This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 27 September 2014

Inilah Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jateng dan Yogyakarta

 
Aksi Warga di lahan pertanian mereka di rencana lokasi PLTU Batang. Foto: Greenpeace
Ancaman alih fungsi lahan pertanian ke tambang, tambak dan lain-lain terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah. Para petanipun protes agar pemerintah mendengar kekhawatiran warga.
Data BPS Jateng menyebutkan, pada 35 kabupaten/kota Jateng, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar dalam 10 tahun terakhir. Belum termasuk lahan pertanian hilang akibat bencana lingkungan seperti rob dan abrasi pantai. Di pekalongan lahan pertanian menjadi tambak sekitar 1.800 hektar dan di Demak 2.000 hektar.
Di Rembang, lahan tani terancam pabrik semen. Pada Selasa (23/9/14), sekitar 30 ibu-ibu berkebaya, berkain panjang dan mengenakan caping. Mereka membawa hasil tani seperti jagung, singkong dan labu dan tuntutan di di depan kantor Pemerintah Rembang.
“Petani tidak butuh tambang. Bebaskan lahan pertanian dari pertambangan. Tolak pabrik semen.” Ini antara lain tuntutan mereka. Warga aksi bisu. Tidak orasi. Mereka melakban mulut.
Sukinah, petani dari Desa Tegaldowo, kepada  Mongabay mengatakan, jika pertambangan semen tidak berhenti pasti berdampak pada sumber air mereka. “Kami sudah sejahtera sebagai petani. Pertambangan malah membuat pertanian kami hilang. Pertanian kami subur, hasil tani melimpah dan cukup menyekolahkan anak-anak kami.”
Dia berharap,  pemerintah, terutama Gubernur Ganjar Pranowo mendengarkan aspirasi warga. “Tepati janji, Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung padi, bukan untuk pertambangan,” kata Sukinah.
Saat ini, katanya,  warga sudah menggugat pemerintah Jateng yang ke PTUN. Seharusnya, pemerintah menghentikan aktivitas pertambangan sampai ada keputusan PTUN.
“Jika janji Pak Ganjar dulu, ingin membuat Jateng ijo royo-royo, dengarkanlah suara kami, cabut izin lingkungan tambang.”
Aan Hidayah, pendamping warga mengatakan, alih-alih memenuhi kebutuhan konsumsi dan pangan nasional, lahan pertanian yang ada tergerus. Banyak peraturan perlindungan kawasan dilanggar. Dimulai pelanggaran RTRW Rembang yang menetapkan kawasan Watu Putih sebagai imbuhan air. Lalu peraturan cekungan air tanah (CAT) yang dilindungi.

“Ini hari ke-100 warga menduduki tapak pabrik Semen Indonesia. Pertambangan semen berdampak hasil tani menurun, dan sumber air pertanian warga hilang.”

Aksi petani Rembang menolak pabrik semen Indonesia dan meminta pemerintah mendengarkan keluhan mereka.Foto: Aan Hidayah.
Munhur Satyahaprabu dari Walhi Nasional mengatakan, Jateng darurat ekologi. Alih fungsi lahan tinggi, mengancam petani kehilangan pekerjaan dan kerusakan lingkungan.
Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jateng menyebutkan, alih fungsi lahan pangan di Jateng 300–400 hektar pertahun. Ia beralih menjadi industri, perkantoran, kawasan bisnis, perumahan dan lain-lain. “Setidaknya lebih dari 2.240 hektar ditambang, terancam 7.467 hektar.”
Di Batang, Jawa Tengah, ratusan warga dari Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) membentuk formasi bertuliskan “Food Not Coal.” Mereka ingin memperlihatkan penolakan petani dan nelayan terhadap rencana pembangunan pembangkit listrik batubara di  Desa Ponowareng, Batang, Jateng.
Pada Selasa (23/9/14), sekitar 87 petani membuat formasi dari kain kuning berukuran 50×50 meter di lahan pertanian produktif yang terancam tergusur rencana PLTU.
Arif Fiyanto dari Greenpeace mengatakan, PLTU Batang mengancam sawah produktif yang panen tiga kali setahun. Program kedaulatan pangan yang disebut-sebut prioritas Presiden terpilih Joko Widodo, terancam. Terlebih, Indonesia masih mengimpor beras.
PLTU Batang, salah satu contoh masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian, dan mempercepat laju perubahan iklim global.
“Proyek ini mengancam mata pencaharian puluhan ribu masyarakat petani, nelayan, dan masyarakat lain tergantung dari pertanian dan perikanan tangkap,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Menurut dia, yang terjadi di Batang, bukan sekadar pembebasan lahan untuk PLTU. Kisah PLTU ini tentang puluhan ribu nelayan dan petani yang tergusur, berjuang mempertahankan produksi pangan, kehidupan, dan mata pencaharian mereka. “Mereka mempertahankan bumi dari ancaman bencana perubahan iklim yang mengerikan.”
PLTU Batubara juga akan meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Ia dapat menghasilkan emisi CO2 sekitar 10,8 juta ton pertahun. Setara emisi Myanmar pada 2009.
Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pemerintah Indonesia harus bersikap bijak dan aspiratif terkait pembangunan PLTU Batang.
Proyek kerja sama pemerintah swasta ini bakal menggunakan lahan 226 hektar. Tercatat sejak awal 2012,  warga mulai menolak hingga PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dua kali gagal memenuhi tenggat waktu pencairan pinjaman investasi yang ditetapkan Japan Bank for International Coorperation. Kondisi ini memaksa BPI mengumumkan keadaan gawat.

Aktivis Greenpeace, YLBHI, bersama para petani dan nelayan di Batang, membentuk formasi Foot Not Coal di lahan pertanian yang bakal terimbas jika PLTU Batang terealisasi. Foto: Greenpeace
Lahan pertanian di Yogyakarta
Penurunan lahan pertanian juga terjadi di Yogyakarta. Halik Sandera, direktur eksekutif Walhi Yogyakarta mengatakan, masalah utama petani ketersediaan air selama musim kemarau. Irigasi beberapa rusak dan tidak berfungsi. Dampaknya, konflik antar warga berebutan air irigasi. Di Pesisir Selatan, pertanian lahan pasir terancam beralih fungsi menjadi tambak udang dan pertambangan pasir besi.
“Padahal, pertanian warga subur dan produktif. Tambak malah merusak pertanian dan menurunkan kualitas dan kuantitas tani.”
Dia menambahkan, MP3EI menjadi ancaman bagi petani. Lahan proyek MP3EI kebanyakan pertanian produktif. “Bagaimana pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan jika lahan pertanian hilang? Seharusnya pertanian menjadi prioritas.”
Menurut dia, keputusan Gubernur tentang 35.000 hektar lahan pertanian berkelanjutan harus dipertahankan.
Sugeng Purwanto, kepala Bidang Perekonomian Bappeda Yogyakarta mengatakan, lahan pertanian, secara luasan cenderung menurun.
Berdasarkan data BPS dan Dinas Pertanian 2013, di Gunung Kidul luas lahan 125.700 hektar (53,3%), Kulon Progo 45.326 hektar (18,9%), Sleman 39.341 hektar (16.4%), Bantul 29.611 hektar (12,3%) dan Kota Yogyakarta 264 hektar (0.1%). Total 240.242 hektar lahan pertanian, dan 56.364 hektar sawah baik irigasi dan non-irigasi.
Sebaran wilayah pertanian di DIY ada di Gunung Kidul dan Kulon Progo (71.2%), sedangkan basis wilayah pertanian produktif (sawah) terletak di Bantul dan Sleman (67,7%). Luas sawah terkonversi setiap tahun dengan laju penurunan lebih dari 200 hektar.  “Laju konvseri sawah massif terjadi pada sawah produktif di Bantul dan Sleman. Konversi menjadi permukiman atau perluasan perkotaan.”

Kamis, 25 September 2014

Bagi Eva Bande, Hari Tani Adalah Peringatan Ketertindasan Kaum Tani

Kamis, 25 September 2014 - 09:39:12 WIB

Eva Susanti Hanafi Bande 

SULTENG, SACOM - Bagi Eva Bande, hari tani 24 September 2014 adalah peringatan tertindasnya kaum tani di seluruh Indonesia, belum jadi perayaan yang menggembirakan.

Eva Bande sendiri adalah satu dari ratusan pejuang agraria yang “sukses” dikriminalisasi oleh negara.

Pengadilan memvonis hukuman 4,6 tahun penjara buatnya gara-gara kekritisannya membela hak-hak kaum tani yang tertindas.

Eva Susanti Hanafi Bande, nama lengkapnya, dihukum penjara melawan PT. Kurnia Luwuk Sejati, perusahaan sawit yang beroperasi di Sulawesi Tengah. Padahal dia memperjuangkan lahan ratusan hektar milik warga yang sudah dikelola selama sekitar 30 tahun.


Inilah yang membuat Eva sangat sedih, kecewa dan menganggap hari tani 24 September 2014 adalah hari buram buat kaum tani dan pergerakannya.  

Berikut isi surat lengkap Eva Bande yang diterima suaraagraria.com:

Bismillahirahmanirahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Kaum Tani Seluruh Indonesia

Hormatku kepada saudara-saudara kaum Tani di mana saja berada. Pada Tanggal 24 September 2014 nanti adalah Hari Tani. Hari itu bagiku adalah peringatan atas ketertindasan petani, bukan peringatan hari kebangkitan kaum tani, bukan pula pernyataan penghargaan atau pengakuan Negara untuk memerdekakan petani dari ketertindasan mereka berabad-abad lamanya.

Sejarah telah bergerak silih berganti melalui titian waktu, telah berganti generasi, telah berganti rezim-rezim penguasa, tetapi satu yang tidak berubah: NASIB KAUM TANI...!!!

Seolah-olah kepada KAUM TANI melekat Kodrat sebagai kaum TERTINDAS. Pernyataan ini terkesan kasar bagi sebagian orang, mungkin pula bagi kaum tani sendiri, tetapi Aku memaksakan diri untuk menyatakannya. Mari tengoklah ke belakang, ratusan tahun yang lampau ketika Kaum Tani berada di alam sebelum kolonialisme, dalam kekuasaan raja-raja pribumi yang menjadikan mereka sebagai sapi perah. Tanah-tanah adalah milik raja,sementara kaum tani adalah penumpang dan menggarap tanah yang hasilnya diserahkan kepada raja-raja. Ironisnya, mereka juga harus menyerahkan hasil-hasil pertanian mereka kepada penguasa lokal di berbagai jenjang hingga yang paling dekat yakni tuan-tuan tanah perwakilan raja...

Kaum Penjajah datang menggantikan model penindasan, melalui penguasaan terhadap raja-raja. Upeti kepada raja dan tuan tanah lokal tidak dihapuskan, malah ditambah lagi dengan pajak tanah (land rent). Kaum raja lama kelamaan marah karena ladang kekayaan dan kekuasaan mereka semakin hari semakin tersedot oleh kekuatan senjata Kolonial. Rakyat Tani dihasut untuk bersatu memerdekakan tanah nenek moyang. Kaum tani angkat senjata seadanya, dalam kemiskinan, dengan derita dan kelaparan berperang mengorbankan darah, harta, dan nasib mereka. Gugur satu demi satu, puluhan demi puluhan, ribuan demi ribuan, jutaan demi jutaan. DAN Mereka tetaplah KAUM TANI yang TERTINDAS setelah itu, tak ada balas jasa apalagi pangkat, yang ada hanyalah kembali ke tanah garapan untuk menghasilkan upeti-upeti baru......!!!

500-an tahun di alam kekuasaan Raja diraja lokal, 350 tahun Kapitalisme-Kolonialisme Kulit Putih, 3,5 Tahun si kulit Kuning, berganti-ganti menggerus kekayaan bumiputera tanah bangsa kuli ini......!!!! Ya Bangsa Kuli kata Pramudya... dari Petani Subsisten, diubah menjadi Buruh di tanah sendiri, dipaksa menjadi buruh perkebunan, pabrik, kerja Rodi, Romusha.... Duhai Petani begitu menderitanya kalian..... begitu kejamnya hidup bagi kalian, tetapi begitu AGUNGNYA kesabaran kalian menghadapi hidup yang tidak adil itu.....!!!

Merdekalah Kita di tahun 1945, setelah jutaan nyawa kaum tani, bermiliar-miliar harta benda petani dikorbankan untuk KEMERDEKAAN itu.... lalu kaum Ningrat segera berlomba-lomba rebut kuasa, hampir-hampir tak satu JIWA pun anak Petani yang menjadi pemimpin bagi kaumnya sendiri dalam sejarah perjuangan HINDIA BELANDA menjadi INDONESIA. Sejarah ERLANGGA dan KEN AROK sebagai anak Petani dari Kasta SUDRA menjadi Raja tidak terulang lagi.... sekali lagi di alam merdeka rakyat Tani bergegap gempita menyambut kemenangan mereka atas penjajahan, menyoraki pemimpin-pemimpin dari kaum terpelajar-Ningrat, lalu mereka bersuka ria kembali mengerjakan tanah sambil membayar pajak untuk membiayai NEGARA BARU merdeka. Para Jenderal perang segera berebutan menguasai aset-aset peninggalan perusahaan-perusahan Kolonial, buruh-buruh yang berasal dari Petani kembali memasuki pabrik-pabrik perusahaan tambang, perkebunan, hingga buruh bangunan tetapi dengan Jiwa Merdeka. Ya Jiwa Merdeka yang telah mengalahkan rasa dasar hati yang tertindas untuk kesekian kalinya...

Kini alam Merdeka sudah demikian majunya, modernisasi telah membentuk masyarakat baru dengan watak baru, tetapi Kaum Tani tetaplah Petani yang hidup dalam penindasan yang tak tampak, hidup di sekeliling kekayaan alam tetapi miskin dalam segala sesuatunya. Tanah mereka semakin sempit, mereka semakin tak berdaya, karena kemerdekaan lebih dinikmati oleh kaum kaya, kaum pelajar, anak-anak kaum bangsawan. Kaum Tani adalah kaum tani yang terus menerus menapaki sejarah dari zaman ke zaman, orde ke orde, penguasa ke penguasa sebagai jiwa-jiwa putih yang tertindas...!

Tanah semakin sempit lagi, karena rebut kuasa atas tanah dari segelintir kuasa modal pribumi dan asing. Hasil tani tak seberapa, lalu kerja sambilan jadi buruh di atas tanah sendiri ketika industri perkebunan merampas hak mereka atas tanah. Dengan Izin Negara, Individu kuasa Modal menguasai pengelolaan tanah, bahkan mengambil alih hak kuasa ADAT atas tanah, hak milik tersertifikasi, dan tanah-tanah warisan. Untuk kesekian kali dari banyaknya perkalian hari dan zaman, kaum tani dihisap darahnya melalui kerja, ya.... kerja di atas tanah yang semakin sempit, yang terampas, dan berubah manjadi tambang minyak, emas, perkebunan, tuan-tuan tanah lokal, dan sejenisnya. Inilah Nasib Kaum Tani yang ditentukan oleh Orang Lain atas mereka.

Kini sudah 50-an tahun usia Peringatan HARI TANI.... setidaknya ini harus dibaca sebagai kebangkitan yang sungguh-sungguh bagi kaum tani untuk menjadi bagian penting dari sejarah mereka sendiri. Kaum tani harus memimpin sendiri perjuangan mereka...!!! anak-anak petani bersatulah, pimpin perjuangan saudara kita, orang tua kita untuk merebut HAK-HAK KAUM TANI yang terampas, merebut Kedaulatan Rakyat dari orang-orang yang lupa kacang akan kulitnya, juga anak-anak petani yang telah berkhianat terhadap sejarah perjuangan petani mencapai  kemerdekaan Negeri tanpa Makna ini....!!!!!

Kaum tani di manapun berada, salamku ini adalah doa bagi saudara-saudaraku semua: bangkitlah, mohonlah kekuatan itu dari TUHAN SEMESTA ALAM Penguasa para Penguasa, Pemilik HARI,Pemilik jiwa-jiwa yang hidup dan yang mati, Pemilik Kuasa atas segala kuasa yang tak terbatas....Bersatu teguhlah dalam jiwa dan kesadaran, dalam perlawanan yang masif, pakula kayakinan dalam jiwamu, bahwa sekali perlawanan dimulakan, yakni perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap kebodohan, perlawanan terhadap penindasan dan kaum penindas, jangan berhenti senafas pun.... Bertindaklah Sekarang Juga, jangan biarkan sejarah melibas kita untuk kesekian kalinya......!!!!! Hidup Petani.... Jayalah Petani....!!!!! 

 
Salam Pembebasan...!
Lapas 2B Luwuk, 22 September 2014
Eva Bande  

 
http://suaraagraria.com/detail-21046-bagi-eva-bande-hari-tani-adalah-peringatan-ketertindasan-kaum-tani.html#.VCwPWqPt2_I

Rabu, 24 September 2014

Hari Tani, FPPKS Gelar Aksi Teatrikal

Aksi FPPKS di depan Gedung DPRD Kebumen. (Foto: Sukmawan)

KEBUMEN (KRjogja.com) - Hari Tani diperingati sejumlah petani yang tergabung dalam Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) dengan menggelar aksi teatrikal di depan Gedung DPRD Kebumen, Rabu (24/9/2014).

Mereka juga menyuarakan berbagai persoalan yang dihadapi petani Urutsewu, mulai dari fluktuasi harga komoditas pertanian yang tidak pernah mampu dikendalikan pemerintah, hingga menuntut kawasan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian dan pariwisata.

Seperangkat gamelan dibawa untuk mendukung aksi teatrikal. FPPKS juga membawa berbagai hasil pertanian seperti semangka, jagung, terong, dan lainnya.

Aksi dipandegani Ketua FPPKS, Seniman, dan Widodo Sunu Nugroho yang juga Kepala Desa Wiromartan Kecamatan Mirit. Penjagaan ketat dilakukan Polres Kebumen, serta Satpol PP.

Aksi teatrikal yang cukup menarik. mendapat perhatian dari anggota DPRD Kebumen yang belum lama dilantik. Kepada petani, Tunggul Jaluaji dari Partai NasDem memastikan akan memperjuangkan apa yang dikehendaki FPPKS. "Kami akan tetap berpihak pada petani. Akan kami perjuangkan melalui prosedur yang ada," tandas Tunggul
(Suk)

http://krjogja.com/read/231576/hari-tani-fppks-gelar-aksi-teatrikal.kr

Selasa, 16 September 2014

Inilah Wajah Pertambangan di Indonesia

16 September 2014 10:16 WIB 

Mudah Mengambil, Sulit Mengembalikan

[Foto: istimewa]

Ibarat jamur di musim hujan, begitulah perumpamaan pembangunan industri pertambangan di Indonesia. Bukan saja perusahaan pertambangan skala besar yang berlomba mengeruk kekayaan alam melalui aktivitas pertambangan, perusahaan kecil serta individu pun ikut berebut mengambil untung dari usaha tersebut.

Usaha pertambangan memang memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung perekonomian nasional serta dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat, tetapi tidak dipungkiri bahwa usaha pertambangan juga berpotensi menyebabkan gangguan lingkungan dan hutan. Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mengalami krisis lingkungan serius.

Penggundulan hutan terus meningkat demi perluasan industri pertambangan. Itu berarti, kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd.

Realitas kemiskinan seolah memaksa para pengambil kebijakan agar berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan sumberdaya alam. Perizinan tambang semakin menggelembung seperti tak terkontrol. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan Februari 2014 lalu, di propinsi Kalimantan Timur terdapat 41 pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Untuk kegiatan survey/ekplorasi dan 71 perusahaan pemegang IPPKH untuk kegiatan operasi produksi dan non tambang.

Setidaknya, tiap hari 6-7 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikeluarkan sejak 2008. Luas kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan ekplorasi adalah sebesar 402.655,98 ha, sementara untuk kegiatan operasi produksi kawasan hutan yang digunakan mencapai 191.343,04 ha (http://www.mongabay.co.id/2014/05/29/hutan-kaltim-habis-akibat-izin-pinjam-pakai-pertambangan-perkebunan/). Maraknya pembukaan lahan pertambangan nampaknya tidak dibarengi dengan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.

Lemahnya kesadaran mengenai aspek lingkungan acapkali menjadi ciri khas dalam kegiatan pertambangan di negeri ini, khususnya di sektor penambangan minerba (mineral dan batubara). Bagaimana tidak, kita sering disuguhkan fakta mengenai ratusan ribu hektar bekas wilayah KP (kuasa pertambangan) di penjuru nusantara terbengkalai (rusak) pasca produksi oleh perusahaan tambang yang beroperasi.

Ironisnya, bukan hanya kegiatan penambangan liar (tanpa izin) saja yang sering menimbulkan kerusakan lahan, seolah tidak mau ketinggalan, kegiatan penambangan dengan izin pun tidak luput dari hal serupa. Dampaknya, jelas mengancam kelestarian lingkungan. Penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim mikro merupakan serangkaian kerugian yang akan diderita tidak hanya oleh lingkungan dan masyarakat sekitar, tapi bangsa Indonesia secara umum.

Secara umum, masalah utama yang seringkali muncul pasca kegiatan pertambangan adalah masalah perubahan Lingkungan, masalah perubahan bentang alam. Perubahan besar yang terlihat kasat mata adalah perubahan morpologi dan topografi lahan, serta penurunan produktivitas tanah. Secara lebih rinci, terdapat pula perubahan atau gangguan yang terjadi pada flora dan fauna yang ada di lahan bekas tambang tersebut. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia karena operasi pertambangan.

Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk keragaman hayati di sana. Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108 rusak parah (http://www.mongabay.co.id/tag/pertambangan-ilegal/). Kalau sudah seperti ini, upaya reklamasi lah jawabannya. Mengapa demikian? Karena sampai sejauh ini, reklamasi lah yang dianggap sebagai suatu metode/upaya yang paling efektif untuk menekan laju kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan minerba.

Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014, Pasal 1 ayat 1, Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang kegiatan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Kita tidak dapat menghakimi dengan cepat bahwa seluruh kegiatan pertambangan yang ada di Indonesia buruk.

Masih ada kegiatan pertambangan yang menerapkan prinsip-prinsip pertambangan yang baik, namun masih jauh lebih banyak lagi yang tidak menerapkannya dengan baik, terutama pada tahap reklamasi maupun pasca tambang. Reklamasi areal lahan bekas tambang dinilai hanya dilakukan oleh pertambangan besar yang memiliki struktur modal kuat, sehingga pelaksanaan reklamasi di lapangan menjadi tidak berjalan dengan baik.

Kepala Balai Penelitian Teknologi Konservasi (Balintek) Sumber Daya Alam Nur Sumedi mengatakan, sebagian besar perusahaan tambang skala kecil cenderung melakukan kegiatan penambangan dengan mekanisme hit and run. Ketika cadangan sumber daya alam pertambangan telah habis, perusahaan akan meninggalkan areal tambangnya yang hanya menyisakan lubang besar. “Kebanyakan perusahaan yang memiliki areal kerja di bawah 5 hektare cenderung melakukan hal semacam itu,” ujarnya.

Bentuk bentang alam wilayah bekas tambang biasanya tidak teratur, menimbulkan lubang-lubang terjal. Gundukan tanah bekas timbunan alat berat ada dimana-mana. Danau-danau kecil berisi air menganga ulah kerukan pasir batu. Lahan bekas tambang yang semula berfungsi sebagai lahan produktif berubah menjadi lahan tidak produktif tersebut juga akan menjadikannya rawan potensi longsor. Pemandangan seperti inilah yang seringkali terlihat di lahan bekas tambang yang diterlantarkan begitu saja oleh sang empunya.

Kita ambil contohnya untuk wilayah Kalimantan Selatan. Banyak lubang galian bekas tambang di Kalimantan Selatan yang belum direklamasi. Besarnya biaya menjadi salah satu penyebab. Akibatnya, selain tampak menganga, lubang-lubang ini juga banyak terisi air saat musim hujan.

Pemerintah sebenarnya sudah lama mengeluarkan kebijakan mengenai reklamasi wilayah KP ini, sejak rezim UU No.11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan sampai UU No.4/2009 tentang Pertambangan minerba (UU Minerba) beserta produk hukum turunannya. Kurang lebih 42 tahun, hingga saat ini kita juga masih bisa menerka problematika seputar reklamasi yang kian mengkhawatirkan. Bahkan, dengan adanya regulasi pemerintah yang terbaru pun melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi Pascatambang 

Pada Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara, belum mampu menjadikan seluruh pelaku usaha pertambangan untuk memenuhi kewajiban reklamasi.
Pelaksanaan kegiatan reklamasi wilayah Kuasa Pertambangan hingga detik ini belum begitu terasa efektivitasnya. Padahal peraturan terkait kegiatan pertambangan sudah sangat jelas mewajibkan tindakan reklamasi. Penegakan hukum seolah hanya angin lalu. Kurangnya pemahaman (atau sengaja tidak paham) akan ketentuan hukum reklamasi dan pentingnya isu kelestarian lingkungan pasca operasi tambang oleh para pelakunya disinyalir menjadi biang kerok kerusakan lahan tambang yang ada saat ini.

Pengusaha pertambangan begitu mudahnya mengeksploitasi alam secara masif, mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan sumber daya demi mendapatkan keuntungan yang hanya menguntungkan pihak penguasa semata. Di sisi lain mereka seolah menutup mata akan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas mereka. Begitukah wajah dunia pertambangan di Indonesia saat ini? Mereka begitu mudahnya mengambil kekayaan yang dimiliki oleh alam, tetapi sangat sulit untuk mengembalikan kembali apa yang telah mereka renggut.

Pemerintah daerah harus mempunyai tanggung jawab dan memonitoring atau melakukan kontrol dengan ketat supaya tidak terjadi penelantaran bekas lahan tambang, jangan hanya mampu mengeluarkan izin, dengan dalih untuk kemakmuran masyarakat tetapi pada hakekatnya tidak sesuai dengan alasan yang diberikan. Kita tentu masih berharap banyak pada instrumen hukum posistif yang berlaku saat ini, walaupun aspek hukumnya seringkali dikebiri oleh motif keuntungan ekonomi korporasi di sektor pertambangan minerba. Regulasi tentang reklamasi seharusnya bukan hanya dijadikan sebagai aturan belaka tanpa ada wujud konkret, tetapi harus dijadikan sebagai kewajiban yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh setiap pelaku pengusaha pertambangan. (Charisma Rahma Dinasih/CN19/SMNetwork)

http://berita.suaramerdeka.com/bebrayan/inilah-wajah-pertambangan-di-indonesia/

Selasa, 09 September 2014

Warga Urut Sewu Mengadu ke Jokowi

9 September 2014 4:02 WIB 

Sengketa Tanah dengan TNI AD

KEBUMEN – Persoalan sengketa tanah antara warga dengan TNI AD di pesisir selatan Urut Sewu Kebumen diadukan kepada Presiden RI terpilih Joko Widodo. Persoalan itu disampaikan saat masyarakat Urut Sewu Kebumen bersama masyarakat Lereng Pegunungan Kendeng menemui Jokowi di Kantor Gubernur DKI Jakarta, Jumat (5/9).

Masyarakat Urut Sewu Kebumen tergabung dalam organisasi rakyat Urut Sewu Bersatu (USB) dan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), diwakili 16 warga. Tampak antara lain Koordinator USB yang juga Kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho, Ketua FPPKS Seniman, mantan Kades Setrojenar Nur Hidayat, Kades Entak, Sapari, Kades Kaibonpetangkuran Muklisin, Kades Lembupurwo, Bagus Wirawan, Kiai Mas’udi Zein, Kiai Imam Zuhdi, dan Paryono.

Menurut Koordinator USB Widodo Sunu Nugroho, dalam pertemuan itu disampaikan berbagai persoalan yang dialami masyarakat Urut Sewu selama bertahun-tahun. Yakni dampak latihan militer TNI-AD dan klaim sepihak TNI-AD atas tanah rakyat serta penambangan pasir besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC).

Pencabutan Izin

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 30 menit itu dimanfaatkan dengan efektif oleh perwakilan warga. Sunu yang didaulat sebagai juru bicara memaparkan permasalahan yang ada dengan bahasa gambar, yaitu dengan menampilkan foto-foto peristiwa yang terjadi di Urut Sewu. Antara lain kerusakan lahan pertanian akibat latihan TNI-AD, korban ledakan peluru, bangunan TNI yang dibangun di atas tanah rakyat yang bersertifikat hak milik.
“Pemaparan masalah diakhiri dengan menyampaikan permintaan atau tuntutan dari masyarakat Urut sewu kepada bapak presiden terpilih,” ujar Sunu kepada Suara Merdeka, Senin (8/9).

Adapun tuntutan yang disampaikan kepada presiden terpilih, yakni penghentian proses pengajuan hak pakai oleh TNI-AD terhadap tanah-tanah masyarakat di Kecamatan Mirit. Penghentian pemagaran yang sampai saat ini masih berlangsung. Pencabutan izin yang sudah terbit dan penghentian izin baru penambangan pasir besi di wilayah Urut Sewu Kebumen.
Tidak menggunakan kawasan Urut Sewu sebagai tempat latihan militer dan uji coba senjata berat dan pencabutan atau penghapusan tanah Urut Sewu dari daftar inventarisasi tanah aset Kodam IV/Diponegoro dengan nomor registrasi: 30709034.

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyampaikan dia sudah mengetahui adanya konflik di Urut Sewu dan pegunungan kendeng, baik di Pati maupun Rembang. Namun dia belum bisa mengintervensi, karena posisi saat ini masih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat diminta menunggu penyikapan presiden setelah pelantikan pada 20 Oktober mendatang. Selain itu, dia juga harus tahu lapangan dan mempelajari secara objektif persoalan itu.

“Jika memang rakyat yang bener ya kasihkan. Tapi bisa jadi TNI juga punya dasar hukum yang kuat,” ujar Jokowi.  (J19-32,48)

http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/warga-urut-sewu-mengadu-ke-jokowi/

Senin, 08 September 2014

Tolak Klaim TNI, Petani Urut Sewu Mengadu ke Jokowi

Senin, 08 September 2014 | 12:36 WIB

ilustrasi. scpr.org

TEMPO.CO, Kebumen - Belasan petani yang terlibat konflik lahan di kawasan Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, mendatangi presiden terpilih Joko Widodo. Mereka meminta Jokowi menyelesaikan sengketa agraria yang sudah puluhan tahun mereka hadapi melawan klaim TNI Angkatan Darat.

"Kami petani Urut Sewu menghadap Jokowi bersama dengan perwakilan masyarakat Lereng Pegunungan Kendeng untuk mengadukan permasalahan kami," kata juru bicara petani yang tergabung dalam Urut Sewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho, saat dihubungi, Senin, 8 September 2014.

Ia mengatakan 16 perwakilan petani Urut Sewu berangkat ke Jakarta. Mereka ditemui Jokowi pada Jumat, 5 September 2014, di kantornya.

Menurut dia, dalam pertemuan itu, mereka menerangkan persoalan yang dihadapi petani akibat latihan militer TNI AD dan klaim sepihak TNI atas tanah pantai sepanjang 324 kilometer. Mereka juga mengeluhkan adanya tambang pasir besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang yang diduga merupakan bisnis TNI.

Widodo mengatakan Jokowi menerima mereka selama setengah jam. Selain memaparkan kondisi terkini, mereka juga memperlihatkan foto-foto kerusakan lahan pertanian akibat latihan militer, korban ledakan peluru, dan pembangunan pagar pembatas oleh TNI.

Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan, Seniman, meminta Jokowi menghentikan proses pengajuan hak pakai tanah oleh TNI atas tanah masyarakat di Kecamatan Mirit. "Kami juga meminta penghentian pemagaran tanah yang hingga saat ini masih berlangsung," katanya.

Seniman menambahkan, para petani juga menuntut pencabutan izin penambangan pasir besi di wilayah pantai karena bisa merusak lingkungan. Mereka juga mendesak TNI untuk tidak menjadikan kawasan Urut Sewu sebagai tempat latihan militer dan uji coba senjata berat. "Kami juga meminta presiden terpilih agar mencabut tanah Urut Sewu dari daftar inventaris tanah aset Kodam IV/Diponegoro," katanya.


ARIS INDARTO


 http://www.tempo.co/read/news/2014/09/08/058605215/Tolak-Klaim-TNI-Petani-Urut-Sewu-Mengadu-ke-Jokowi