah sendu yang berada di dalamnya.
Saya gelisah, ketika mobil yang saya naiki berhenti di depan Penjara Kelas II Batang. Saya belum pernah ke penjara, apalagi menemui orang yang berada di dalamnya. Ini pengalaman pertama saya berkunjung ke penjara.

Adalah Pak Carman (42) dan Pak Cahyadi (50), dua orang warga desa Karanggeneng yang akan saya temui. Keduanya sedang mendekam di sel tahanan dengan vonis masa kurungan 7 bulan. Kisah mereka berdua mengharukan sekaligus menggetarkan. Cerita yang menginspirasi siapa saja yang mendengar.

Saya menemui mereka, bertepatan pada hari dimana sekitar 50 orang warga Desa Karanggeneng juga mengunjungi mereka dengan 3 angkot penuh. Bapak-bapak, ibu-ibu sampai anak-anak berkerumun di depan pintu penjara pagi itu untuk mengantri masuk.

Ruang pertemuan yang kecil, disesaki oleh pengunjung kedua orang ini. Mereka duduk dikelilingi warga, seperti orang yang memiliki status tinggi. Sungguh saya penasaran, apa jasa Pak Carman dan Pak Cahyadi sehingga yang membesuk mereka di dalam penjara sebegini banyak orang?

Pak Carman, adalah laki-laki bertubuh tegap yang tidak terlalu tinggi. Wajahnya penuh senyum, bicaranya bersemangat dan tidak ada kesedihan dari matanya. Sementara Pak Cahyadi berperawakan tinggi, tenang dan bijaksana. Beliau dikenal sebagai Ustad di Desa Karanggeneng.

Mereka terjebak di dalam penjara, dibatasi kemerdekaan individualnya dengan tuduhan pemukulan terhadap warga lain yang tidak pernah mereka lakukan. Bahkan tanpa saksi yang menyatakan mereka melakukan pemukulan, namun palu hakim tetap memvonis mereka dipenjara.

Pak Carman dan Pak Cahyadi menjadi korban kriminalisasi karena mereka dikenal vokal menyerukan penolakan pembangunan PLTU Batubara Batang. Mereka adalah barisan terdepan dalam setiap aksi protes yang dilakukan warga.

Yang mengagumkan adalah fakta bahwa Pak Carman tidak memiliki tanah yang menjadi sengketa pembebasan, ia hanya seorang buruh tani. Tetapi, ia bersemangat menolak PLTU Batubara Batang tanpa takut.



“Saya ikhlas dipenjara, demi perjuangan” jawab Pak Carman yakin, ketika saya tanyakan bagaimana perasaannya menjadi korban kriminalisasi. 

Tidak terlihat penyesalan dan keputusasaan dari wajahnya. Bahkan Pak Carman tidak sabar keluar penjara, untuk ikut berjuang kembali bersama warga. Justru keinginan berjuang bersama kembali itulah yang membuatnya bertahan di penjara, yang tidak meredupkan semangat hidupnya.

Anak laki-laki Pak Carman yang berusia 3 tahun terus memeluknya dari belakang, menciumi pipinya. Saya bisa melihat rindu yang nyata antara anak dan bapak ini. 

Berbeda dari Pak Carman, Pak Cahyadi memiliki tanah yang menjadi sengketa pembebasan lahan. Namun, tanah seluas 2 hektar itu tidak mau dilepas Pak Cahyadi. Ia tetap menolak pembangunan PLTU Batubara Batang meskipun tanahnya dihargai tinggi dan ia diiming-imingi kendaraan roda empat serta kebutuhan anak-istrinya ditanggung seumur hidup.

Ketika saya bertanya kepada Pak Cahyadi, apa yang paling disesalkan dari aksi penolakan yang selama ini dilakukan hingga ia dipenjara, Pak Cahyadi menunduk. Matanya berkaca-kaca sambil berkata pelan bahwa ia merasa kerja kerasnya selama 20 tahun membangun kerukunan warga akhirnya sia-sia.

Warga terbelah menjadi mendukung dan menolak PLTU Batubara Batang. Bahkan perbedaan sikap ini menimbulkan perselisihan dan mengakibatkan kerukunan warga rusak. Antar tetangga tidak bertegur sapa, satu keluarga namun tidak melayat ketika ada yang meninggal karena berbeda sikap.

“Wakil Bupati datang kepada saya, Sekda datang kepada saya. Bertanya apa yang saya inginkan, mereka akan penuhi. Saya katakan kepada mereka, saya cuma mau satu. Kembalikan lagi kerukunan warga, satukan kembali warga seperti semula. Bisa tidak mereka?” ujar Pak Cahyadi lirih.

Meskipun sedih dengan keadaan warga yang terpecah belah akibat adu domba yang dilakukan pemrakarsa PLTU Batang, Pak Cahyadi masih tetap bersemangat memperjuangkan keadilan bagi para petani dan nelayan seperjuangannya yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban) .

Saya tidak bisa berkata-kata, melihat dan mendengar keikhlasan mereka yang harus mendekam dipenjara karena berjuang untuk ribuan warga UKPWR. Bahkan semangat mereka menggebu-gebu, tidak sabar untuk segera keluar penjara dan kembali bersama barisan warga menolak PLTU Batubara Batang. Tidak takut jika harus dipenjara kembali.

Jika mereka yang dipenjara saja bersemangat memperjuangkan masa depan kelestarian sawah dan laut, bagaimana mungkin kita yang bebas merdeka tidak? Mari kita dukung perjuangan mereka dengan mengisi petisi di www.100persenindonesia.org.
Hanya ini yang bisa kita lakukan untuk mereka. Untuk sepasang semangat dari penjara.

http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/semangat-dari-balik-jeruji-penjara/blog/50818/