This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 25 September 2010

Perda Jateng tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
NOMOR 06 TAHUN 2010
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAERAH JAWA TENGAH
TAHUN 2009 - 2029

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TENGAH,

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka perencanaan Tata Ruang Wilayah Daerah Jawa Tengah sebagai pedoman bagi semua kegiatan pemanfaatan ruang secara optimal, serasi, seimbang, terpadu, tertib, lestari dan berkelanjutan, telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Jawa Tengah Nomor 21 Tahun 2003, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Jawa Tengah;

b. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka Peraturan Daerah sebagimana dimaksud huruf a sudah tidak sesuai lagi oleh karena itu perlu ditinjau kembali;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Jawa Tengah Tahun 2009-2029;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Negara Hal 86-92);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan Dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469) ;

7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);

9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) sebagaimana telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005);

12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);

13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

14. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);

18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

19. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);

20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapi-an (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);

21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

22. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);

24. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);

25. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);

26. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 959);

28. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);

29. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
4
30. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

31. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga-listrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

32. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

33. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);

34. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

35. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);

36. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1992 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia 1992 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3907);

37. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban, Serta Bentuk Dan Tata cara Peranserta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996, Nomor 104);

38. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969);

39. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3747);

40. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);

41. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);

42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat 5 Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);

43. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);

44. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);

45. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5056);

46. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5019);

47. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

48. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4624);

49. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);

50. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);

51. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Peme-rintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabu-paten/Kota (Lembaran 6 Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

52. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);

53. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776);

54. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);

55. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

56. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070);

57. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

58. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

59. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan Dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;

60. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Nomor 134);

61. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2004 tentang Garis Sempadan (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 Nomor 46 Seri E Nomor 7);

62. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 Nomor 5 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4);

63. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9);
7
64. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 4 Seri E Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10);

65. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 21);

66. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Irigasi (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 23);

67. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 9, Tambahan Lembaran nDaerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 24);

68. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 26);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI JAWA TENGAH
dan
GUBERNUR JAWA TENGAH
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 - 2029

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Daerah adalah Provinsi Jawa Tengah.

3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.

4. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah.

7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

8. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

9. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistim jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional.

10. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

11. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penataan ruang.

13. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

14. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan pentaan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

15. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

16. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

17. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

18. Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Jawa Tengah yang selanjutnya disingkat RTRW Provinsi Jawa Tangah adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan ruang wilayah Daerah yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan.

19. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

20. Sistim wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

21. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

22. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

23. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

24. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa Pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

25. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

26. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

27. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.

28. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

29. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

30. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.

31. Disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.

32. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.

33. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat dan badan hukum.

34. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.

35. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

36. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam 1 (satu) atau lebih Daerah Aliran Sungai dan/atau pulau-pulau kecil yangn luasnya kurang dari atau sama dengan 2000 km2.

37. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.

38. Penyidikan Tindak Pidana adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang tata ruang yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

39. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat atau Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas dan wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.

40. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungann Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Ruang lingkup RTRW Provinsi Jawa Tengah mencakup:
a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Daerah Jawa Tengah;

b. rencana struktur ruang wilayah Daerah Jawa Tengah;

c. rencana pola ruang wilayah Daerah Jawa Tengah;

d. penetapan kawasan strategis Provinsi Jawa Tengah;

e. arahan pemanfaatan ruang wilayah Daerah Jawa Tengah;

f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Daerah Jawa Tengah;

g. peran masyarakat.

BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Bagian Pertama

Tujuan

Pasal 3
Tujuan penataan ruang wilayah Daerah adalah terwujudnya ruang
Provinsi Jawa Tengah yang lestari dengan memperhatikan pemerataan
pembangunan wilayah.

Pasal 4
RTRW Provinsi Jawa Tengah menjadi pedoman untuk :
a. pembangunan dan rujukan bagi penyusunan RPJP dan RPJMD;
b. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Daerah;
c. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah Daerah serta keserasian antar sektor;
d. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat;
e. pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan;
f. penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
g. rujukan bagi penyusunan rencana penanggulangan bencana;
h. penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi

Pasal 5
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Daerah meliputi:

a. kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang;
b. kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang;
c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis.

Paragraf 1
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Struktur Ruang

Pasal 6
(1) Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a meliputi:
a. peningkatan akses pelayanan perdesaan dan pusat pertumbuhan ekonomi perdesaan;
b. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki;
c. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Daerah.

(2) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perdesaan dan pusat pertumbuhan ekonomi perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. memperlakukan sistem perdesaan sebagai kontinum dengan sistem perkotaan dalam kerangka sistem perwilayahan pembangunan Jawa Tengah.
b. mengembangkan sektor-sektor primer perdesaan melalui upaya peningkatan produktifitas tanpa mengabaikan aspek kelestarian lingkungan.
c. mengembangkan kegiatan-kegiatan non-pertanian perdesaan (rural non-farm sector).
d. mengembangkan kegiatan non-pertanian perdesaan dengan pendekatan komprehensif melalui pengembangan produksi dan pengembangan pemasaran.
e. melengkapi kawasan perdesaan dengan prasarana dan sarana, baik yang bersifat umum, sosial, dan ekonomi.
f. mengembangkan sistem pusat perdesaan yang terstruktur dengan baik yang mampu meningkatkan keterhubungan kawasan perdesaan dengan pusat-pusat kawasan perkotaan terdekatnya.

(3) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya;
b. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan;
c. memantapkan/mengendalikan perkembangan kawasan di sepanjang pantai utara dan memacu pertumbuhan kawasan di sepanjang pantai selatan;
d. mendorong pertumbuhan kawasan di Jawa Tengah bagian tengah dengan tetap mempertahankan fungsi kawasan lindung;
e. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya;
f. meningkatkan fungsi kota kecamatan yang potensial menjadi Pusat Kegiatan Lokal;
g. meningkatkan peran dan fungsi kawasan perdesaan.
h. membuka dan meningkatkan aksesibilitas kawasan perdesaan ke pusat pertumbuhan.

(4) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a. meningkatkan sistem prasarana transportasi darat guna lebih meningkatkan kelancaran proses koleksi dan distribusi barang/jasa;
b. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut dan udara;
c. mengembangkan sistem prasarana transportasi laut dan udara untuk meningkatkan aksesibilitas antar wilayah dan antar pulau.
d. mengembangkan sistem prasarana transportasi jalan raya yang terpadu dengan lintas penyeberangan antar pulau, untuk meningkatkan aksesibilitas antar kota-kota sebagai pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya serta meningkatkan interaksi antar pulau.
e. mengembangkan dan mengoptimalkan keterpaduan sistem transportasi meliputi transportasi darat, laut, dan udara, dengan tujuan meningkatkan kemampuan tiap jenis transportasi secara baik dengan efisien dan efektif;
f. mengembangkan sistem prasarana energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
g. mengembangkan prasarana telekomunikasi untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan kemampuan keterhubungan dan integrasi wilayah;
h. meningkatkan kualitas jaringan transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi secara optimal;
i. mengembangkan sistem prasarana pengairan untuk menunjang kegiatan sektor terkait pemanfaatan sumber daya air;
j. mengembangkan prasarana lingkungan permukiman untuk meningkatkan kualitas keterpaduan sistem penyediaan pelayanan regional untuk air bersih, persampahan, drainase dan limbah.

Paragraf 2
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang

Pasal 7
Kebijakan dan Strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b meliputi :
a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;
b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budidaya.

Pasal 8
(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, meliputi :
a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :

a. penetapan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;
b. mewujudkan kawasan hutan dengan luas paling sedikit 30 % (tigapuluh persen) dari luas Daerah Aliran Sungai dengan sebaran proporsional;
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;
d. mengembangkan kawasan rawan bencana sebagai kawasan lindung.

(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :

a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.

Pasal 9
(1) Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi :
a. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya;
b. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung lingkungan hidup dan daya tampung lingkungan hidup.

(2) Strategi untuk mewujudkan dan meningkatkan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;

b. mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta infrastruktur secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya;
c. mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah dan/atau nasional;
e. mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya hutan produksi, perkebunan, peternakan untuk mewujudkan nilai tambah daerah dan/atau nasional;
f. mengembangkan dan melestarikan kawasan peruntukan industri untuk mewujudkan nilai tambah dan meningkatakan perekonomian daerah dan/atau nasional;
g. mengembangkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi pada sektor perikanan dan pariwisata;
h. mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan perekonomian daerah.
i. mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya lahan untuk meningkatkan kualitas permukiman.

(3) Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung lingkungan hidup dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :

a. mengoptimalkan ruang bagi kegiatan budidaya sesuai daya dukung lingkungan hidup dan daya tampung lingkungan hidup;
b. mengembangkan secara selektif bangunan fisik di kawasan rawan bencana berdasarkan kajian teknis untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
c. mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
d. mengembangkan kawasan perkotaan dengan kecenderungan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan/atau padat dengan pendekatan perencanaan kawasan perkotaan;
e. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan;
f. mengembangkan kawasan tanah nonproduktif untuk kegiatan pembangunan non pertanian guna mempertahankan lahan pangan berkelanjutan;
g. membatasi alih fungsi lahan sawah melalui penataan perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan dan perdesaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan tidak sporadis untuk mempertahankan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya;
h. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan kawasan dari dampak bencana;
i. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat menciptakan keadilan, kesejahteraan, keharmonisan dan keberlanjutan.

Paragraf 3
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Strategis

Pasal 10
(1) Kebijakan Pengembangan Kawasan Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, meliputi :
a. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya daerah;
b. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian daerah yang produktif, efisien, dan mampu bersaing;
c. pengembangan sarana dan infrastruktur pendukung pada kawasan strategis provinsi;
d. pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
e. pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa;
f. pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia;
g. pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.

(2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis provinsi berfungsi lindung;
b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
d. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis provinsi yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun;
f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis provinsi.

(3) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian daerah yang produktif, efisien, dan mampu bersaing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis provinsi dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan;

b. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis provinsi untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan;
c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis provinsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis provinsi dengan kawasan budi daya terbangun.

(4) Strategi untuk pengembangan sarana dan infrastruktur pendukung pada kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah;
b. menciptakan iklim investasi yang kondusif;
c. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan;
d. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;
e. mengintensifkan promosi peluang investasi;
f. meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan
ekonomi.

(5) Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatsebagai-mana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. mengembangkan kegiatan penunjang dan/atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi;
b. meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya;
c. mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.

(6) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luhur;
b. mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan
c. melestarikan situs warisan budaya bangsa.

(7) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi:
a. melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya;
b. meningkatkan kepariwisataan provinsi;
c. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d. melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup.

(8) Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi ;
a. memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan;
b. membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah;
c. mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat;
d. meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan;
e. meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH DAERAH
Bagian Pertama
Umum

Pasal 11
Rencana pengembangan struktur ruang wilayah Daerah, meliputi :
a. sistem perdesaan;
b. sistem perkotaan;
c. sistem perwilayahan;
d. sistem jaringan prasarana wilayah.

Bagian Kedua
Sistem Perdesaan

Pasal 12
(1) Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, dilaku-kan dengan membentuk pusat-pusat pelayanan desa (system of rural centres) secara berhierarki pada kawasan-kawasan perdesaan dan kawasan-kawasan selain dari yang telah ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.

(2) Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pelayanan perdesaan secara berhierarki, meliputi:
a. pusat pelayanan antar desa;
b. pusat pelayanan setiap desa;
c. pusat pelayanan pada setiap dusun atau kelompok permukiman.

(3)Pusat pelayanan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berhirarkhi memiliki hubungan dengan:
a. pusat pelayanan wilayah kecamatan sebagai kawasan perkotaan terdekat;
b. perkotaan sebagai pusat pelayanan;
c. ibukota kabupaten masing-masing.

Bagian Ketiga
Sistem Perkotaan

Pasal 13
Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, terdiri dari :
a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN);
b. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);
c. Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

Pasal 14
Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi:
a. Kedungsepur, meliputi kawasan perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang dan Purwodadi;
b. Surakarta, meliputi kota Surakarta dan sekitarnya;
c. Cilacap, meliputi Kabupaten Cilacap khususnya kawasan perkotaan di dalamnya.

Pasal 15
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, meliputi Boyolali, Klaten, Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kudus, Cepu, Kota Magelang, Wonosobo, Kebumen, dan Purwokerto.

Pasal 16
Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, meliputi Brebes, Slawi-Adiwerna, Kajen, Pemalang, Batang, Wiradesa, Comal, Ampel, Bumiayu, Kroya, Ketanggungan-Kersana, Weleri, Boja, Kaliwungu, Sukorejo, Gubug, Godong, Juwana, Tayu, Pecangaan, Rembang, Blora,
Sragen, Karanganyar, Jaten, Tawangmangu, Kartasura, Sukoharjo, Delanggu, Prambanan, Mungkid, Muntilan, Borobudur, Mertoyudan, Secang, Temanggung, Parakan, Banjarnegara, Klampok, Karanganyar, Gombong, Purworejo, Purbalingga, Bobotsari, Majenang, Wangon, Ajibarang, Sokaraja dan Banyumas.

Bagian Keempat
Sistem Perwilayahan

Pasal 17
Sistem Perwilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, meliputi :
a. Kedungsepur yang meliputi Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang (Ungaran), Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Grobogan (Purwodadi), dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi, Nasional dan Internasional;
b. Juwana-Jepara-Kudus-Pati (Wanarakuti) yang berpusat di Kudus, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional;
c. Surakarta dan sekitarnya (Subosuka Wonosraten), yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi, Nasional dan Internasional;
d. Bregasmalang, yaitu Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Slawi (Kabupaten Tegal), dan Kabupaten Pemalang, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional;
e. Tangkal yang terdiri dari Kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi;
f. Purbalingga-Cilacap-Banyumas (Purbalamas) dengan pusat di Purwokerto, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional (khusus Cilacap);
g. Wonosobo-Kebumen-Banjarnegara (Wonomenjar) dengan pusat di Wonosobo, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi;
h. Purwomanggung meliputi Kabupaten Purworejo, Kota Magelang, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi;
i. Banglor yang terdiri dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora, dengan pusat di Cepu, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Prasarana Wilayah
Pasal 18
Sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d, meliputi :
a. rencana sistem jaringan prasarana transportasi;
b. rencana sistem jaringan prasarana telematika;
c. rencana sistem jaringan prasarana sumberdaya air;
d. rencana sistem jaringan prasarana energi;
e. rencana sistem jaringan prasarana lingkungan.

Paragraf 1
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Transportasi

Pasal 19
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, meliputi :
a. rencana pengembangan sistem prasarana transportasi jalan;
b. rencana pengembangan prasarana transportasi kereta api;
c. rencana pengembangan prasarana transportasi sungai, danau danpenyeberangan;
d. rencana pengembangan prasarana transportasi laut;
e. rencana pengembangan prasarana transportasi udara.

Pasal 20
(1) Rencana pengembangan sistem prasarana transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, terdiri dari :
a. prasarana jalan umum;
b. prasarana terminal penumpang jalan;
c. prasarana angkutan massal cepat perkotaan;
d. prasarana terminal barang.

(2) Prasarana jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. jalan arteri primer;
b. jalan kolektor primer;
c. jalan strategis nasional;
d. jalan tol.

(3) Prasarana terminal penumpang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. terminal tipe A;
b. terminal tipe B;
c. terminal tipe C.

(4) Prasarana angkutan massal cepat perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi :
a. angkutan Jalan Raya;
b. angkutan Rel.

(5) Prasarana terminal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. terminal kargo;
b. terminal petikemas.

Pasal 21
Rencana pengembangan jalan Arteri Primer sebagaimana dimaksud dalam (1) Pasal 20 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Jalan lingkar Brebes-Tegal, Pemalang-Pekalongan, Ambarawa, Salatiga,
Bumiayu dan Pati;
b. Tegal-Slawi-Wangon-Cilacap;
c. Kudus-Pati-Perbatasan Jawa Timur;
d. Pemalang - Batang;
e. Magelang - Yogyakarta;
f. Ruas baru lingkar metropolitan Kedungsepur;
g. Ruas baru metropolitan Subosukawonosraten;
h. Ruas baru metropolitan Bregasmalang.

(2) Rencana pengembangan jalan kolektor Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. Batas Jawa Barat – Wangon – Purwokerto – Banyumas – Wonosobo – Secang – Ambarawa – Bawen – Salatiga – Boyolali – Surakarta – Sragen;
b. Pejagan – Ketanggungan, Ketanggungan – Prupuk, Ajibarang – Purwokerto,
Purwokerto – Sokaraja, Sokaraja – Purbalinga, Slawi – Randudongkal,
Randudongkal – Moga, Randu Dongkal – Bobotsari, Purbalingga - Bobotsari,
Purbalingga – Klampok, Mandiraja – Gombong, Selokromo-Prembun, Wiradesa – Kalibening,
Kalibening – Wanayasa, Banjarnegara – Wanayasa,
Wanayasa – Batur, Batur – Wonosobo, Prembun – Selokromo, Jati – Purwodadi, Purwodadi – Godong, Surakarta – Purwodadi - Pati, Surakarta – Sukoharjo, Sukoharjo – Wonogiri, Wonogiri – Biting, Weleri-Parakan,
Kudus-Jepara, Boyolali – Blabak, Bumiayu-Randudongkal-Kajen-Bawang- Sukorejo-Sumowono-Ungaran, Magelang– Salatiga;
c. Semarang – Purwodadi – Blora dan Pengembangan ruas jalan Cepu – Blora – Rembang;
d. Bandungsari – Penanggapan – Kuningan, Kalipucang – Sidareja – Cilacap, Tawangmangu – Magetan, Klaten-Gunung Kidul, Sukoharjo-Gunung Kidul serta Wonogiri – Pacitan dan Wonogiri – Gunung Kidul ;
e. Semarang – Cilacap melalui Banjarnegara – Wonosobo – Temanggung;
f. Tempuran-Godong;

(3) Rencana pengembangan jalan stategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c, meliputi:
a. Jalan di sisi pantai selatan dari Cilacap (Slarang-Ayah), Kebumen - Purworejo - Perbatasan Yogyakarta;
b. Jalan di sisi pantai selatan dari Perbatasan Yogyakarta - Wonogiri - Perbatasan Jawa Timur.

(4) Rencana pengembangan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf d, meliputi :
a. Pemantapan Jalan tol Semarang Seksi A, Seksi B, dan Seksi C;
b. Pengembangan Jalan tol sepanjang Semarang-Solo;
c. Pengembangan Jalan tol sepanjang Semarang-Demak-Kudus-Pati- Perbatasan Jawa Timur;
d. Pengembangan Jalan tol sepanjang Perbatasan Jawa Barat – Pejagan – Pemalang – Batang – Semarang;
e. Pengembangan Jalan tol sepanjang Solo – Sragen - Perbatasan Jawa Timur;
f. Pengembangan Jalan tol sepanjang Yogyakarta – Solo;
g. Pengembangan Jalan tol sepanjang Yogyakarta – Bawen;
h. Pengembangan Jalan tol sepanjang Ciamis - Cilacap-Yogyakarta.

Pasal 22
(1) Rencana pengembangan terminal penumpang jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a, terdapat di Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kabupaten Kudus, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Magelang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Semarang, Kabupaten Tegal.

(2) Rencana pengembangan terminal penumpang jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b, terdapat Kabupaten Demak Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang.

(3) Rencana pengembangan terminal penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf c, diarahkan di semua ibukota kecamatan atau kawasan strategis yang tidak terdapat terminal tipe A dan tipe B.

Pasal 23
Rencana pengembangan angkutan massal di wilayah perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) adalah pengembangan angkutan massal cepat perkotaan di:
a. Kota Semarang;
b. Kota Purwokerto;
c. Kota Surakarta;
d. Kota Tegal.

Pasal 24
(1) Rencana pengembangan terminal kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf a, meliputi :
a. terminal barang di Rembang;
b. terminal barang di Semarang;
c. terminal barang di Kudus;
d. terminal barang di Batang;
e. terminal barang di Pekalongan;
f. terminal barang di Tegal;
g. terminal barang di Surakarta;
h. terminal barang di Purworejo;
i. terminal barang di Magelang;
j. terminal barang di Cilacap.

(2) Rencana pengembangan Terminal peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf b, meliputi :
a. peningkatan terminal peti kemas di Semarang;
b. peningkatan terminal peti kemas di Cilacap.

Pasal 25
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi :
a. kereta api regional;
b. kereta api komuter;
c. prasarana penunjang.

(2) Rencana pengembangan kereta api regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. jalur Utara menghubungkan, Semarang-Jakarta dan Semarang–Bandung;
b. jalur Selatan menghubungkan, Solo-Bandung/Jakarta dan Solo – Surabaya;
c. jalur Utara – Selatan menghubungkan, Semarang - Surabayan melalui Malang;
d. jalur Tengah menghubungkan Semarang – Solo.
e. jalur Solo – Yogyakarta;
f. jalur Cirebon – Kroya;
g. jalur Tegal – Pekalongan;
h. jalur Semarang – Pekalongan;
i. jalur Solo – Mantingan.

(3) Rencana pengembangan kereta api komuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. jalur Semarang – Demak;
b. jalur Solo-Boyolali
c. jalur Sragen – Solo – Klaten – Jogyakarta – Kutoarjo;
d. jalur Solo-Sukoharjo-Wonogiri
e. jalur Kedungjati-Tuntang-Ambarawa
f. jalur Slawi-Purwokerto
g. jalur Brumbung – Semarang – Tegal – Slawi;
h. jalur Purwokerto – Kutoarjo;
i. jalur Semarang – Cepu;
j. jalur Magelang – Yogyakarta;
k. jalur Semarang – Kudus – Pati – Rembang.

(4) Rencana pengembangan prasarana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. pengembangan lintasan underpass/flyover persimpangan kereta api di Jawa Tengah;
b. peningkatan stasiun utama di Semarang;
c. peningkatan stasiun utama di Surakarta;
d. peningkatan stasiun-stasiun kelas I, II dan III, yaitu di: Kabupaten Tegal: 2 buah stasiun, Kabupaten Brebes: 6 buah stasiun, Kabupaten Banyumas: 3 buah stasiun, Kabupaten Cilacap, 4 buah stasiun, Kabupaten Kebumen: 5 buah stasiun, Kabupaten Purworejo: 3 buah stasiun, Kabupaten Klaten: 4 buah stasiun, Kota Surakarta: 2 buah stasiun, Kabupaten Sukoharjo: 2 buah stasiun, Kabupaten Sragen: 2 buah stasiun, Kabupaten Wonogiri: 1 buah stasiun, Kabupaten Grobogan: 2 buah stasiun, Kabupaten Blora: 1 buah stasiun, Kabupaten Kendal: 2 buah stasiun, Kabupaten Batang: 1 buah stasiun, Kabupaten Pekalongan: 2 buah stasiun, Kabupaten Pemalang: 3 buah stasiun;
e. revitalisasi stasiun lama untuk rencana pengoperasian kereta komuter dan antar kota, meliputi: Stasiun Demak, Stasiun Kudus, Stasiun Pati, Stasiun Rembang, Stasiun Juwana, Stasiun Purwokerto, Stasiun Purbalingga, Stasiun Wonosobo, Stasiun Banjarnegara;
f. pengembangan stasiun di Boyolali;
g. peningkatan dry port di Jebres Surakarta.

Pasal 26
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi sungai, danau dan waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, meliputi:
a. angkutan wisata waduk di waduk Kedongombo, waduk Sempor, Waduk Wonogiri.
b. angkutan wisata sungai di Sungai Kaligarang Semarang.

(2) Rencana pengembangan prasarana transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, meliputi :
a. pelabuhan penyeberangan di Cilacap;
b. pelabuhan penyeberangan Coastal Ferry di Tegal/Brebes;
c. pelabuhan penyeberangan di Jepara;
d. pelabuhan penyeberangan di Kendal;

Pasal 27
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d, meliputi :
a. pengembangan pelabuhan umum;
b. pengembangan pelabuhan khusus.

(2) Rencana pengembangan Pelabuhan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. pelabuhan internasional Utama Sekunder yaitu Pelabuhan Tanjung Emas di Kota Semarang;
b. pelabuhan internasional Utama Tersier yaitu Pelabuhan Tanjung Intan di Kabupaten Cilacap;
c. pelabuhan regional meliputi Pelabuhan Brebes di Kabupaten Brebes, Pelabuhan Tegal di Kota Tegal, Pelabuhan Pekalongan di Kota Pekalongan, Pelabuhan Batang di Kabupaten Batang, Pelabuhan Jepara di Kabupaten Jepara, Pelabuhan Juwana di Kota Juwana, Pelabuhan Karimunjawa di Pulau Karimunjawa, Pelabuhan Rembang di Kabupaten Rembang;
d. pelabuhan lokal meliputi pelabuhan Wiradesa, pelabuhan Lasem, dan pelabuhan Pemalang.

(3) Rencana pengembangan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana tata ruang yang ada.

Pasal 28
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi :
a. pengembangan bandar udara umum;
b. pengembangan bandar udara khusus;
c. penataan kawasan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan.

(2) Pengembangan bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. bandar udara pusat penyebaran sekunder skala internasional yaitu Bandar Udara Ahmad Yani di Kota Semarang dan Bandar Udara Adisumarmo di Kota Surakarta;
b. bandar udara bukan penyebaran skala lokal yaitu Bandar Udara Wirasaba di Purbalingga dan Bandar Udara Tunggul Wulung di Cilacap;

(3) Rencana pengembangan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Bandar Udara Dewandaru di Kabupaten Jepara;
b. Bandar Udara Ngloram Cepu di Kabupaten Blora

(4) Rencana penataan kawasan keselamatan operasional penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c , meliputi:
a. Penataan kawasan di atas bandara dengan radius ± 1 km, ketinggian bangunan maksimum 15 m;
b. Penataan kawasan di sekitar bandara dengan radius ± 4 km, ketinggian bangunan maksimum 40 m;
c. Penataan kawasan di jalur pendekat pendaratan dan tinggal landas, ketinggian bangunan maksimum 15 m.

Paragraf 2
Rencana Sistem jaringan Prasarana Telematika

Pasal 29
(1) Rencana sistem jaringan prasarana telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b meliputi pengembangan jaringan telekomunikasi dan informatika.
(2) Pengembangan jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pembangunan jaringan telepon kabel (terestrial) ke semua kecamatan dan kelurahan;
b. pembangunan jaringan telepon tanpa kabel (satelit) yang menjangkau semua kawasan terutama daerah terisolir.
(3) Pengembangan sistem jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pembangunan layanan internet gratis (free hotspot) di Ibukota Kabupaten/Kota;
b. pembangunan serat optik yang menghubungkan kota-kota di pantai utara dan pantai selatan.

Paragraf 3
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Sumberdaya Air

Pasal 30
(1) Rencana pengembangan prasarana sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c berpedoman pada pola pengelolaan sumber daya air, meliputi :
a. pengembangan sungai;
b. waduk;
c. embung;
d. jaringan air bersih;
e. jaringan irigasi.

(2) Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan wilayah sungai yang ada di Jawa Tengah, meliputi:
a. Wilayah Sungai Pemali Comal;
b. Wilayah Sungai Jratun Seluna;
c. Wilayah Sungai Serayu Bogowonto;
d. Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung;
e. Wilayah Sungai Citanduy;
f. Wilayah Sungai Progo Opak Serang;
g. Wilayah Sungai Bengawan Solo;
h. Wilayah Sungai Bodri Kuto;
i. Wilayah Sungai Wiso Gelis;
j. Wilayah Sungai Karimunjawa.

(3) Pengembangan waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Kedungombo;
b. Wonogiri;
c. Sempor;
d. Cacaban;
e. Wadaslintang;
f. Sudirman;
g. Malahayu;
h. Rawapening;
i. Waduk-waduk kecil lainnya.

(4) Pengembangan embung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Pembuatan embung-embung di setiap kabupaten/kota untuk kebutuhan air baku, industri dan pertanian;
b. Pembuatan area resapan air melalui program konversi lahan tidak produktif;
c. Konservasi embung-embung eksisting yang ada di Jawa Tengah.

(5) Pengembangan jaringan air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. pembangunan bendungan di sungai-sungai yang potensial sebagai upaya memperbanyak tampungan air bagi keperluan cadangan air baku
b. pembangunan jaringan air bersih perpipaan di kawasan perkotaan
c. pembangunan jaringan perpipaan mandiri di perdesaan dari sumber air tanah dan air permukaan

(6) Pengembangan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
a. peningkatan jaringan irigasi teknis di semua Kabupaten untuk memenuhi luasan sawah lestari yang sudah ditetapkan di Jawa Tengah seluas 889.197 Ha;
b. pembangunan irigasi dari air tanah pada daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh irigasi teknis.

(7) Pengembangan waduk, embung serta pompanisasi terkait dengan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dengan mempertimbangkan:
a. daya dukung sumber daya air;
b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat;
c. kemampuan pembiayaan.

Paragraf 4
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Energi

Pasal 31

(1) Rencana pengembangan prasarana sumberdaya energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d, meliputi :
a. pengembangan prasarana kelistrikan;
b. prasarana energi Bahan Bakar Minyak dan gas.
(2) Rencana pengembangan prasarana kelistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Kabupaten Tegal, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pemalang Kabupaten Brebes, Kabupaten Magelang ,Kabupaten
Semarang , Kabupaten Kendal, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Boyolali, dan Kota Salatiga.
b. Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kabupaten-Kabupaten di Jawa Tengah.
c. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kabupaten-Kabupaten di Jawa Tengah.
d. jaringan transmisi listrik meliputi :
1. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan kapasitas 500 kVA membentang dari perbatasan Jawa Barat – Brebes – Pemalang – Semarang – Grobogan – Blora – Perbatasan Jawa Timur dan Semarang – Solo (Bandung Selatan – Ungaran, Tanjung Jati B (Jepara) - Purwodadi, Purwodadi – Ungaran, Ungaran - Pedan (Klaten), Klaten - Tasikmalaya, Klaten – Kediri);
2. Saluran Udara Tegangan Tinggi dengan kapasitas 150 kVA membentang antar kabupaten di Jawa Tengah

(3) Rencana pengembangan prasarana energi BBM dan Gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pembangunan pipa BBM Teras – Pengapon dan Cepu - Rembang - Pengapon Semarang;
b. pembangunan Depo BBM di Rembang dan Wonosobo;
c. pembangunan pipa gas Cirebon – Semarang – Bangkalan; Semarang – Kalimantan; dan Semarang – Kepodang;
d. Pembangunan pipa gas Semarang – Kendal;
e. Pembangunan pipa gas Blora – Grobogan – Demak – Semarang.

(4) Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 5
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan

Pasal 32
(1) Rencana pengembangan prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e, meliputi :
a. pengembangan prasarana persampahan;
b. prasarana limbah dan drainase.

(2) Pengembangan prasarana persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a. Tempat Pengelolaan Akhir Sampah Regional direncanakan di Metropolitan Kedungsepur, Metropolitan Bregasmalang, Metropolitan Subo sukawonosraten, dan Tangkal.
b. Tempat Pengelolaan Akhir Sampah lokal direncanakan di setiap Kabupaten yang diluar wilayah pelayanan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah regional yang berada di Metropolitan;
c. pembangunan Tempat Pengelolaan Sementara di lokasi-lokasi strategis.

(3) Pengembangan prasarana limbah dan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pembangunan tempat pengolahan limbah industri Bahan Berbahaya danBeracun;
b. pembangunan IPAL dan IPLT di kawasan perkotaan di tiap Kabupaten/Kota;
c. pengembangan sistem drainase terpadu di 35 ibukota kabupaten/kota;
d. pengembangan sumur resapan di tiap bangunan.

(4) Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan yang digunakan lintas wilayah administratif, dilaksanakan melalui :
a. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan;
b. pengalokasian tempat pembuangan akhir sesuai dengan persyaratan teknis;
c. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kaidah teknis;
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Pasal 33
Rencana struktur ruang sebagaimana disebut Pasal 11 sampai dengan Pasal
32 digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH DAERAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 34
Pola ruang wilayah Daerah menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung
dan kawasan budidaya.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 35
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, meliputi:
a. kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan
d. kawasan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi;
kawasan lindung lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Yang Memberi Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 36
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, terdiri dari:
a. kawasan hutan lindung yang dikelola oleh negara;
b. kawasan hutan lindung yang dikelola oleh masyarakat;
c. kawasan resapan air.

Pasal 37
Kawasan hutan lindung yang dikelola oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a yang tersebar di Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Jepara, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Kudus, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Wonosobo.

Pasal 38
Kawasan lindung di luar kawasan hutan lindung yang dikelola oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b terletak di Kabupaten Cilacap,Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Tegal, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, Kota Salatiga.

Pasal 39
Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c, seluas ± 114.821 ha terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Batang, Kota Salatiga, Kota Semarang.

Paragraf 2
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 40
Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, terdiri dari:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai dan saluran irigasi;
c. kawasan sekitar danau/waduk/embung;
d. kawasan sekitar mata air;
e. kawasan pantai berhutan bakau/mangrove;
f. ruang terbuka hijau kota.

Pasal 41
Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, terletak di Kabupaten/Kota yang mempunyai wilayah pantai, yaitu sebagai berikut Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal.

Pasal 42
Kawasan sempadan sungai dan saluran irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, terletak di semua wilayah Kabupaten/Kota yang dilewati oleh sungai dan saluran irigasi.

Pasal 43
Kawasan sekitar danau/waduk/embung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, tersebar di semua wilayah Kabupaten/Kota yang memiliki danau/waduk/embung.

Pasal 44
Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, tersebar di Kabupaten/Kota yang memiliki mata air;

Pasal 45
Kawasan pantai berhutan bakau/mangrove sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 huruf e, tersebar di Kabupaten/Kota di wilayah pesisir.

Pasal 46
Kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 huruf f, tersebar di tiap Kabupaten/Kota.

Paragraf 3
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Kawasan Cagar Budaya

Pasal 47
Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa;
c. taman nasional;
d. taman hutan raya;
e. kebun raya;
f. taman wisata alam dan taman wisata alam laut;
g. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Pasal 48
(1) Kawasan Cagar alam dan Suaka Marga Satwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 huruf a dan huruf b, dikembangkan berdasarkan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, khususnya tentang Kawasan Cagar Alam;
b. Kawasan cagar alam dan Suaka Marga Satwa yang ditetapkan dengan SK. Menhut No. 359/Menhut - II/2004;

(2) Kawasan Cagar alam dan Suaka Marga Satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di Kabupaten/Kota, meliputi: Cagar Alam Keling I a, b, c di Kabupaten Jepara, Cagar Alam Keling II, III di Kabupaten Jepara, Cagar Alam Kembang di Kabupaten Jepara, Cagar Alam Gunung Celering di Kabupaten Jepara, Cagar Alam Bekutuk di Kabupaten Blora, Cagar Alam Cabak I/II di Kabupaten Blora, Cagar Alam Gunung Butak di Kabupaten Rembang, Cagar Alam Gebugan di Kabupaten Semarang,
Cagar Alam Sepakung di Kabupaten Semarang, Cagar Alam Donoloyo di Kabupaten Wonogiri, Suaka Margasatwa Gunung Tunggangan di Kabupaten Sragen, Cagar Alam Pantodomas di Kabupaten Wonosobo,
Cagar Alam Telogo Dringo di Kabupaten Banjarnegara, Cagar Alam Telogo Sumurup di Kabupaten Banjarnegara, Cagar Alam Pringombo I / II di Kabupaten Banjarnegara, Cagar Alam Nusakambangan Barat di Kabupaten Cilacap, Cagar Alam Nusakambangan Timur di Kabupaten Cilacap, Cagar Alam Wijaya Kusuma di Kabupaten Cilacap , Cagar Alam Karangbolong di Kabupaten Cilacap, Cagar Alam Pagerwunung Darupono di Kabupaten Kendal, Cagar Alam Peson Subah I di Kabupaten Batang, Cagar Alam Peson Subah II di Kabupaten Batang, Cagar Alam Ulolanang Kecubung di Kabupaten Batang, Cagar Alam Bantarbolang di Kabupaten Pemalang, Cagar Alam Curug Bengkawah di Kabupaten Pemalang, Cagar Alam Moga di Kabupaten Pemalang, Cagar Alam Vak 53 Comal di Kabupaten Pemalang, Cagar Alam Guci di Kabupaten Tegal, Cagar Alam Sub Vak 18c, 19b Jatinegara di Kabupaten Tegal, Cagar Alam Telogo Ranjeng di Kabupaten Brebes.

Pasal 49
(1) Kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c, berada di darat dan di laut.
(2) Kawasan Taman Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Taman Nasional Gunung Merapi;
b. Taman Nasional Gunung Merbabu;
c. Taman Nasional Laut Karimunjawa.

Pasal 50
Kawasan taman hutan raya dan kawasan kebun raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf d dan huruf e, meliputi:
a. taman hutan raya Berjo-Ngargoyoso;
b. kebun raya Baturaden.

Pasal 51
Taman wisata alam dan wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam
(1)
Pasal 47 huruf f, dikembangkan berdasarkan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Nasional, khususnya tentang Kawasan Cagar Alam;
b. taman wisata yang telah ditetapkan berdasarkan melalui
SK. Menhut no. 359/ Menhut – II/ 2004;
c. hasil Penataan Ulang Perum Perhutani Jawa Tengah.
(2) Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi :
a. Taman Wisata Alam Alam Gunung Selok di Kabupaten
Cilacap;
b. Taman Wisata Alam Tlogo Warno/Pengilon di
Kabupaten Wonosobo;
c. Taman Wisata Alam Grojogan Sewu di Kabupaten
Karanganyar;
d. Taman Wisata Alam Sumber Senen di Kabupaten
Rembang;
34
e. Taman Wisata Alam Tuksongo di Kabupaten Semarang;
f. Taman Wisata Perairan Laut di Kepulauan
Karimunjawa;
g. Taman Wisata Perairan Laut Pulau Panjang di
Kabupaten Jepara;
Taman Wisata Perairan Laut Ujung Negoro di
h.
Kabupaten Tegal;
i. Kawasan Segara Anakan di Kabupaten Cilacap.
Pasal 52
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf g, berada di Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota
Salatiga, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Jepara, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Wonogiri, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Banjarnegara, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten
Pemalang, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten
Batang.
Paragraf 4
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 53
Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d,
terdiri dari:
kawasan rawan banjir;
a.
b. kawasan rawan tanah longsor;
c. kawasan rawan letusan gunung berapi;
d. kawasan rawan gempa bumi;
e. kawasan rawan gelombang pasang;
f. kawasan rawan tsunami;
kawasan rawan kekeringan;
g.
h. kawasan rawan abrasi;
i. kawasan rawan pencemaran
kawasan rawan angin puting beliung.
j.
Pasal 54
Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a, terletak
di Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang, Kabupaten Blora, Kabupaten
Brebes, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten
Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang,
Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Rembang,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Sragen, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota
Semarang.
35
Pasal 55
Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b,
berada di Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang,
Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten
Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonogiri, Kota Semarang.
Pasal 56
Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud dalam 53 huruf
c, berada di kawasan Gunung Merapi dan Kawasan Gunung Slamet, meliputi
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Magelang, Kabupa-
ten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap.
Pasal 57
Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf d,
berada di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Klaten.
Pasal 58
Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
huruf e berada di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Purworejo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota
Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan,
Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang.
Pasal 59
Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 53 huruf f
berada di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo dan
Kabupaten Wonogiri.
Pasal 60
Kawasan rawan kekeringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf g
dilihat dari aspek ketersediaan air berada di Kabupaten Brebes, Kabupaten
Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Purwodadi, Kabupaten Pati,
Kabupa-ten Demak, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Wonogiri.
Pasal 61
Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf h berada
di Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati,
36
Kabupaten Rembang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Tegal,
Kabupaten Kendal, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang.
Pasal 62
Kawasan rawan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf i
berada di semua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Pasal 63
Kawasan rawan angin puting beliung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 huruf j berada di Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Demak, Kota Semarang dan Kota Pekalongan.
Paragraf 5
Kawasan Lindung Geologi
Pasal 64
Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e,
terdiri dari:
kawasan lindung karst;
a.
b. kawasan cagar alam geologi;
c. kawasan imbuhan air.
Pasal 65
Kawasan lindung karst sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a adalah
kawasan karst Sukolilo, kawasan karst Pracimantoro, kawasan karst
Karangbolong.
Pasal 66
Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b
terletak di Karangsambung Kabupaten Kebumen.
Pasal 67
Kawasan Imbuhan Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c, meliputi
kawasan resapan air tanah pada Cekungan Majenang, Cekungan Sidareja,
Cekungan Nusa Kambangan, Cekungan Cilacap, Cekungan Kroya, Cekungan
Banyuwudal, Cekungan Purwokerto – Purbalingga, Cekungan Kebumen -
Purworejo, Cekungan Wonosobo, Cekungan Magelang – Temanggung,
Cekungan Karanganyar - Boyolali, Cekungan Belimbing, Cekungan Eromoko,
Cekungan Giritontro, Cekungan Semarang – Demak, Cekungan Randublatung,
Cekungan Watuputih, Cekungan Lasem, Cekungan Pati – Rembang, Cekungan
Kudus, Cekungan Jepara, Cekungan Ungaran, Cekungan Sidomulyo,
Cekungan Rawapening, Cekungan Salatiga, Cekungan Kendal, Cekungan
Subah, Cekungan Karang Kobar, Cekungan Pekalongan – Pemalang,
Cekungan Tegal – Brebes, Cekungan Lebaksiu.
37
Paragraf 6
Kawasan lindung lainnya
Pasal 68
Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e,
lainnya terdiri dari:
a. kawasan perlindungan plasma nutfah;
b. kawasan pengungsian satwa.
Pasal 69
Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(1)
68 huruf a, meliputi :
a. Kawasan perlindungan plasma nutfah di daratan;
b. Kawasan perlindungan plasma nutfah di perairan.
Sebaran kawasan perlindungan Plasma Nutfah di daratan sebagaimana di-
(2)
maksud pada ayat (1) huruf a meliputi Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten
Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten
Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten
Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang.
Sebaran kawasan plasma nutfah perairan sebagaimana dimaksud pada
(3)
ayat (1) huruf b, meliputi Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten
Demak, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pemalang,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, Kota Pekalongan,
Kota Tegal.
Pasal 70
Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b,
berada di Srondol Kota Semarang.
Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya
Pasal 71
Pola ruang untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
meliputi:
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan hutan rakyat;
c. kawasan pertanian;
d. kawasan peruntukkan perkebunan;
e. kawasan peruntukkan peternakan;
38
f. kawasan peruntukkan perikanan;
g. kawasan peruntukkan pertambangan;
h. kawasan peruntukan industri;
i. kawasan peruntukkan pariwisata;
j. kawasan peruntukkan permukiman;
k. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil;
Paragraf 1
Kawasan Hutan Produksi
Pasal 72
(1) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ditetap-kan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
359/Menhut-II/2004.
(2) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. kawasan hutan produksi terbatas;
b. kawasan hutan produksi tetap;
Pasal 73
Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat
(2) huruf a, berada di Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Batang, Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes,
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Kudus, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Purworejo, Kabupaten Rembang, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Wonosobo.
Pasal 74
Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2)
huruf b, terletak di Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Batang, Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten
Cilacap, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Kudus, Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Purworejo, Kabupaten Rembang, Kota Semarang, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Tegal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Wonosobo.
Paragraf 2
Kawasan Hutan Rakyat
Pasal 75
Kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b, terletak
di Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Batang,
39
Kabupaten Blora, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jepara, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Kendal, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Kudus, Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Kabupaten Pati,
Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Rembang, Kota Salatiga,
Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kabupaten Sragen,Kabupaten
Sukoharjo,Kota Surakarta, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Wonosobo .
Paragraf 3
Kawasan pertanian
Pasal 76
Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c
meliputi :
a. kawasan pertanian lahan basah;
b. kawasan pertanian lahan kering.
Pasal 77
Kawasan pertanian lahan basah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
huruf a diarahkan dan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai kawasan lahan
abadi pertanian pangan terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen,
Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kota
Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten
Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten
Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, Kota Surakarta.
Pasal 78
Kawasan pertanian lahan kering sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
huruf b diarahkan dan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai kawasan
lahan pertanian pangan kering terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten
Magelang, Kota Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten
Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung,
Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan,
Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, Kota Surakarta.
40
Paragraf 4
Kawasan Peruntukkan Perkebunan
Pasal 79
Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d, terdiri
dari :
a. Perkebunan Rakyat,
b. PTP Nusantara IX;
c. Perkebunan Besar Swasta.
Pasal 80
Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e,
(1)
meliputi:
a. peternakan besar dan kecil;
b. peternakan unggas.
Kawasan peternakan besar dan kecil sebagaimana dimaksud ayat (1)
(2)
huruf a, terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten
Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal.
Peternakan unggas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terletak
(3)
di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes,
Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota
Pekalongan, Kota Tegal.
Paragraf 5
Kawasan Peruntukkan Perikanan
Pasal 81
Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf f, terdiri
dari :
a. perikanan tangkap;
41
perikanan budidaya air payau;
b.
c. perikanan budidaya air tawar;
d. perikanan budidaya laut.
Pasal 82
(1) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf
a, terdiri dari :
perikanan tangkap di laut yang memanfaatkan potensi perairan
a.
Pantai Utara dan Pantai Selatan;
perikanan tangkap di perairan umum yang memanfaatkan potensi
b.
danau, waduk, rawa, sungai dan embung.
(2) Lahan perikanan budidaya air payau, perikanan budidaya air tawar, dan
perikanan budidaya air laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf
b, huruf, c dan huruf d, terletak di Kab Brebes, Kota Tegal, Kab Tegal, Kota
Pekalongan, Kab Pekalongan, Kab Pemalang, Kab Batang, Kab Kendal,
Kota Semarang, Kab Kudus, Kab Pati, Kab Rembang, Kab Demak, Kab
Jepara, Kab Banyumas, Kab Purbalingga, Kab Temanggung, Kab
Banjarnegara, Kab Magelang, Kab Wonosobo, Kab Boyolali, Kota
Magelang, Kab Semarang, Kota Salatiga, Kab Grobogan, Kab Sragen,
Kabupaten Blora, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Klaten, Kota Surakarta, Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Purworejo.
Paragraf 6
Kawasan pertambangan
Pasal 83
Kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g,
meliputi :
a. kawasan pertambangan mineral dan batubara;
b. kawasan pertambangan panas bumi;
c. kawasan pertambangan minyak dan gas bumi.
Pasal 84
Kawasan pertambangan mineral dan batubara, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 huruf a, terletak di:
a. kawasan Majenang – Bantarkawung di Kabupaten Brebes, Banyumas dan
Cilacap;
b. kawasan Serayu – Pantai Selatan di Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Kebumen, Wonosobo dan Purworejo;
c. kawasan Gunung Slamet terletak di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang,
Purbalingga dan Banyumas;
d. kawasan Sumbing – Sindoro – Dieng di Kabupaten Magelang, di
Kabupaten Temanggung, di Kabupaten Wonosobo, di Kabupaten
Bajarnegara, di Kabupaten Purbalingga, di Kabupaten Pemalang, di
Kabupaten Pekalongan dan di Kabupaten Batang;
e. kawasan Merapi – Merbabu – Ungaran di di Kabupaten Magelang, Klaten,
Boyolali, Salatiga dan Semarang;
f. kawasan Gunung Muria di Kabupaten Pati, Jepara, dan Kudus;
42
g. kawasan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Kudus, Pati, Rembang,
Blora, dan Grobogan;
h. kawasan Kendeng Selatan di Kabupaten Grobogan, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Boyolali dan sedikit wilayah Kabupaten Blora;
i. kawasan Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Wonogiri;
j. kawasan Pegunungan Selatan di Kabupaten Wonogiri;
k. kawasan Serayu – Pantai Utara di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Batang, Kendal serta Kota Tegal dan Kota Pekalongan.
Pasal 85
Kawasan pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
huruf b, terletak di:
Dataran tinggi Dieng di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo;
a.
Gunung Slamet di Kabupaten Tegal, di Kabupaten Banyumas, di
b.
Kabupaten Pemalang dan di Kabupaten Brebes;
Gunung Telomoyo di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang;
c.
Gunung Ungaran di Kabupaten Semarang dan di Kabupaten Kendal;
d.
Gunung Lawu di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar;
e.
Kaki Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang, Kabupaten Semarang,
f.
Kabupaten Boyolali dan Kota Salatiga.
Pasal 86
Kawasan pertambangan minyak dan gas bumi, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 huruf c, terletak di Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal,
Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota
Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara dan Kabupaten
Demak, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purworejo, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten
Klaten, Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang.
Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 87
Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf
h, meliputi:
a. Wilayah Industri;
b. kawasan Industri;
c. kawasan Berikat;
d. kawasan Ekonomi Khusus.

Pasal 88
Wilayah Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, meliputi :
a. Wilayah industri Bawen, Klepu dan Susukan di Kabupaten Semarang;
b. Wilayah industri Kecamatan Genuk, Tugu, Ngaliyan dan Semarang Utara
di Kota Semarang;
c. Wilayah industri Kecamatan Argomulyo di Kota Salatiga;
d. Wilayah industri Kecamatan Kaliwungu di Kabupaten Kendal;
e. Wilayah industri Sayung, Karangawen, Mranggen dan Karangtengah
di Kabupaten Demak;
f. Wilayah industri Kecamatan Toroh, Gubug dan Getasrejo di Kabupaten Grobogan;
g. Wilayah industri Kecamatan Pati, Margorejo, Juwana, Sukolilo, Margoyoso, Tayu, Trangkil di Kabupaten Pati;
h. Wilayah industri Kecamatan Rembang dan Sluke di Kabupaten Rembang;
i. Wilayah industri Kecamatan Kota, Randublatung dan Ngawen di Kabupaten Blora;
j. Wilayah industri Kecamatan Bae dan Jekulo di Kabupaten Kudus;
k. Wilayah industri Kecamatan Mayong dan Jepara di Kabupaten Jepara.;
l. Wilayah industri Kecamatan Gemolong, Purwosuman, Duyungan di Kabupaten Sragen.
m. Wilayah industri Kecamatan Musuk, Kawasan Industri Cepogo, Kawasan Industri Ampel, Kawasan Industri Boyolali, Kawasan Industri Teras dan Kawasan Industri Mojosongo di Kabupaten Boyolali;
n. Wilayah industri Kecamatan Pedan, Klaten Tengah, Ceper, dan Prambanan di Kabupaten Klaten;
o. Wilayah industri Kecamatan Jaten dan Gondangrejo di Kabupaten Karanganyar.
p. Wilayah industri Kecamatan Polokarto dan Nguter di Kabupaten Sukoharjo;
q. Wilayah industri Kecamatan Selogiri dan Kecamatan Wonogiri di Kabupaten Wonogiri;
r. Wilayah industri Kecamatan Tempuran di Kabupaten Magelang;
s. Wilayah industri Kecamatan Bayan di Kabupaten Purworejo;
t. Wilayah industri Kecamatan Rowokele, Gombong di Kabupaten Kebumen;
u. Wilayah industri Kecamatan Kranggan dan Pringsurat di Kabupaten Temanggung.
v. Wilayah industri Kecamatan Selomerto di Kabupaten Wonosobo;
w. Wilayah industri Kecamatan Ajibarang dan Wangon di Kabupaten Banyumas;
x. Wilayah industri Kecamatan Jeruklegi di Kabupaten Cilacap;
y. Wilayah industri Kecamatan Kalimanah dan Kemangkon di Kabupaten Purbalingga;
z. Wilayah industri Kecamatan Sigaluh dan Susukan di Kabupaten Banjarnegara;
aa. Wilayah industri Kecamatan Pekalongan Timur dan Pekalongan Utara di Kota Pekalongan;
bb. Wilayah industri Kecamatan Rembun, Pait, Sragi, Kedungwuni dan Wonopringgo di Kabupaten Pekalongan;
cc. Wilayah industri Kecamatan Pemalang, Pemalang Pelautan di Kabupaten Pemalang;
dd. Wilayah industri Kecamatan Tegal Barat dan Tegal Timur di Kota Tegal;
ee. Wilayah industri Kecamatan Kramat di Kabupaten Tegal;
ff. Wilayah industri Kecamatan Bulakamba di Kabupaten Brebes.
gg. Wilayah industri Kecamatan Tulis dan Gringsing di Kabupaten Batang.

Pasal 89
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b, meliputi:
a. Kawasan industri Musuk, Cepogo, Ampel, Boyolali, Teras dan Mojosongo di Kabupaten Boyolali;
b. Kawasan industri Klaten Tengah, Prambanan di Kabupaten Klaten;
c. Kawasan industri Polokarto dan Nguter di Kabupaten Sukoharjo;
d. Kawasan industri Argomulyo Kota Salatiga;
e. Kawasan industri Jaten dan Gondangrejo di Kabupaten Karanganyar;
f. Kawasan industri Bawen, Klepu dan Susukan di Kabupaten Semarang;
g. Kawasan industri Gemolong, Purwosuman, Duyungan di Kabupaten Sragen;
h. Kawasan industri Sayung, Karangawen, Mranggen dan Karangtengah di Kabupaten Demak;
i. Kawasan industri Kaliwungu di Kabupaten Kendal;
j. Kawasan industri Tugu dan Genuk di Kota Semarang.

Pasal 90
Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf c, terletak di Kabupaten/Kota sebagai berikut :
a. Kawasan sekitar Pelabuhan Tanjung Emas di Kota Semarang;
b. Kawasan sekitar Pelabuhan Tanjung Intan di Kabupaten Cilacap.

Pasal 91
Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf d, terletak di Kabupaten Kendal dengan luas lahan ± 2.830 hektar.

Paragraf 8
Kawasan Pariwisata

Pasal 92
Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf i, terdiri dari :
a. wilayah pengembangan pariwisata A;
b. wilayah pengembangan pariwisata B;
c. wilayah pengembangan pariwisata C;
d. wilayah pengembangan pariwisata D.

Pasal 93
(1) Wilayah Pengembangan Pariwisata A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a, meliputi :
a. koridor Borobudur-Prambanan-Surakarta;
b. koridor Borobudur-Magelang-Purworejo dengan pusat pengembangan di Kota Surakarta.

(2) Objek yang termasuk dalam lingkup wilayah pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Candi Borobudur;
b. Prambanan;
c. Keraton Solo (Mangkunegaran dan Kasunanan) dan Keraton Yogya;
d. Museum Sangiran;
e. Museum Karst Wonogiri;
f. Candi Sukuh;
g. Objek-objek lain yang berada di sepanjang koridor.

Pasal 94
(1) Wilayah Pengembangan Pariwisata B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf b, meliputi :
a. koridor Semarang-Demak-Kudus-Jepara;
b. koridor Semarang-Ambarawa-Wonosobo.
(2) Objek yang termasuk dalam wilayah pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. objek-objek wisata budaya di Semarang;
b. Kepulauan Karimunjawa;
c. Mesjid Agung Demak;
d. Mesjid Kudus dan Museum Kretek;
e. Dataran Tinggi Dieng.

Pasal 95
Wilayah Pengembangan Pariwisata C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92
huruf c, adalah koridor Batang-Pekalongan-Pemalang-Tegal-Brebes dengan
pusat pengembangan di Tegal.
Pasal 96
(1) Wilayah pengembangan pariwisata D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf d, meliputi :
a. koridor Cilacap-Banyumas-Purbalingga-Banjarnegara;
b. koridor Cilacap-Kebumen.

(2) Pusat pengembangan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di Cilacap.
(3) Objek wisata yang termasuk dalam wilayah pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. Baturraden;
b. Nusa Kambangan dan sekitarnya;
c. Pantai Widara Payung;
d. Goa Karangbolong.

Paragraf 9
Kawasan Permukiman

Pasal 97
Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf j, meliputi:
a. Permukiman perdesaan;
b. Permukiman perkotaan.

Pasal 98
Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf a, adalah kawasan yang berada di sekitar kawasan perdesaan.

Pasal 99
Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf b, adalah kawasan yang berada di kawasan perkotaan.

Paragraf 10
Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 100
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf h, meliputi :
a. Kota Pesisir Metro dan
b. Kota Pesisir Semi Metro;
c. Kota Pesisir Modern;
d. Kawasan Pulau-Pulau Kecil.

Pasal 101
Kawasan Kota Pesisir Metro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a, meliputi :
a. Kota Semarang;
b. Kota Pekalongan;
c. Kota Tegal;
d. Kabupaten Cilacap.

Pasal 102
Kawasan Kota Pesisir Semi Metro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b, meliputi Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Demak, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Wonogiri.

Pasal 103
Kawasan Kota Pesisir Modern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf d, terletak di kawasan Marina Kota Semarang.

Pasal 104
Kawasan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf e,terdiri atas:
a. 27 Pulau di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara;
b. Pulau Panjang dan Pulau Mandalika di Kabupaten Jepara;
c. Pulau Marongan, P. Gede dan Pulau Sualan di Kabupaten Rembang;
d. Pulau Nusakambangan di Kabupaten Cilacap.
47
Pasal 105
Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan
Pasal 103 digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB VI
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS PROVINSI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 106
Kawasan strategis di Provinsi Jawa Tengah meliputi:
a. Kawasan untuk kepentingan pertahanan keamanan;
b. Kawasan untuk kepentingan Pertumbuhan ekonomi;
c. Kawasan untuk kepentingan sosio-kultural;
d. Kawasan untuk kepentingan teknologi tinggi;
e. Kawasan untuk kepentingan penyelamatan lingkungan hidup.

Bagian Kedua
Kawasan Untuk Kepentingan Pertahanan Dan Keamanan
Pasal 107
Rencana pengembangan kawasan untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a, meliputi :
a. Kawasan Bandara Ahmad Yani di Kota Semarang;
b. Kawasan Akademi Militer di Kota dan Kabupaten Magelang;
c. Kawasan Karimunjawa di Kabupaten Jepara;
d. Kawasan Nusakambangan di Kabupaten Cilacap;
e. Kawasan Tunggulwulung di Kabupaten Cilacap;
f. Kawasan Mirit di Kabupaten Kebumen;
g. Kawasan Kandang Menjangan di Kabupaten Sukoharjo;
h. Kawasan Wirasaba di Kabupaten Purbalingga;
i. Kawasan Bandara Adi Sumarmo di Kota Surakarta;
j. Kawasan Martoloyo di Kabupaten Tegal.

Bagian Ketiga
Kawasan Untuk Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi

Pasal 108
Rencana pengembangan kawasan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b, terdiri dari :
a. Kawasan Perkotaan Kedungsepur;
b. Kawasan Perkotaan Subosuko Wonosraten;
c. Kawasan Perkotaan Bregasmalang;
d. Kawasan Perkotaan Wanarakuti;
e. Kawasan Perkotaan Klaten;
f. Kawasan Perkotaan Purwokerto ;
g. Kawasan Perkotaan Pekalongan;
h. Kawasan Perkotaan Magelang;
i. Kawasan Perkotaan Cilacap;
j. Kawasan Perkotaan Kebumen;
k. Kawasan Perkotaan Purworejo-Kutoarjo;
l. Kawasan Jawa Tengah bagian Selatan;
m. Kawasan Agropolitan Jawa Tengah;
n. Kawasan Pacangsanak;
o. Kawasan Perbatasan Cibening;
p. Kawasan Perbatasan Ratubangnegoro;
q. Kawasan Perbatasan Pawonsari;
r. Kawasan Perbatasan Purwokulon;
s. Kawasan Majenang;
t. Kawasan Bumiayu.

Bagian Keempat
Kawasan Untuk Kepentingan Sosio-Kultural

Pasal 109
Rencana Pengembangan kepentingan sosio kultural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c, meliputi :
a. Kawasan Candi Prambanan;
b. Kawasan Candi Borobudur;
c. Kawasan Kraton Surakarta dan Mangkunegaran;
d. Kawasan Candi Gedongsongo;
e. Kawasan Candi Cetho dan Candi Sukuh;
f. Kawasan Sangiran;
g. Kawasan Masjid Agung Demak dan Kadilangu;
h. Kawasan Menara Kudus dan Gunung Muria;
i. Kawasan Kota Lama dan Gedong Batu Semarang.

Bagian Kelima
Pengembangan Kawasan Untuk Kepentingan Teknologi Tinggi
Pasal 110
Rencana pengembangan kawasan untuk kepentingan teknologi tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d, meliputi :
a. Kawasan Muria;
b. Kawasan Cilacap;
c. Kawasan Rembang;
d. Kawasan Mangkang;
e. Kawasan Karangsambung;
f. Kawasan Blok Cepu.

Bagian Keenam
Pengembangan Kawasan Untuk Kepentingan
Penyelamatan Lingkungan Hidup

Pasal 111
Rencana pengembangan kawasan untuk kepentingan penyelamatan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud Pasal 106 huruf e, meliputi :
a. Kawasan Taman Nasional Merapi;
b. Kawasan Taman Nasional Merbabu;
c. Kawasan Taman Nasional Karimunjawa;
d. Kawasan Dataran Tinggi Dieng;
e. Kawasan Sindoro Sumbing;
f. Kawasan Rawa Pening;
g. Kawasan Daerah Aliran Sungai Kaligarang;
h. Kawasan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo;
i. Kawasan Daerah Aliran Sungai Citanduy;
j. Kawasan Daerah Aliran Sungai Jratun Seluna;
k. Kawasan Daerah Aliran Sungai Serayu Progo;
l. Kawasan Daerah Aliran Sungai Pemali Comal;
m. Kawasan Kebun Raya Baturraden;
n. Kawasan Karst Sukolilo;
o. Kawasan Karst Gombong;
p. Kawasan Karst Blora;
q. Kawasan Karst Wonogiri;
r. Kawasan Bledug Kuwu dan Karst Grobogan;
s. Kawasan Pantai Ujung Negoro-Roban.

BAB VII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Pemanfaatan Ruang Wilayah
Pasal 112
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan
(1)
ruang beserta pembiayaannya.
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam
(2)
rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan
tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan
sumberdaya alam lain.
Bagian Kedua
Perumusan Kebijakan Strategis Operasional
50
Pasal 113
Koordinasi penataan ruang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi
(1)
Penataan Ruang Daerah.
Struktur organisasi tugas dan kewenangan Badan Koordonasi Penataan
(2)
Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Gubernur.
Pasal 114
Penataan ruang Daerah dilaksanakan secara sinergis dengan Peraturan
(1)
Daerah Provinsi yang berbatasan.
Penataan ruang dilaksanakan secara menerus dan sinergis antara
(2)
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Bagian Ketiga
Prioritas dan Tahapan Pembangunan
Pasal 115
Prioritas Pelaksanaan Pembangunan disusun berdasarkan atas
(1)
kemampuan Pembiayaan dan kegiatan yang mempunyai efek
mengganda sesuai arahan umum pembangunan daerah.
Program Pembiayaan terdiri atas:
(2)
program utama;
a.
sumber Pembiayaan;
b.
instansi Pelaksana adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah.
c.
BAB VIII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 116
Pengendalian Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui penetapan:
a. Peraturan zonasi;
b. Perizinan;
c. Pemberian insentif dan disinsentif;
d. Pengenaan sanksi.
Bagian Kedua
Peraturan Zonasi
Pasal 117
Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 huruf a
(1)
disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang, serta
berdasarkan rencana kawasan strategis untuk setiap zona
pemanfaatan ruang.
51
(2) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. peraturan zonasi pada kawasan lindung;
b. peraturan zonasi pada kawasan budidaya;
c. peraturan zonasi pada sistem jaringan prasarana wilayah.
Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhatikan :
(3)
Kawasan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan;
a.
b. Kawasan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi;
c. Kawasan untuk kepentingan sosio-kultural;
d. Kawasan untuk kepentingan teknologi tinggi.
Pengaturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
(4)
diatur dengan Peraturan Daerah.
Bagian Ketiga
Perizinan
Pasal 118
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 huruf b, merupakan
(1)
perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum
pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai alat pengendali
(2)
pengembangan ruang, meliputi :
izin lokasi yang menyangkut ruang;
a.
izin ruang yang mencakup koefisien lantai bangunan dan garis sempadan
b.
bangunan;
izin kualitas ruang yang merupakan kondisi ruang yang harus dicapai
c.
setelah dimanfaatkan.
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
(3)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pemberian insentif dan disinsentif
Pasal 119
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 116 huruf c, dapat
(1)
berbentuk:
keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan,
a.
sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan;
d. pemberian sertifikasi tanah untuk masyarakat;
e. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau
Pemerintah daerah.
(2) Pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud pada Pasal 116 huruf c,
dapat berbentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya
yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang: dan/atau
52
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan
penalti.
(3) Tata cara dan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Gubernur.
[[[[[[
Pasal 120
Aparatur pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan penataan ruang wilayah
Daerah Jawa Tengah sesuai dengan kewenangannya wajib berlaku tertib
dalam keikutsertaannya dalam Proses penataan ruang, sesuai dengan
Perundangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi
Pasal 121
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 huruf d,
(1)
merupakan tindakan Penertiban yang dilakukan terhadap Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan Peraturan
zonasi.
Penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
(2)
dimaksud pada ayat (1), pihak yang melakukan Penyimpangan dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada Pemanfaat ruang yang
(3)
tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dapat
dikenakan kepada Pejabat Pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik
(4)
yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai
sanksi adminstratif, sanksi pidana Penjara, dan/atau denda sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa :
a. peringatan tertulis;
Penghentian sementara kegiatan;
b.
c. penghentian sementara Pelayanan umum;
penutupan lokasi;
d.
pencabutan izin;
e.
f. pembatalan izin:
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang;
denda administratif.
i.
(6) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang sehingga
mengakibatkan ketidaksesuaian fungsi ruang sesuai rencana tata ruang
diancam pidana sesuai ketentuan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
53
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
(7)
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam
Peraturan Gubernur.
BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, PERAN MASYARAKAT, DAN KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 122
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci di Provinsi;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat Penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan Pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhada pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang ke pada Pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah dan/atau pemegang
izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 123
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari Pejabat
yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan Peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 124
(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang, masyarakat dapat mengetahui
rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman atau
penyebarluasan oleh Pemerintah Provinsi.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarluasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/
pemasangan peta rencana tata ruang yang bersangkutan pada tempat-
tempat umum dan pada media massa, serta melalui pembangunan sistem
informasi tata ruang.
54
Pasal 125
(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang
sebagai akibat penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122
huruf b, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam menikmati dan memanfaatkan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan
dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak
tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau
azas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada
masyarakat setempat.
Pasal 126
(1) Hak memperoleh penggantian yang layak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 122 huruf c diselenggarakan dengan cara musyawarah
antara pihak yang dirugikan/berkepentingan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyelesaiannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 127
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Daerah Jawa Tengah masyarakat
wajib berperan dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata
ruang yang telah ditetapkan.
Pasal 128
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 127 dilaksanakan dengan mematuhi dan
menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan peraturan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat
secara turun-menurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-
faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang
serasi, selaras dan seimbang.
Pasal 129
Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran masyarakat dapat berbentuk :
a. pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang
berlaku;
b. bantuan Pemikiran dan Pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang mencakup lebih dari satu
wilayah Kabupaten/kota di daerah;
55
c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan RTRW dan
rencana tata ruang kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah;
d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW
Provinsi Jawa Tengah yang telah ditetapkan;
e. Bantuan teknik dan Pengelolaan dalam Pemanfaatan ruang dan/atau
kegiatan menjaga, memelihara, serta meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Pasal 130
(1) Tata cara peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 131
Dalam pengendalian Pemanfaatan ruang, peran masyarakat dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan, termasuk
pemberian informasi atau laporan Pelaksanaan Pemanfaatan ruang
kawasan;
b. bantuan Pemikiran atau Pertimbangan berkenaan dengan penertiban
pemanfaatan ruang.
Pasal 132
Peran masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan ruang
(1)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 disampaikan secara lisan atau
tertulis kepada Gubernur dan Pejabat yang ditunjuk.
Tata cara dan mekanisme peran masyarakat sebagaimana
(2)
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 133
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam
(1)
Pasal 121 ayat (6) diancam dengan Pidana kurungan Paling lama 6
(enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Setiap orang yang melakukan kegiatan
pemanfaatan ruang sehingga mengakibatkan ketidaksesuaian
fungsi ruang sesuai rencana tata ruang diancam pidana sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
(4)
ayat (3) adalah kejahatan.
56
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 134
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi
(1)
diberikan wewenang untuk melaksanakan Penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak Pidana di bidang Penataan ruang agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan rnengumpulkan keterangan mengenai orang
Pribadi atau badan tentang kebenaran Perbuatan yang dilakukan
sehubungan di bidang Penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari Pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak Pidana di bidang Penataan ruang;
d. memeriksa buku-buku catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan tindak Pidana di bidang Penataan ruang;
e. melakukan Penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti Pembukuan,
Pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan Penyitaan
terhadap bahan bukti dimaksud;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka Pelaksanaan tugas
Penyidikan tindak pidana di bidang Penataan ruang;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak Pidana di bidang
penataan ruang;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan Penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak
Pidana di bidang Penataan ruang menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil
Penyidikannya kepada Penuntut umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 135
(1) RTRW Provinsi Jawa Tengah berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak
ditetapkan.
57
(2) RTRW Provinsi Jawa Tengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilengkapi dengan Lampiran album Peta dengan skala (1:250.000).
(3) Buku RTRW Provinsi Jawa Tengah dan album Peta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Pasal 136
RTRW Provinsi Jawa Tengah dapat dilakukan Peninjauan kembali 5 (lima)
tahun sekali.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 137
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, semua peraturan
(1)
pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Daerah ini.
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, maka semua rencana
(2)
pemanfaatan ruang dan sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 138
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 21 Tahun 2003 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Nomor 133) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 139
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
tekhnis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 140
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Povinsi Jawa
Tengah
Ditetapkan di Semarang
pada tanggal .....................
58
GUBERNUR JAWA TENGAH,
BIBIT WALUYO
Diudangkan di Semarang
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
JAWA JAWA TENGAH
HADI PRABOWO

LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009 NOMOR......