This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 09 Desember 2014

Pembebasan Eva Bande, Bukti Jokowi Berpihak pada Pejuang Rakyat

Selasa, 9 Desember 2014 | 21:50


Eva Bande [wordpress.com]

[JAKARTA] Grasi yang diberikan Presiden Republik Indonesia  Joko Widodo terhadap Eva Bande, ibu 3 anak yang selama ini dikenal sebagai pembela hak-hak petani yang tertindas di Sulawesi Tengah menjadi bukti komitmen pemerintahan Jokowi terhadap upaya untuk menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah di republik ini.

Sekjen Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) Adian Napitupulu mengatakan hal ini tentunya berbeda dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang justru memberikan grasi kepada bandar narkoba dan koruptor.

Misalnya saja pada 2004 terhadap terpidana kasus korupsi, mantan Bupati Kutai Kartanegara,Syaukani Hassan Rais.
Pada 2012 terhadap terpidana kasus jaringan narkoba internasional Deni Setia Maharwan alias Rapi, Muhammad Majid, Melika Franola alias Ola, warga negara Jerman Peter Achim Franz Groodmann dan warga negara Australia Schapelle Corby.

"Dua perbandingan ini membuktikan bahwa Jokowi lebih berpihak pada para pejuang-pejuang rakyat dibandingkan mereka yang menghancurkan masa depan generasi muda melalui narkoba," katanya di Jakarta, Selasa (9/12).

Pembebasan Eva Bande ini tentu berbeda dengan pembebasan Polycarpus.

Ini dikarenakan pembebasan Polycarpus tidak bisa dilepaskan dari hak Polycarpus untuk mendapatkan pembebasan bersyarat akibat dari keputusan PK yang diberikan oleh Mahkamah Agung pada 2 Oktober 2013 yang mengurangi masa hukuman Polycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun.

Disisi lain akibat remisi yang diberikan pemerintahan sebelumnya sebanyak 19 kali dengan total 51 bulan maka sesungguhnya Polycarpus akan bebas murni akibat remisi dan keputusan PK sekitar 2015 tanpa mengajukan pembebasan bersyarat.

"Dibebaskannya Eva Bande tentu tidak bisa dilepaskan dari perjuangan semua aktivis pembela HAM se-Indonesia dan pembela rakyat lainnya," ungkap Adian.

Secara ringkas kronologi terkait pembebasan Eva Bande yang ditangkap pada 15 Mei 2014 di Yogyakarta diantaranya dilakukan oleh aktivis PENA 98 dalam kesempatan pertemuan dengan Jokowi dimana Jokowi menyampaikan pernyataan terkait grasi Eva Bande secara terbuka  pada pertemuan PENA (Persatuan Nasional Aktivis) 98, pada tanggal 27 September 2014 di Bali dihadapan 600 orang aktivis 98 dari 28 propinsi.

Berikutnya atas desakan aktivis 98 Palu, Eva Bande dipindahkan dari LP kelas IIb Luwuk ke LP Petobo, Palu.

Penjemputan Eva Bande dari penjara luwuk ke LP Petobo Palu pada 28 November 2014 juga dihadiri oleh Predisium PENA 98 dari Sulawesi Tenggara, Erwin Usman SH, yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Presidium PENA 98 Sulawesi Tengah Yahdi Basma yang juga anggota komisi I DPRD provinsi Sulawesi Tengah dari Partai Nasdem, Ketua Komnas HAM Daerah Sulawesi Tengah, Dedy Azkari, Koordinator POSPERA wilayah Sulawesi Tengah, Aim K Labuangsa dan Sekjend PENA 98, Adian Napitupulu SH yang juga anggota komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP.

Sementara komunikasi yang dilakukan oleh aktivis 98 melalui berbagai jaringan yang dimiliki termasuk melalui komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly semakin intensif dan berpuncak pada tanggal 8 Desember 2014, saat aktivis pena 98 bertemu langsung dengan Presiden RI Jokowi dan Menkumham Yasona Laoly di istana negara untuk membicarakan grasi presiden terhadap Eva Bande.

Pada kesempatan itu Jokowi menyampaikan bahwa perjuangan Eva Bande untuk memperjuangkan hak-hak petani adalah perjuangan kemanusiaan. Disisi lain negara harus memulai untuk mempelopori rekonsiliasi sesama anak bangsa.

Rencananya saat dibebaskan pada 22 Desember 2014 bertepatan dengan hari ibu nanti, aktivis Eva Bande akan disambut oleh 1000 aktivis dari lintas organisasi dan generasi dari berbagai kota di Indonesia.

"Bagi seluruh aktivis khususnya PENA 98, pembebasan Eva Bande adalah kemenangan rakyat!," tutup Adian. [PR/H-15]

http://sp.beritasatu.com/home/pembebasan-eva-bande-bukti-jokowi-berpihak-pada-pejuang-rakyat/71391#.VImA22Cak9E.facebook

Rabu, 26 November 2014

Akses ke Tapak Pabrik Semen Rembang Diblokir Puluhan Ibu

Rabu, 26 November 2014 | 09:16 WIB
Terlihat ibu-ibu memblokir akses masuk ke tapak pabrik milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di wilayah hutan Desa Kadiwono Kecamatan Bulu Kabupaten Rembang, Rabu (26/11/2014) pagi sekitar pukul 06.30 WIB. (Foto:Pujianto)

BULU, mataairradio.com - Sekitar 25 orang ibu-ibu memblokir akses masuk ke tapak pabrik milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di wilayah hutan Desa Kadiwono Kecamatan Bulu Kabupaten Rembang, Rabu (26/11/2014) pagi sekitar pukul 06.30 WIB.
Akibatnya, para pekerja serta mobilisasi alat dan bahan ke tapak pabrik semen menjadi terhalang. Sebagian dari pekerja yang mestinya merampungkan pekerjaan pembangunan pabrik pagi itu terpaksa berhenti di pertigaan menuju ke arah tapak.
Joko Prianto, tokoh pendamping para ibu yang selama ini menghuni tenda penolakan rencana penambangan dan pendirian pabrik semen di wilayah Kecamatan Gunem menyebut, aksi blokir ini sebagai puncak dari kejengahan atas sikap Pemerintah yang dianggap tidak peduli dengan aspirasi mereka.
“Rekomendasi dari Komnas HAM tidak dihiraukan. Kita juga sudah surati Presiden dan 18 instansi di Jakarta minggu lalu. Saat itu, Pemerintah kami minta untuk memberesi persoalan soal semen dalam seminggu. Ini sudah jatuh tempo,” katanya.
Sikap dari Plt Bupati yang dianggap menutup mata dengan tidak merespon positif rekomendasi Komnas HAM, juga disebutnya semakin membuat para penolak pendirian pabrik semen merasa tidak pedulikan sedikit pun.
“Ketika sudah lima bulan, Pemerintah tidak merespon sedikit pun. Bupati Rembang juga sudah menutup mata, tidak peduli. Itu juga alasan ibu-ibu menggunakan caranya sendiri untuk menghentikan pabrik semen,” tegasnya.
Dia menekankan, aksi blokir akses menuju tapak pabrik semen akan berlanjut hingga tuntutan mereka untuk menghentikan sementara pendirian pabrik semen dan menarik alat berat, dipenuhi.
“Aksi ini ya sampai alat berat ditarik dan pendirian pabrik semen dihentikan sementara seperti rekomendasi Komnas HAM,” tandasnya.
Sementara itu, personel polisi dari Polsek Gunem dan Bulu tampak turun tangan melakukan pengendalian massa di lapangan.
Penulis: Pujianto | Editor: Pujianto
http://mataairradio.com/berita-top/pabrik-semen-rembang-diblokir

Kamis, 20 November 2014

Petani Sumut Duduki Kementerian Agraria

Rimanews - Sebanyak 45 dari 11 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi korban konflik agraria menduduki kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kamis (20/11), menuntut bertemu dengan Menteri Ferry Mursyidan Baldan.  

Sejak pukul 16.00 WIB, puluhan petani yang datang jauh-jauh menggunakan truk dan kapal laut itu tidak berhasil bertemu dengan Ferry Mursyidan yang juga merupakan politisi dari partai NasDem. Perwakilan petani yang tergabung di Komite Revolusi Agraria (KRA), Syamsu Hilal mengadukan adanya mafia tanah yang meyerobot lahan warga Sumatera Utara.  

Akibatnya, kata Syamsu, tanah warga yang sudah dikelola puluhan tahun saat ini dimiliki PT Perkebunan Nasional (PTPN) II, III dan IV serta perkebunan swasta dengan terbitnya surat Hak Guna Usaha (HGU). "Saya ingin ketemu menteri, bukan perwakilan. Karena dia yang punya keputusan," tegasnya di lokasi.  Hingga saat ini puluhan petani tetap bersikeras untuk menemui menteri. Namun, Rimanews mendapatkan informasi Ferry Mursyidan masih berada di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat untuk menghadiri suatu acara. 
Update : Wisnu Cipto Nugroho | Sumber : Rimanews

Gubernur Jateng akan intervensi pendirian pabrik Semen Gombong

Reporter : Chandra Iswinarno | Rabu, 20 November 2013 14:32
 
Ganjar Pranowo sidak warga Merapi. ©2013 merdeka.com/parwito

Merdeka.com - Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyatakan akan mengintervensi rencana pembangunan pabrik semen PT Gombong di Desa Nogoraji Kecamatan Buayan Kebumen Jawa Tengah. Intervensi tersebut akan dilakukannya lewat hasil analisis dampak lingkungan (Amdal).

"Ya intervensi kami hanya bisa dilakukan di Amdal. Jika ternyata hasil Amdal-nya tidak, ya nggak. Kalau hasilnya iya, ya," katanya usai menghadiri perayaan hari pangan sedunia ke 33 di Kompleks Gelora Goentoer Darjono, Rabu (20/11).

Ganjar mengatakan saat ini jangan terjebak pada karst atau bukan karst. Ganjar mengungkapkan seringkali berdebat tentang rencana pembangunan di daerah karst, tetapi ternyata setelah diselidiki bukan daerah karst, dan juga terjadi sebaliknya. Karena itu, Ganjar meminta pengusaha dan masyarakat sekitar agar jangan terburu-buru.
"Karena itulah, kuncinya sebenarnya ada pada hasil Amdal," ujarnya.

Saat ditanya tentang Kawasan Karst di Gombong Selatan yang selama ini menjadi daerah lindung, Ganjar mengatakan jika benar menjadi wilayah lindung seharusnya tidak bisa diperbolehkan. "Kalau masuk wilayah lindung ya nggak bisa, karena itu adalah tata ruang yang menjadi kontrol kendali. Jangan sampai nantinya dinegosiasikan tata ruang menjadi tata uang," ujarnya.

Sebelumnya, Site Manager PT Semen Gombong, Tineke Sunarni mengatakan saat ini semua keputusan tergantung Badan Lingkungan Hidup (BLH). Saat ini, ia mengaku masih menunggu proses yang Amdal yang sedang dilakukan di provinsi, meski pada tahun 1996 sudah ada Amdal dari pemerintah.

"Sebenarnya pada tahun 1996, kami sudah memiliki Amdal. Tetapi karena terhambat krisis moneter, tidak jadi dibangun. Sekarang kami harus mengulang prosesnya dari awal dan saat ini masih menunggu proses Amdal, karena rencana pembangunan pabrik semen ini bergantung pada hasil Amdal di Provinsi," ujarnya.

Dari Analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) PT Semen Gombong di tahun 1996, anak usaha PT Medco berencana menambang bukit kapur Gombong selatan. Dari perencanaan tersebut, perbukitan karst di Gombong Selatan akan ditambang hingga 200 tahun ke depan dengan kapasitas produksi mencapai 1,8 - 2 juta ton per tahun.

Saat ini, pabrik PT Semen Gombong sudah berlokasi di Desa Nogoraji Kecamatan Buayan dengan persiapan lahan seluas 50 hektare. Sedangkan, lahan yang akan ditambang mencapai 501 hektare dengan rincian luas bukit kapur yang akan ditambang 271 hektare dan untuk tambang tanah liat sebagai campuran bahan semen, mencapai sekitar 231 hektare. Kedua lahan tersebut berada di Kecamatan Buayan dan Rowokele.
[hhw]
 
http://www.merdeka.com/peristiwa/gubernur-jateng-akan-intervensi-pendirian-pabrik-semen-gombong.html

Rabu, 05 November 2014

MK hapus hak negara sewakan lahan ke petani

MERDEKA.COM. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 59 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Putusan ini menghapus adanya hak sewa lahan milik negara kepada petani.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Hamdan Zoelva membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (5/11).

Pasal 59 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memuat ketentuan yang mewajibkan negara memberikan kemudahan bagi petani untuk mendapat lahan pertanian dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Dengan adanya putusan ini, frasa 'hak sewa' tidak lagi memiliki kekuatan hukum.

"Frasa 'hak sewa' dalam pasal dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Hamdan.

Dalam putusan ini, MK memandang sewa menyewa lahan negara yang dilakukan oleh negara kepada petani merupakan praktik berdasarkan politik hukum peninggalan Hindia Belanda. Praktik ini sudah lama ditinggalkan sejak terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

"Menurut Mahkamah hal demikian bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UUPA yang melarang sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara," kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan pendapat MK.

Selain itu, menurut Fadlil, UU tersebut juga mewajibkan negara memberikan lahan negara bebas seluas dua hektar kepada masing-masing petani untuk diolah. Tetapi, hal itu harus dilakukan secara selektif.

"Pemberian lahan sebesar dua hektar tanah negara bebas kepada petani harus mempriotaskan kepada petani yang betul-betul belum memiliki lahan pertanian dan bukan diberikan kepada petani yang cukup kuat dan telah memiliki lahan," kata dia.

Permohonan ini diajukan oleh sejumlah LSM yang fokus pada isu kemandirian ekonomi dan pertanian seperti Serikat Petani Indonesia dan Konsorsium Pembaharuan Agraria. Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal dimaksud lantaran bertentangan dengan upaya penguatan petani untuk menciptakan kemandirian ekonomi di sektor pertanian.


sumber https://id.berita.yahoo.com/mk-hapus-hak-negara-sewakan-lahan-ke-petani-122157512.html

Petani Tak Perlu Sewa Lahan Pemerintah untuk Pertanian

Dedy Priatmojo, Nila Chrisna Yulika Rabu, 5 November 2014
 
VIVAnews - Petani Indonesia kini bebas menggunakan tanah milik pemerintah untuk dikelola sebagai lahan pertanian. Sebab, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada Rabu 5 November 2014.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa petani memperoleh lahan pertanian dan diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.

Gugatan itu diajukan oleh beberapa organisasi diantaranya Aliansi Petani Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan, Yayasan Bina Desa Sadajiwa.

Padahal pada pasal 58 ayat 1 disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian.

Mahkamah mengatakan, bahwa sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejatinya, aturan tersebut merupakan peninggalan Hindia Belanda yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat.

Namun jika negara melakukan sistem sewa, hal itu justru bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UUPA yang melarang sewamenyewa tanah antara negara dengan petani.

Menurut Mahkamah, negara dapat saja memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani, tapi negara atau pemerintah tak boleh menyewakan tanah tersebut kepada petani.

"Sewa menyewa tanah antara negara atau Pemerintah dengan petani bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Hakim MK, Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan keputusan.

Dilain hal, MK menolak permohonan pemohon yang meminta agar tanah pemerintah yang diredistribusi kepada petani menjadi hak milik petani. Sebab, pemberian hak milik kepada petani atas tanah negara bebas yang menjadikan kawasan pertanian sangat berpotensi akan mengubah kebijakan politik negara untuk mempertahankan suatu kawasan pertanian menjadi kawasan non pertanian.

Apabila diberikan hak milik kepada para petani, maka itu akan dimiliki secara turun temurun dan bebas untuk dialihkan, dan diperjualbelikan yang pada akhirnya juga dapat mengubah peruntukan kawasan pertanian menjadi peruntukan yang lain sehingga akan mengurangi kawasan pertanian.

Pemberian hak milik kepada petani, kata Ahmad memang akan memberikan kepastian kepada para petani untuk memiliki tanah, tetapi dalam hal ini pemberian hak milik tersebut akan mengancam upaya negara untuk mempertahankan suatu kawasan sebagai kawasan pertanian.

Tanpa diberikan hak milik para petani pun dapat diberdayakan untuk memanfaatkan kawasan pertanian tersebut dengan memberikan izin pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan.

Penguatan Petani


Kemudian, mengenai gugatan pasal 70 ayat, Mahkamah berpendapat penguatan kelembagaan petani memang sangat perlu dilakukan oleh negara dalam rangka pemberdayaan petani, untuk itu bisa saja negara membentuk organisasi-organisasi petani dengan tujuan memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani, namun tidak dapat diartikan bahwa negara mewajibkan petani harus masuk dalam kelembagaan yang dibuat oleh pemerintah atau negara tersebut.

Petani, kata Ahmad, harus diberikan hak dan kebebasan untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan pemerintah dan juga dapat bergabung dengan lembaga bentukan petani sendiri.

Atas pertimbangan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mengatakan bahwa frasa "sewa" dalam pasal 59 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian pada pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh petani". Sehingga pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sehingga. Pasal 70 ayat (1) selengkapnya menjadi, "Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a.Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani, c. Asosiasi Komoditas Pertanian, dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani".

Sementara kata berkewajiban dalam pasal 71 itu bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga padal 71 selengkapnya menjadi "Petani bergabung dan
berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)".

"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," kata Hamdan.

Sebelumnya, Kuasa Hukum Pemohon, Beni Dikty Sinaga menggugat UU Perlitan ini karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menyebabkan adanya pelangaran hak asasi petani. Norma tersebut tidak meredistribusi tanah kepada petani sehingga tidak ada jaminan kepastian hak atas tanah bagi petani. Pasalnya, norma tersebut hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusi kepada petani.

Tanah itu tidak menjadi hak petani tetapi hanya hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.

Hak sewa berarti petani penggarap membayar sewa terhadap negara sebagai pemiliknya. Tentunya hal tersebut menyulitkan petani untuk memperoleh kehidupan yang layak, mengingat petani merupakan masyarakat yang kurang mampu membayar sewa dan perizinan. Perlakuan itu akan menjerumuskan petani dalam perangkap lintah darat dan sistem ijon.

UU ini juga mengabaikan bentuk kelembagaan petani katena keyentuian yersebut diangap sebagai bentuk praktek korporatisme negara di mana pemerintah memfasilitasi terbentuknua dan menentukan bentuk lembaga petani.

Petani hanya diperbolehkan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan negara. Pemohon juga menganggap bahwa pemerintah telah mengintervensi hak petani untuk bebas menentukan atau ikut serta dalam keanggotaan ataupun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat. (ren)


Sumber:  http://m.news.viva.co.id/news/read/555264-petani-tak-perlu-sewa-lahan-pemerintah-untuk-pertanian

Selasa, 04 November 2014

PABRIK SEMEN REMBANG : Walhi: 607.198 Orang Bakal Kena Dampak!

Kamis, 06/11/2014 | Rini Yustiningsih | JIBI/Solopos/Antara

Ilustrasi (JIBI/Solopos/Antara)
Solopos.com, SEMARANG–Pembangunan pabrik semen Rembangmasih jadi kontroversi. Kegiatan operasional pabrik PT Semen Indonesia di Kabupatan Rembang yang saat ini masih dalam proses pembangunan dikhawatirkan menyebabkan 607.198 orang penduduk di sekitarnya akan menerima dampak buruknya.
Hal tersebut disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam gugatan yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, Kamis (6/11/2014).
Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur Satyahaprabu mengatakan ribuan warga tersebut tersebar di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang.
“Kegiatan pabrik ini nantinya dikhawatirkan menyebabkan warga terdampak ini kekurangan air,” katanya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Husein Amin Effendi tersebut.
Menurut dia, potensi air yang hilang akibat aktivitas penambangan pabrik semen tersebut diperkirakan mencapai 51 juta liter.
Ada area yang terdampak akibat kegiatan penambangan dan operasional pabrik tersebut mencapai 3.020 hektare.
“Dari kawasan seluas itu, 131,5 hektare di antaranya merupakan kawasan karst,” katanya.
Dalam perkara tersebut, Walhi bersama warga Kabupaten Rembang yang tinggal di sekitar proyek pabrik semen tersebut meminta PTUN membatalkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang ijin lingkungan kegiatan penambangan bagi pabrik Semen Indonesia di Rembang.
Menurut Muhnur, SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17/2012 tersebut bertentangan dengan sejumlah Undang-undang.
Beberapa aturan yang bertentangan dengan SK gubernur tersebut antara lain Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang rencana tata ruang wilayah nasional, dan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 tahun 2010 tengtang RTRW.
Usai pembacaan gugatan oleh Walhi sebagai penggugat, hakim memberi kesempatan pihak tergugat, masing-masing Gubernur Jawa Tengah dan PT Semen Indonesia untuk menyampaikan tanggapan.
Gubernur Jawa Tengah yang wakili oleh Biro Hukum Sekretariat Daerah dan PT Semen Indonesia sebagai pihak tergugat intervensi akan menyampaikan tanggapan pada sidang dua pekan mendatang.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto menegaskan bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang tidak akan menghilangkan sumber air karena jarak dan kedalaman area penambangan jauh dari sumber air.
Ia memberi bukti hingga saat ini di lokasi penambangan di Gresik, Jawa Timur, yang beroperasi sejak 1957 hingga 2007 tidak mengalami kekurangan air. Begitu pula di pabrik semen di Padang yang berdiri sejak 1910 hingga sekarang juga tidak ada masalah air.
http://www.solopos.com/2014/11/06/pabrik-semen-rembang-walhi-607-198-orang-bakal-kena-dampak-550332

Kamis, 23 Oktober 2014

Warga WTT Berencana Tak Ikuti Konsultasi Publik

Rencana Pembangunan Bandara

23 Oktober 2014 4:45 WIB

Foto: Istimewa

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Warga calon lokasi pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, Kulonprogo, yang tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) berencana tidak akan mengikuti tahap konsultasi publik. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pembangunan megaproyek tersebut.
Ketua WTT, Purwinto mengatakan, proses pendataan yang sedang berlangsung saat ini oleh tim persiapan pembangunan bandara merupakan proses yang tidak masuk akal.

Menurutnya, data tersebut sebenarnya sudah ada di BPN. Namun dalam data itu tidak akurat karena yang tercatat sebagian besar merupakan orang yang sudah meninggal.
“Jadi pendataan kali ini supaya dukuh mencocokkan, itu kan tidak masuk akal. Kalau dengan logika, warga yang akan kena akibat itu yang ditanya, punya tanah berapa macam, seperti sawah, ladang, atau pekarangan, sehingga jelas. Kalau data seperti itu (banyak yang sudah meninggal) yang sebagai acuan, jelas tidak masuk akal,” katanya, Rabu (22/10).

Dengan kondisi seperti itu, lanjut Purwinto, pendataan yang dilakukan hanya akal-akalan saja. WTT juga berencana tidak akan ikut dalam tahap konsultasi publik. Sebab saat pelaksanaan sosialisasi beberapa waktu lalu saja warga WTT diadang sehingga tidak bisa mengikuti sosialisasi.

“WTT tidak akan ikut itu, karena itu suatu akal-akalan saja. Prosedur urutan sosialisasi kalau terus dilanjutkan terhadap warga WTT itu suatu perlakuan yang tidak masuk akal. Sosialisasi saja tidak ikut kok mau dilanjut terus untuk mengikuti itu, kan nggak bener. Harapannya yang penting, kita tetap menolak (bandara), itu saja.,” imbuhnya.

Terpisah, Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo mengatakan, pendataan jangan dianggp sebagai sesuatu yang ketika didata artinya boleh atau setuju pembangunan bandara. Meskipun ada yang setuju dan belum setuju, pendataan merupakan hal yang penting karena menjadi jelas tanah milik siapa dan luasannya berapa. Apalagi pendataan melibatkan BPN sehingga bisa diklarifikasi bila ada data tanah yang tidak jelas.

“Pendataan ini manfaatnya besar, sehingga ikutilah pendataan ini dengan sebaik-baiknya, jangan dihubungkan dengan setuju tidak setuju bandara,” katanya.

Menurut Bupati Hasto, jika kebetulan ada tanah yang sudah dijual tapi sertifikatnya belum dipisahkan karena baru akte jual beli tanah saja, maka dengan pendataan ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengurus secara administratif. Karena bila diurus sendiri biayanya justru tidak sedikit.

“Sehingga pendataan ada manfaatnya, tidak saja saat penggantian harga tanah maupun karang kitri untuk kepentingan bandara, tapi juga untuk kepentingan secara admnstrtif warga itu sendiri,” tuturnya.

Terkait kemungkinan munculnya konflik di masyarakat saat tahap konsultasi public, Hasto mengatakan,  pihaknya telah menyiapkan upaya antisipasi. Tim tidak perlu memperkeruh suasana dengan blusukan ke desa-desa karena semua bisa dilakukan tanpa memancing suasana panas di lapangan.

“Saya sudah sampaikan pada tim, bahasa saya minimal handling minimal touch, sesedikit mungkin menyentuh. Contohnya saat pendataan tidak mengumpulkan warga dengan membawa KTP dan fotokopi sertifikat tanah, tapi pendataan di kecamatan (dengan perangkat desa). Sehingga perangkat desa dan warga kita lindungi, kita hindari jangan sampai terjadi konflik,” imbuhnya.

(Panuju Triangga/CN39/SM Network)
http://berita.suaramerdeka.com/warga-wtt-berencana-tak-ikuti-konsultasi-publik/

 

Selasa, 21 Oktober 2014

Pekan Depan, Pendataan Awal Bandara Difinalisasi

21 Oktober 2014 17:30 WIB

PASANG PATOK: Petugas tim persiapan pembangunan bandara melakukan penentuan titik hubung koordinat lokasi bandara dengan pemasangan patok. (suaramerdeka.com/Panuju Triangga)

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Pendataan awal tanah dan warga terdampak pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, Kulonprogo, rencananya akan dilakukan finalisasi pada Senin (27/10) pekan depan. Tahap selanjutnya akan dilakukan konsultasi publik pada bulan November.

Koordinator pendataan awal yang juga Kabag Pertanahan Biro Tata Pemerintahan Pemda DIY, Ismintarti mengatakan, saat ini pendataan masih berlangsung untuk menyelesaikan dua desa yakni Glagah dan Palihan. Adapun untuk Desa Kebonrejo, Jangkaran, dan Sindutan, pendataan sudah selesai.

“Diperkirakan selesai semuanya Jumat (24/10). Kendalanya karena untuk pendataan tanah memang harus dilihat satu per satu, seperti dilihat dari buku tanah dan Letter C-nya satu per satu dengan jumlah pemilik tanah ribuan. Yang paling banyak memang Glagah dan Palihan,” katanya, Selasa (21/10).

Terpisah, Anggota Tim Persiapan Pembangunan Bandara Baru (P2B2) PT Angkasa Pura (AP) I, Eko Bambang mengatakan, pemasangan patok untuk mengetahui batas garis terluar setelah adanya pengurangan lahan bandara telah selesai dilakukan Selasa (21/10).
“Sudah selesai hari ini (pemasangan patok, red), kemudian akan diselesaikan pendataan sebelum pelaksanaan konsultasi publik,” katanya.

(Panuju Triangga/CN38/SM Network)
 http://berita.suaramerdeka.com/pekan-depan-pendataan-awal-bandara-difinalisasi/

Jumat, 17 Oktober 2014

Opini Kompas: Kelembagaan Baru Reforma Agraria

Oct 17, 2014


Opini Kompas: Kelembagaan Baru Reforma Agraria
Harian Kompas 16 Okt 2014: DALAM buku Age of Extremes, The Short Twentieth Century, 1914–1991, sejarawan Eric Hobsbawm (1994) menulis bahwa “perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”.

Petani adalah kelompok rakyat di pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil hutan/laut, penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah keluarga.


Namun, modernisasi yang diawali dengan munculnya kompleks-kompleks industri telah merelokasi para petani menjadi pekerja industri seiring dengan konversi lahan pertanian, yang selanjutnya memerosotkan tingkat kesejahteraan petani.

Deklarasi “kematian petani” Hobsbawm di atas menjadi rujukan utama pelajaran perubahan agraria untuk menunjukkan nasib petani di tengah berbagai arus yang menghilangkan syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka di perdesaan.

Indikator makro “kematian petani” adalah urbanisasi dengan sisi lain berupa menurunnya jumlah penduduk perdesaan. Sekarang tercatat ada 1,2 miliar petani; berarti tinggal 40 persen dari umat manusia yang memiliki rumah tangga pertanian rakyat (small-farm household).
Penduduk di perdesaan menjadi minoritas (Philip McMichael 2012 

“Depeasantization” dalam The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization).
Dalam peta teori perubahan agraria, deklarasi itu adalah bagian dari “tesis pemusnahan” (disappearances thesis). Di perdesaan, para petani berubah menjadi pekerja tanpa tanah, menjadi bagian dari tenaga kerja atau setengah pengangguran di kota, sementara desa dan tanah dikuasai pengusaha. Tesis itu dihadapkan dengan “tesis permanen” (permanence thesis), yang meyakini bahwa hukum-hukum masyarakat petani berbeda dengan badan-badan usaha kapitalis sebagaimana Karl Marx dalam Das Kapital (1867). Menurut Marx, sistem ekonomi yang didominasi cara produksi kapitalis akan memusnahkan cara produksi pertanian rakyat dan kepemilikan tanah rumah tangga petani. 

Namun, pada tahap tertentu cara produksi pertanian rakyat akan secara struktural dilestarikan sebagai tempat orang miskin (Global Depeasantization 1945-1990, Farshad Araghi 1995).

Bagaimana di Indonesia?

Kecenderungan sama. Apa yang disebut depeasantization juga melanda perdesaan kita. Tahun 2013, Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan lahan 0,36 hektar. Ada 6,1 juta RTP di Pulau Jawa tidak memiliki lahan pertanian dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Secara agregat, saat ini 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani.

Laju penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau 129.000 ha/tahun. Setiap hari, lebih dari 353 ha lahan pertanian berubah menjadi non-pertanian (14,7 ha per jam, 0,25 ha per menit). Setiap hari, 1.408 rumah tangga (59 rumah tangga tani per jam, atau 1 menit 1 rumah tangga tani) terpaksa meninggalkan posisi kelas dan pekerjaannya.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga tani di Indonesia mencapai 26,13 juta, berarti selama sepuluh tahun terjadi penurunan 5,07 juta rumah tangga pertanian, dibanding hasil Sensus Pertanian 2003. Luas lahan pertanian keluarga semakin sempit dan arus alih profesi/migrasi petani ke sektor lain makin besar. Pada 2003-2013 terjadi penurunan 5,04 juta petani dengan lahan di bawah 0,1 ha.

Total luas lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5 persen menjadi 4,9 persen. Jumlah petani kecil dengan luasan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan petani tak bertanah 56 persen (Indonesia) dan 78 persen (Jawa). Tidak heran, petani merupakan kelompok dengan pendapatan terendah di Indonesia, rata-rata Rp 1,03 juta/bulan (BPS 2014).

Muncullah Reforma Agraria, dengan contoh klasik Meksiko yang merdeka tahun 1910. Protes agraria dan pemberontakan petani merupakan pemicu revolusi nasional untuk kemerdekaan Meksiko. Dua periode, 1910-1934 dan 1934-1940, dicatat sebagai periode land reform yang menghabisi penguasaan elite kolonial atas tanah dalam bentuk perkebunan keluarga (hacienda).

Pertama adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Álvaro Obregón Salido (1910-1934), yang berhasil meredistribusi lebih dari 53.000 km2 untuk 500.000 keluarga penerima di 1.500-an kelompok penerima tanah ejido. Tahun 1930 tanah-tanah ejido 6,3 persen dari kepemilikan nasional.

Selanjutnya, kedua, adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Lázaro Cárdenas del Río (1934-1940), yang berhasil meredistribusi 180.000 km2 (16.000 km2 berasal dari sitaan tanah pertanian dan perkebunan milik orang Amerika) untuk lebih dari 12.000 kelompok penerima. Produktivitas petani (1939-1941) melonjak tajam, paling tinggi setelah revolusi 1910.

Berdasarkan pengalaman Meksiko dan sejumlah negara pasca kolonial lain, reforma agraria bagaikan “operasi bedah yang menghilangkan sel tumor parasit” dengan cara memberi rakyat kepastian hak atas tanah, perbaikan tata guna tanah, dan untuk memacu gairah produksi yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran rakyat.

Reforma agraria bukan hanya land reform yang dimulai dengan redistribusi tanah. Secara teori, dalam buku Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Michael Lipton (2009:328) merumuskan land reform sebagai “perundang-undangan yang diniatkan dan benar-benar dijalankan untuk meredistribusi kepemilikan dan dijalankan untuk memberi manfaat kepada kaum miskin.

Reforma agraria Indonesia
 
Batu ujian pertama adalah mengurus konflik agraria struktural yang kronis di seantero Nusantara, umumnya disebabkan oleh keputusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi (izin HPH/HPHTI, HGU, kontrak karya pertambangan, dan lainnya), serta menjadi alas hukum perusahaan pemegang lisensi untuk menyingkirkan rakyat dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya.


Lebih dari itu, secara makro, reforma agraria dikerangkakan untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi. Indeks gini yang merupakan alat ukur kesenjangan pendapatan meningkat tajam hanya dalam 5 tahun: dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Jika indeks gini sudah mencapai 4,5, rakyat miskin akan sangat rentan dan mudah sekali tersulut.

Idealnya reforma agraria merupakan operasi yang digerakkan oleh pemerintah (melalui legislasi, birokrasi, program aksi) untuk menjalankan Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Apakah artinya dalam konteks sekarang? Reforma agraria merupakan janji 
Jokowi-JK, sebagaimana termuat dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi Jokowi-JK. Penanda atas komitmen itu perlu tecermin dalam arsitektur kabinet Jokowi-JK, yang dapat berbentuk badan khusus di bawah presiden untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria, selain kementerian khusus untuk reforma agraria.

Siapa pun yang menduduki jabatan tinggi dalam kelembagaan ini perlu mempelajari eksistensi dari gagasan dan praktik Reforma Agraria melalui gerakan sosial yang sejak 1995 disemai dan dikawal Konsorsium Pembaruan Agraria.

Awal Oktober 2014, koalisi dari 37 organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan Konferensi Nasional Reforma Agraria yang menghasilkan “Buku Putih Reforma Agraria”, yang dipertimbangkan secara serius.

Sebagai penanda baru, Jokowi-JK perlu mendeklarasikan bahwa kabinetnya akan sepenuhnya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam TAP MPR ini disediakan “arah kebijakan” Pembaruan Agraria, yang pada intinya adalah identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menjalankan redistribusi tanah (land reform) dengan memprioritaskan kepemilikan untuk petani miskin, menyelesaikan konflik-konflik agraria, serta menyiapkan pembiayaan dan kelembagaan yang memadai.

Tiga masalah kronis yang harus diselesaikan di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, serta konflik-konflik agraria yang kronis dan meluas.
Noer Fauzi Rachman Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia; Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Program S-2 Sosiologi Pedesaan, IPB

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009379261


http://www.kpa.or.id/?p=4753

Kamis, 16 Oktober 2014

Penuhi Panggilan, Sarijo Didampingi Ratusan Warga WTT

16 Oktober 2014 20:25 WIB 

DIPERIKSA: Ratusan warga WTT yang mendampingi Sarijo diperiksa petugas sebelum masuk ke Polres Kulonprogo, Kamis (16/10). (suaramerdeka.com/Panuju Triangga)

KULONPROGO, suaramerdeka.com – Tokoh paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT), Sarijo, memenuhi panggilan Polres Kulonprogo, Kamis (16/10), untuk dimintai keterangan terkait kejadian penyegelan Balai Desa Glagah, Kecamatan Temon. Kedatangan Sarijo didampingi ratusan warga WTT yang merupakan warga penolak bandara.

Sarijo yang juga penasehat WTT menjalani pemeriksaan sekitar dua jam di salah satu ruang unit Reskrim Polres Kulonprogo. Dia didampingi penasehat hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (LBH Kahmi) saat memberikan keterangan kepada polisi. “Pertanyaannya kurang lebih meliputi pada saat itu terjadinya pengerahan massa, kemudian konsentrasi massa, orasi-orasi dan berakhir dengan penyegelan kantor kepala desa,” kata penasehat hukum Sarijo, Kokok Sudan Sugiharto, Kamis (16/10).

Menurut Kokok, Sarijo memang mengakui melakukan orasi saat itu tetapi menyangkal melakukan penghasutan. Dalam kasus ini, ke depan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Sarijo dan akan menjalani sesuai koridor hukum.

Kasat Reskrim Polres Kulonprogo, AKP Ricky Boy Sialagan mengatakan, Sarijo dimintai keterangan dengan status sebagai saksi terkait laporan kejadian penyegelan di Balai Desa Glagah beberapa waktu lalu. Ada sekitar 22 pertanyaan, antara lain mengenai kronologi kejadian penyegelan.
“Untuk peningkatan status tersangka nanti setelah semua saksi kita periksa, kemudian kita gelar (perkara) baru kita tetapkan sebagai tersangka. Pasal yang diterapkan juga akan ditentukan lebih tepat lagi melalui gelar setelah semua fakta dan keterangan kita peroleh,” katanya.
(Panuju Triangga/CN38/SM Network)

http://berita.suaramerdeka.com/penuhi-panggilan-sarijo-didampingi-ratusan-warga-wtt/

Selasa, 14 Oktober 2014

Ijin Pertambangan Ditengarai Ancam Pembangunan Lingkungan

14 Oktober 2014 21:15 WIB

foto : ISTIMEWA

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com – Perijinan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah di Indonesia, Vietnam dan Filipina ditengarai mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan. Pasalnya, tata kelola industri ekstraktif di kawasan Asia Tenggara dinilai belum baik.

Dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumberdaya alam. Bahkan posisi Indonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13. Adapun Vietnam dan Filipina masuk di peringkat 43 dan 23.

Beberapa daerah di Indonesia, diketahui memiliki sumberdaya alam berlimpah. Namun karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk menjadikan warga sekitar yang idealnya, mendapat limpahan dari keberkahan itu, tidak mendapatkan dampak ekonomi bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.

Rektor UGM Prof Dr Pratikno MSocSc mengatakan, bahwa dampak yang kerap ditimbulkan dari kegiatan pertambangan umumnya marjinalisasi masyarakat adat, konflik horizontal dan kerusakan lingkungan. “Yang paling banyak merasakan dampak dari ketiganya adalah masyarakat lokal,”katanya.  Dia memaparkan di sela-sela pertemuan Forum Pemimpin Lokal Asia Tenggara yang diselenggarakan Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM di Hotel Phoenix.

Menurutnya, bahwa daerah yang memiliki sumberdaya alam mampu mendorong pertumbuhan industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar serta memberi peluang bagi masuknya teknologi maju. Sangat disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif itu hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal. “Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat,” katanya.

Dia berpendapat, bahwa pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar. Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
“Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya, butuh inovasi dan kreativitas,” ujarnya.

Guru besar Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM Prof Dr Purwo Santoso mengatakan, bahwa desentralisasi membawa peran yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan di bawah kewenangannya termasuk di sektor ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan. Menjelang diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), pemerintah dan tokoh lokal mau tidak mau harus berwawasan keluar karena pemimpin lokal menjadi pelaku penting dalam memberikan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya.

Bupati Kolaka Sulawesi Tenggara Ahmad Safei mengatakan, bahwa daerahnya merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi kandungan bahan tambang seperti bauksit dan nikel yang kini dikeloa PT Vale Indonesia dan PT Antam. Namun begitu, pemerintah daerah hanya kebagian dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan tambang tersebut, sementara untuk royalti diurus oleh pemerintah pusat.

“UU Minerba tidak menyinggung dana untuk daerah, yang ada perusahaan tambang membayar royalti kepada negara,” ujarnya.

Menurutnya, perusahaan tambang idealnya menyediakan dana untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar tidak hanya dalam bentuk program CSR yang dananya dipastikan tidak signifikan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.


Gubernur Compostela Valley Filipina Augusto Blanco menyatakan, konstitusi Filipina telah mengakui, menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat, yang akhirnya dituangkan dalam Indigenous Poeples Right Act (IPRA), Republic Act No 8371. 

Kelanjutan dari UU tersebut dengan didirikan Komisi Nasional Masyarakat Adat (National Commision on Indogenous Peoples-NCIP). Dari konstitusi itu, tidak boleh ada tanah leluhur yang dibuka untuk kegiatan pertambangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat. “Pembayaran royalti atas pemanfaatan sumberdaya alam juga harus disepakati dengan masyarakat adat sebagai bagian dari dana untuk kegiatan sosial ekonomi kesejahteraan masyarakat adat,”tambahnya.

(Bambang Unjianto/CN40/SM Network)


Sumber http://berita.suaramerdeka.com/ijin-pertambangan-ditengarai-ancam-pembangunan-lingkungan/

Senin, 06 Oktober 2014

Mencari Solusi Kedaulatan Pangan di Rembug Kendeng

|

Gunretno menyampaikan sambutan pembuka dalam pelaksanaan Rembug Kendeng untuk Indonesia di Omah Sonokeling, Pati, Jawa Tengah. [Foto : Tommy Apriando]

Waktu menunjukkan pukul  09.30 WIB, ketika Gunretno berdiri di depan Omah Sonokeling untuk menyambut tamu-tamu penting. Omah — yang berarti rumah dalam bahasa jawa—itu memang dibangun dari kayu pohon Sonokeling.

Dengan mengenakan “ikat jawa” warna biru, berbaju hitam lengan pendek dan bercelana hitam setinggi betis kaki itu, ia memberikan senyum, menyapa dan bersalaman menyambut setiap tamu yang datang.

Tamu datang dari berbagai instansi dan kalangan. Akedemisi, instansi pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng Utara dan lainnya.

Ya, pada hari itu, Jumat (03/10/2014), Gunretno sebagai Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) membuat acara “Rembug Kendeng Untuk Indonesia” dengan tema “Menjaga Kedaulatan Pangan Nusantara” di Omah Sonokeling di Desa Gadudero, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

“Berbagai kalangan dihadirkan agar memberikan masukan bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan dan menjaga Pegunungan Kendeng dari ancaman pembangunan pabrik semen,” kata Gunretno.

Ia mengatakan Jawa adalah pulau terpadat penduduknya, tetapi pemerintah masih ketinggalan dalam merintis luasan lahan untuk pangan. Lahan pertanian terus menyempit oleh industri, namun tidak pernah ada inisiatif untuk membuatnya semakin meluas.

“Persoalan kedaulatan pangan ibarat lapar dan kenyang. Jika kebutuhan pangan cukup maka tidak akan ada kelaparan dan masyarakat selalu kenyang, dan sebaliknya,” ujar Gunretno.

Sedangkan Kepala Bidang Ketersediaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng), Sadi, yang hadir di Rembug Kendeng mengatakan Indonesia harus berdaulat di bidang pangan, akan tetapi masih impor pangan terutama kedelai. “Kita masih usaha untuk menuju ketahanan pangan,” katanya.

Perlu tiga hal untuk mengukur ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, distribusi pangan dan keamanan. Sadi mengatakan pihaknya sedang mengembangkan pemanfaatan pekarangan rumah tangga untuk ketahanan pangan, baik di desa dan perkotaan, untuk tanaman sayur, buah, umbi-umbian dan lainnya. “Harapannya setiap Desa semakin maju, mencukupi kebutuhan pangan di desanya dan tidak ada lagi impor pangan,” katanya.

Dalam Perda Jateng No. 6/2010 tetang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jateng tahun 2009-2029, menetapkan luas lahan pertanian dibagi menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan pertanian lahan basah seluas 990.652 hektar, (2) kawasan pertanian lahan kering esluas 955.587 hektar, dan (3) lahan pertanian pangan berkelanjutan seluas 1.022.571,86 hektar.

Pertanian dan Pertambangan Semen

Pada awal Rembug Kendeng, Gunretno mengatakan masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng hidup berkecukupan dengan bertani. Akan tetapi pembangunan pabrik semen seperti yang terjadi di Blora, Rembang dan Sukolilo, Pati mengancam lahan pertanian dan ruang hidup masyarakat sekitar.

Dia menjelaskan adanya Peraturan Menteri ESDM No.2641 K /40/MEM/2014, tanggal 16 Mei 2014 tentang Bentang Alam Karst Sukolilo seluas menjadi 71,80 kilometer persegi, yang secara tidak langsung menetapkan lokasi pembangunan pabrik semen di Pati.  Karena pada Kepmen ESDM No. 0398/K/40/MEM/2005 luas kawasan karst Sukolilo seluas 118,02 kilometer persegi.

“Ada selisih 46,22 kilometer persegi. Entah kebetulan atau tidak, lokasi pendirian pabrik Semen ada pada lokasi yang selisih atau berkurang itu,” ujar Gunretno.

Goa di Kawasan Pegunugan Kendeng Utara di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando
Goa di Kawasan Pegunugan Kendeng Utara di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. 
Foto : Tommy Apriando

Padahal melalui surat tertanggal 3 September 2014, JPMMK memberikan masukan kepada tim penyusun AMDAL, yaitu  PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) tentang penolakan pendirian pabrik semen dari warga sekitar.

Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemprov Jateng, Agus Sriyanto mengatakan prinsip pembangunan harus ada keseimbangan, baik keseimbangan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial, yang menjadi dasar dikeluarkannya suatu kebijakan.
“Hadirnya pabrik semen penting untuk keseimbangan ekonomi. Namun keseimbangan lingkungan juga sangat penting untuk dipertimbangkan,” kata Agus.
Ia mengatakan pendirian pabrik semen seharusnya sudah memperhitungkan dampak lingkungan termasuk teknologi secara biologi, kimia dan fisika untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
“Terkait masalah sosial maka diperlukan hati nurani dengan mengedepankan kearifan lokal di masyarakat,” tambahnya.
Sedangkan Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa Kementerian Lingkungan Hidup, Sugeng Priyanto mengatakan bagaimana pembangunan industri harus meminimalisir dampak lingkungan dan masyarakat harus dilibatkan untuk mengetahui dampak positif dan negatifnya.

“Kebijakan yang dikeluarkan harus mengedepankan kepentingan rakyat. Tidak semata kebijakan keluar karena adanya normatif hukum yang memperbolehkannya, namun kepentingan dan kesejahteraan masyarakat harus diutamakan,” kata Sugeng.

Sementara Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemprov Jateng, Teguh Dwi Paryono mengatakan ada payung hukum dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.  Sedangkan tata ruang merupakan kebijakan “top down”, sehingga pihaknya mempertanyakan bila ada kesalahan tata ruang di tingkat kabupaten, seperti kawasan karts di Pegunungan Kendeng yang sesuai undang-undang adalah kawasan lindung, digunakan sebagai pertambangan dan pabrik semen.

“Kawasan karst Sukolilo hanya diperbolehkan untuk konservasi dan iptek. Kawasan ini adalah kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional,” kata Teguh.

Ia menambahkan, data dari Kementerian ESDM menyebutkan makin luasnya kawasan karst, sehingga dalam penggunaan kawasan karst, mulai dari perencanaan dan pembuatan AMDAL, masyarakat perlu dilibatkan dan diberitahu. “Perlu pengawasan dan keterlibatan masyarakat dalam mengawal kebijakan. Hal ini dirasakan sangat efektif,” tambahnya.

Lereng pegunungan Kendeng Utara di Sukolilo, Pati, Jateng. Terdapat petilasan (situs budaya), yang bisa terancam hilang jika pertambangan semen tetap dilakukan. Foto : Tommy Apriando
Lereng pegunungan Kendeng Utara di Sukolilo, Pati, Jateng. Terdapat petilasan (situs budaya), yang bisa terancam hilang jika pertambangan semen tetap dilakukan. Foto : Tommy Apriando

Perwakilan warga Rembang, Sukinah, mengatakan mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam pembangunan pabrik semen di Rembang, termasuk soal AMDAL. “Bertani sudah mencukupi kehidupan kami. Kami sudah sejahtera dengan bertani. 

Pertambangan Semen akan mengancam sumber air di daerah kami jadi semakin berkurang bahkan hilang,” katanya.

Dia mengharapkan gugatan mereka untuk menolak pertambangan dan pabrik semen ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jateng  bisa dikabulkan hakim. “Kami mohon doanya, kami tidak yakin adanya pertambangan membuat kami sejahtera, yang ada kami semakin sengsara,” kata Sukinah.

Pendapat Akademisi tentang Kendeng

Rindang pepohonan Sonokeling di sekitar Omah Sonokeling dimanfaatkan warga dan tamu yang hadir di Rembug Kendeng untuk berteduh. Tikar berbahan terpal warna biru dibentang dibawah pepohonan sembari mendengarkan pemaparan para pembicara.

Waktu menujukkan pukul 13.05. Beberapa tamu sedang menyantap perjamuan makan siang, sembari berbincang. Tembang-tembang Jawa dimainkan warga sembari sesi diskusi dimulai kembali.

Dosen di Institut Pertanian Bogor Soeryo Adi Wiboyo menjadi moderator pada sesi kedua, mengatakan, masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng yang mempertahankan lahan mereka dari pertambangan bukan tanpa alasan logis. Dampak pertambangan bagi lahan pertanian mengancam mereka.

“Saya sepakat dan mendukung upaya warga menolak pertambangan Semen, dan mempertahankan lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan. Selama ini tidak pernah dilakukan upaya memperluas lahan pertanian warga oleh pemerintah, yang ada lahan semakin berkurang,” katanya.

Dia berharap pemerintah tidak terus menerus pro investor, tetapi juga memikirkan kepentingan rakyat secara menyeluruh. “Buat kebijakan yang lebih memperhatikan lahan pertanian masyarakat,” kata Soeryo.

Sedangkan dokumen ANDAL PT SMS tidak terperinci menjelaskan jumlah produksi semen yang dihasilkan dan dan jumlah kebutuhan batu kapur yang akan di tambang. “Yang tertulis hanya pertambangan selama 55 tahun. Dampak dari pertambangan selama 55 tahun juga tidak dihitung,” katanya.

Pada rembug tersebut, Eko Teguh Paripurno pengajar di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta menyepakati prinsip kehati-hatian dalam mengambil kebijakan, terutama kebijakan pertambangan di kawasan karst.

Warga menolak pertambangan karena mereka yang akan terdampak pertambangan karena hilangnya sumber air yang mempengaruhi pertanian. “Jika air ditempatkan yang paling tertinggi dan bermanfaat, maka air sama dengan karst. Dimana ada air disana ada kehidupan. Dan dimana ada air yang akan hilang disitu harus kita bela dan pertahankan,” kata ET Paripurno.

Sedangkan kajian oleh Semarang Caver Association (SCA) dan JMPPK, yang didukung Acintyacunyata Speleological Club (ASC) dan Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN “Veteran” Yogyakarta pada Oktober 2013 menunjukkan perusakan ekosistem di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara memicu risiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut.

Kajian itu menunjukkan di lokasi tambang batu gamping ada 25 Goa dan satu ceruk. Di lokasi tanah liat ada dua goa dan satu ceruk. Selain itu, terdapat 30 mata air dan 5 sumur di lokasi gatu gamping, serta 11 mata air di lokasi tanah liat. Puluhan lainnya berada pada jarak kurang dari satu kilometer. Terdapat 5 mata air di barat laut di dalam area IUP PT SMS. Salah satunya adalah mata air Ronggoboyo yang juga sebagai tempat punden untuk upacara adat. Juga ada mata air Sumber Agung, Kali Cilik, dan Kali Gede yang dipergunakan untuk irigasi dengan debit terukur mencapai 303.826,5 liter/detik.

Sistem perpolitikan yang berbiaya mahal berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang meningkat. Industri yang berbahan batu gamping seharusnya tidak diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota, namun diberikan ke pusat, paling tidak di provinsi. Harapannya, kebutuhan industri di provinsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan di provinsi atau di tingkat Pulau.

“Otonomi daerah dan perpolitikan kita menyebabkan adanya ekploitasi besar-besaran,” kata Eko.

Pengajar dari Australia National University (ANU) Amrih Widodo mengatakan, kehidupan masyarakat di Pegunungan Kendeng Utara dalam hal ini “Samin” tidak bisa dipisahkan dengan alam sekitarnya, apalagi lahan pertanian.
Dia mengutip Cipto Mangunkusumo yang mengatakan samin itu bentuk anarkisme petani, karena tidak mau ikut aturan. Sementara Komunitas Samin mengatakan bahwa hasil pertanian mereka sangat tergantung dari mereka mengelola bumi, alam dan lingkungannya. Keseimbangan mengelola alam dan lingkungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Samin,” kata Amrih Widodo.

Sedangkan Eko Haryono, pengajar Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada mengatakan, kegiatan investasi berbasis sumber daya alam semakin masif sejak reformasi atau sejak otonomi daerah. Dulu, Batu gamping kewenangannya ada di pemerintah pusat, sekarang kewenangan itu ada di pemerintah daerah.

Mengutamakan Kepentingan Rakyat

Rembug Kendeng tidak hanya diskusi terkait kedaulatan pangan dan pertambangan, tetapi juga menampilkan kebudayaan dari Sahita Solo, pameran poster dan ritual adat Samin “Lamporan”.
Ritual Lamporan, merupakan bentuk ritual adat Samin menolak hadirnya pabrik semen, agar alam dan pegunungan Kendeng Utara tetap Lestari. Foto : Tommy Apriando
Ritual Lamporan, merupakan bentuk 
ritual adat Samin menolak hadirnya pabrik semen,
 agar alam dan pegunungan Kendeng Utara tetap Lestari. 
Foto : Tommy Apriando

“Ritual Lamporan ini untuk mengusir wabah penyakit/hama. Adapun Pertambangan Semen-lah yang dianggap penyakit. Sehingga, doa kami agar pegunungan kendeng terbebas dari penyakit atau pertambangan semen,” kata Gunretno.

Alissa Wahid putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang hadir dalam Rembug Kendeng kepada Mongabay mengatakan selama ini pembangunan di negeri ini lebih berpihak pada kepentingan kapital atau pemodal dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Prinsip keadilan, kejujuran dan kedaulatan rakyat tidak pernah diutamakan. Contohnya saja, jika lahan warga dibeli dengan janji untuk perkebunan, lalu praktiknya dijadikan pertambangan tentu ini adalah bentuk ketidakjujuran.

“Jika kedaulatan rakyat, keadilan dan kejujuran itu dikedepankan maka konflik sosial di masyarakat tidak akan terjadi. Seperti kata Gusdur, tidak aka nada perdamaian tanpa keadilan,” kata Alissa.

Ia menambahkan, dalam aspek pemerintahan yang baik, banyak paradigma yang salah. Pemerintah sebagai penguasa berfikir bahwa sumber daya alam itu sebagai kapital atau keuntungan yang dapat di dapat secara cepat dan besar. Tanpa berfikir pada dampaknya untuk jangka panjang. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan itu menggunakan berbagai cara termasuk kebohongan, ketidakdilan dan menyampingkan kepentingan rakyat.

Negara ini didirikan untuk kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, kepentingan rakyat diatas segalanya. “Idealnya pemerintah bisa membatalkan semua kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Atau paling tidak menghentikannya sembari melakukan pertemuan berbagai pihak untuk mencari kesimpulan yang adil dan harus mengedepankan kepentingan rakyat,” ujar Alissa Wahid.

Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Gusdur, Bondan Gunawan mengatakan, pemerintah kita dalam mengambil setiap kebijakan mempertimbakan adat istiadat masyarakatnya. Masyarakat di pegunungan Kendeng Utara saat ini mempertahankan adat dan martabat mereka.

Dia menyarankan agar mengkaji upaya penggantian pabrik semen yang melibatkan masyarakat dengan kebijakan agraris, dengan Kendeng sebagai proyek percontohan.

“Jangan menjadikan kekuasaan untuk menghadapi masyarakat. Sampai kapanpun masyarakat akan bertahan dan berjuang hingga titik penghabisan,” kata Bondan Gunawan.

Poster-poster karya seniman Pati, menyampaikan pesan tuntutan warga dan lingkungannya. Foto : Tommy Apriando
Poster-poster karya seniman Pati, 
menyampaikan pesan tuntutan warga
 dan lingkungannya. 
Foto : Tommy Apriando

Pada kesempatan itu, Muhammad Al Amien dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan mengatakan perjuangan warga Kendeng mempertahankan lahan pertaniannya merupakan perjuangan mereka menuntut hak hidup, hak atas lahan dan lingkunganya.

Walhi Sumsel juga sedang berjuang mempertahankan kawasan karst Maros dari pertambangan semen dan marmer. Harapannya nanti bisa dilakukan pertemuan lintas wilayah, yakni daerah-daerah yang kawasan karstnya terancam adanya eksploitasi.

“Mempertahankan hak kita sebagai warga itu adalah wajib. Perjuangan ini bukan untuk saat ini, namun lingkungan yang lestari sampai kedepannya nanti,” ujar Al Amien

http://www.mongabay.co.id/2014/10/06/mencari-solusi-kedaulatan-pangan-di-rembug-kendeng/